Demokratisasi Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Chessa Ario Jani Purnomo
Dosen dan Peneliti Fakultas Hukum Universitas Pamulang
Konten dari Pengguna
13 Februari 2023 20:28 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chessa Ario Jani Purnomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi peradilan Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi peradilan Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kasus Sambo cs masih memiliki daya tarik sebagian publik Indonesia. Sejak kasus diungkap secara signifikan oleh Bharada E atas peristiwa dugaan pembunuhan berencana secara bersama-sama, seolah-olah tak sedikit pun pemberitaan media surut.
ADVERTISEMENT
Bagi penulis letak daya tarik perkara tersebut adalah partisipasi masyarakat dalam konteks demokratisasi sistem peradilan pidana. Jadi bukan materi perkara hukumnya seperti siapa yang menembak, berapa kali menembak, apa motifnya, apa lagi vonis hakimnya. Itu urusan Pengadilan.
Artikel ini menyoal demokratisasi sistem peradilan pidana Indonesia (SPP Indonesia) pada dimensi partisipasi yang melingkupi 2 (dua) hal yakni partisipasi langsung dan partisipasi tidak langsung. Dalam partisipasi langsung, aktor yang terlibat lazimnya saksi dan korban dan partisipasi tidak langsung adalah pihak berkepentingan pada kasus yang sedang ditangani oleh pengadilan.

Partisipasi Publik Secara Langsung: Status Justice Collaborator dan LPSK

Penulis memiliki beberapa catatan mengenai demokratisasi sistem peradilan pidana Indonesia sebagai pembelajaran, khususnya kepada diri penulis sebagai berikut. Pertama, sistem peradilan pidana Indonesia (SPP Indonesia) adalah kompleks dan belum selesai secara yuridis. Ia mesti terus dikembangkan melalui penelitian.
ADVERTISEMENT
kumparan mewartakan status justice collaborator Bharada E telah disetujui oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Menurut Ilyas dan Jupri (2018) dalam bukunya "Justice Collaborator: Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi" dinyatakan pengertian justice collaborator (JC) adalah setiap tersangka yang terlibat organisasi kejahatan dan telah melakukan suatu tindak pidana baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan aparatur hukum untuk bekerja sama dengan penegak hukum menemukan alat-alat bukti dan barang bukti sehingga penyidikan dan penuntutan dapat berjalan efektif.
Kemudian, masih menurut Ilyas dan Jupri (2018) ada istilah whistleblower adalah setiap orang lazimnya korban yang kemudian bersaksi memberikan keterangan kepada penyidik mengenai seluk beluk tindak pidana yang ia ketahui dan dengar sendiri bahkan ia alami sendiri.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks pengaturan JC tidak lepas dari kelemahan dalam norma hukum seperti syarat-syarat mendapatkan status JC adalah bukan pelaku utama, keterbatasan definisi informasi signifikan maupun pemberian informasi signifikan itu dalam kasus yang sama dinilai dalam perdebatan ilmiah menyulitkan pemberian perlindungan dan reward kepada JC.
Bagi penulis, JC maupun whistleblower tidak berlebihan untuk mengatakan pihak prinsipal yang melakukan partisipasi langsung dalam sistem peradilan pidana. Oleh sebab itu, logis jika JC mendapatkan penanganan khusus dan reward sebagaimana maksud ketentuan Pasal 10A Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban untuk tindak pidana tertentu atau kejahatan yang bersifat extra-ordinary antara lain perlindungan fisik dan keringanan pidana (hukuman). Bukan penghapusan pidana.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, LPSK secara institusional bagian dari SPP Indonesia sehingga katakanlah mengkoreksi konsep atau pemahaman kita tentang sub-sistem peradilan pidana yang konvensional sebagaimana dinyatakan oleh Agustine (2019) dalam bukunya "Sistem Peradilan Pidana: Suatu Pembaharuan" bahwa sistem peradilan pidana memiliki tiga komponen: penegak hukum (kepolisian), proses persidangan (hakim, jaksa dan advokat), dan lembaga pemasyarakatan (petugas pemasyarakatan dan petugas lembaga pembinaan).
Tetapi isu atas institusi atau kelembagaan ini tidak sederhana antara lain pemberian status JC bukan monopoli LPSK. Lebih lanjut, Kepolisian, KPK, Kejaksaan, dan pengadilan memiliki wewenang untuk menentukan status JC.
Secara akademis, diidealkan lembaga yang memiliki fungsi penyidikan yang pas untuk itu. Belum lagi soal patologi kelembagaan seperti keegosian institusi atau potensi tumpang tindih wewenang penentu status JC telah mewarnai perdebatan ilmiah dan mempengaruhi tujuan-tujuan sosial dan hukum yang hendak dicapai dalam kenyataan.
ADVERTISEMENT

Partisipasi Publik Tidak Langsung

Kedua, partisipasi masyarakat dalam sistem peradilan pidana. Diketahui, dominasi sistem peradilan pidana adalah aparat penegak hukum yang birokratis. Seolah-olah sistem peradilan pidana bukan milik kita sebagai stakeholder.
Partisipasi dalam sistem peradilan pidana berhubungan dengan prinsip-prinsip kewarganegaraan. Misalnya di Amerika, menurut Daniel S, McConkie, Jr (2020) dalam tulisannya "Criminal Justice Citizenship" menyatakan bahwa partisipasi kewarganegaraan adalah manifestasi dari sistem juri yang berperan dalam sistem peradilan pidana sebagai penjaga perdamaian dalam "budaya hukum komunal" dari hukum pidana substantif yang terkenal.
Di Indonesia, praktik sahabat pengadilan (amicus curiae) dapat dibaca sebagai partisipasi masyarakat dibidang peradilan secara tidak langsung. Tanda amicus curiea dalam peradilan pidana tersirat dalam ketentuan Pasal 180 ayat (1) KUHAP.
ADVERTISEMENT
Menurut Aminah (2014), amicus curiea terdiri dari 3 (tiga) kategori dalam bentuk amicus brief yaitu mengajukan permohonan untuk menjadi pihak yang berkepentingan dalam persidangan; memberikan pendapat atas permintaan hakim; dan/atau memberikan informasi atau pendapat atas prakarsanya sendiri.
Walaupun partisipasi publik secara tidak langsung melalui amicus brief meski tidak dilembagakan namun dapat dikatakan sebagai bentuk demokratisasi peradilan pidana Indonesia. Perbedaan partisipasi di pengadilan antara Indonesia dan Amerika bahwa menjadi juri di pengadilan merupakan hak konstitusional warga negara (citizenship).
Sedangkan di Indonesia, partisipasi di pengadilan sebagai kewajiban hukum (legal obligation) bagi saksi dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 itu dipersamakan hak konstitusional terkait perlindungan hukumnya menurut asas equalitif before the law.
ADVERTISEMENT

Pengawasan Publik

Ketiga atau yang terakhir, pengawasan masyarakat atas bekerjanya sistem peradilan pidana dirasa cukup berperan. Konsekuensi atas popularitas perkara Sambo cs memompa kesadaran partisipasi publik dalam sistem peradilan pidana berkaitan dengan sosial media dan teknologi informasi sebagai social setting.
Bagi penulis, ada hubungan positif antara pengawasan sistem peradilan pidana oleh publik melalui sosial media dan tindakan penegak hukum untuk menyelesaikan perkara dengan segera, tertