Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Meritokrasi Ditinggalkan, Birokrasi Dipertaruhkan
8 Mei 2025 14:47 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari bona pardede tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Tahun 2014, Indonesia menegaskan arah baru reformasi birokrasi dengan kelahiran Undang-undang Nomor 5 tentang Aparatur Sipil Negara. Di dalamnya, sistem merit dijunjung tinggi—Aparatur Sipil Negara (ASN) dikelola berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, bukan kedekatan dengan kekuasaan. Dan untuk mengunci itu semua, satu kalimat menjadi pagar api: “tanpa membedakan latar belakang politik.” Kalimat ini bukan sekadar etika, tapi penegasan hukum bahwa birokrasi bukan milik partai atau kelompok mana pun.
ADVERTISEMENT
Namun sekarang, coba buka Undang-undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara. Frasa itu hilang. Tidak tersisa. Seolah tak pernah dianggap penting. Seolah tak perlu lagi ASN dilindungi dari tarik-menarik kepentingan politik. Dan yang lebih mengejutkan: hampir tak ada yang menyadari, apalagi mempertanyakannya.
Dan kini, sebelum tinta Undang-undang Nomor 20 Tahun 2023 benar-benar kering, DPR kembali mengusulkan revisi. Kali ini dengan wacana memperluas kewenangan Presiden untuk mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan pejabat tinggi baik di pusat maupun daerah. Revisi atas revisi. Undang-undang baru yang belum sempat dijalankan maksimal, sudah ingin dirombak lagi. Pertanyaannya bukan lagi mau dibawa ke mana birokrasi kita?—tetapi: siapa yang sedang mengarahkan kemudi ini, dan untuk kepentingan siapa?
ADVERTISEMENT
Karena ketika prinsip dasar seperti netralitas ASN dan perlindungan dari intervensi politik mulai dilucuti perlahan—dengan bahasa yang sopan dan teknokratis—maka publik punya hak untuk curiga. Siapa yang menghapus frasa itu? Dan kenapa?
Sistem Merit dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014: Tegas dan Progresif
Dalam Pasal 1 angka 22 UU No. 5 Tahun 2014, sistem merit dijelaskan sebagai kebijakan dan manajemen ASN yang “berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.”
Penekanan pada frasa “tanpa membedakan latar belakang politik” merupakan komitmen eksplisit untuk menjauhkan ASN dari praktik politisasi birokrasi. ASN diharapkan netral, tidak terkooptasi kepentingan kekuasaan, dan tidak digunakan sebagai alat politik praktis oleh aktor tertentu.
ADVERTISEMENT
Ketika Undang-undang Nomor 20 Tahun 2023 lahir sebagai pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014, banyak yang berharap regulasi ini membawa penyempurnaan. Namun justru ada penyusutan yang signifikan dalam rumusan sistem merit. Dalam pasal yang membahas prinsip meritokrasi, frasa “tanpa membedakan latar belakang politik” tidak lagi disebut secara eksplisit. Disebutkan dalam pasal 1 angka 15 dalam Undang-undang 20 tahun 2023 “Sistem Merit adalah penyelenggaraan sistem Manajemen ASN sesuai dengan prinsip meritokrasi” yang selanjutnya dijelaskan dalam lampiran penjelasan Undang-undang tersebut akan maksud dan definisi prinsip meritokrasi: “prinsip pengelolaan sumber daya manusia yang didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, potensi, dan kinerja, serta integritas dan moralitas yang dilaksanakan secara adil dan wajar dengan tidak membedakan latar belakang suku, ras, warna kulit, agama, asal-usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau berkebutuhan khusus”
ADVERTISEMENT
Yang tertinggal dari konsep Sistem Merit pada Undang-undang ini hanyalah asas netralitas ASN secara umum. Kata "latar belakang politik" hilang dari narasi merit. Hilangnya kata ini bukan sekadar soal redaksional, melainkan sinyal yang bisa ditafsirkan ambigu—bahkan mengkhawatirkan. Apakah netralitas politik ASN kini cukup dijamin hanya lewat interpretasi implisit? Apakah ini membuka celah bagi kembalinya intervensi politik dalam tubuh birokrasi?
Apa dampak, konsekuensi dan tantangan dari hilangnya frasa tersebut?
Dengan hilangnya frasa “latar belakang politik,” sinyal hukum terhadap pentingnya netralitas ASN menjadi lemah. Aturan ini tak lagi menolak secara tegas campur tangan politik dalam seleksi, promosi, dan mutasi ASN. Ini bisa menjadi celah bagi praktik-praktik patronase dan balas jasa politik.
ADVERTISEMENT
Ketika pejabat publik memiliki ruang untuk menggunakan preferensi politik dalam mengangkat ASN, birokrasi akan kembali menjadi alat kekuasaan, bukan alat pelayanan. Jabatan bisa diisi oleh orang-orang yang loyal secara politik, bukan yang berprestasi secara profesional. Ini pernah terjadi dalam sejarah Indonesia, dan kini celahnya terbuka kembali.
Hilangnya frasa ini menjadi ancaman terhadap profesionalisme ASN. Birokrasi yang semestinya menjamin keadilan dan akuntabilitas pelayanan publik, bisa berubah menjadi organisasi yang tunduk pada dinamika politik elektoral. Imbasnya, ASN akan merasa terdorong untuk bermain aman—menyesuaikan diri dengan kekuasaan—ketimbang bekerja berdasarkan prinsip, etika, dan kinerja.
Mengelola birokrasi yang bebas dari intervensi politik adalah pekerjaan berat, apalagi ketika hukum tidak lagi menyatakan sikap yang tegas. Tantangan utamanya kini adalah menjaga agar semangat meritokrasi tidak padam di tengah lemahnya landasan normatif. Sehingga perlu solusi yang dapat dipertimbangkan Penguatan norma teknis melalui peraturan pelaksana, Pemerintah perlu segera menyusun aturan teknis atau turunan yang secara eksplisit menegaskan larangan diskriminasi dan intervensi politik dalam pengelolaan ASN.
ADVERTISEMENT
Hal berikutnya yang perlu di pertimbangkan adalah Transparansi dalam proses seleksi dan promosi ASN. Setiap proses pengangkatan, mutasi, dan promosi harus dapat diawasi publik. Mekanisme pengaduan yang terbuka dan bebas intimidasi menjadi sangat krusial untuk mencegah praktik tidak sehat.
Pengawasan kini tak bisa lagi mengandalkan otoritas formal semata. Publik dan media harus aktif memantau proses birokrasi dan berani mengkritisi ketika terlihat indikasi politisasi jabatan ASN.
Birokrasi harus tetap menjadi rumah profesionalisme, bukan panggung politik.
Dengan menghilangnya frasa tersebut apakah memberikan dampak? Jika kita menengok kembali semangat reformasi birokrasi pasca-Orde Baru, maka jawaban paling jujur adalah: ya. Menghapus frasa “latar belakang politik” dari sistem merit berarti mengurangi daya tahan birokrasi terhadap godaan politik. Ini bukan hanya masalah teknis redaksional, tapi persoalan komitmen kebangsaan untuk menjaga institusi negara tetap profesional, netral, dan berpihak pada pelayanan rakyat.
ADVERTISEMENT
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2023 mungkin membawa beberapa pembaruan struktural, namun justru melemah dalam substansi prinsipil soal netralitas politik. Inilah alarm yang perlu dibunyikan oleh semua pihak.
Sistem merit bukan sekadar jargon administratif. Ia adalah fondasi utama dalam membangun birokrasi yang profesional, akuntabel, dan berorientasi pada pelayanan publik. Hilangnya frasa “latar belakang politik” dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2023 bisa menjadi titik mundur apabila tidak disikapi secara serius.
Reformasi birokrasi sejati tak cukup ditopang oleh produk hukum, apalagi yang tidak eksplisit melindungi prinsip-prinsip dasar seperti non-diskriminasi politik. Yang dibutuhkan adalah semangat kolektif dari masyarakat, lembaga pengawasan internal, akademisi, media, dan para ASN sendiri untuk menegakkan nilai-nilai meritokrasi—meski mungkin tak lagi sejelas dulu dalam undang-undang.
ADVERTISEMENT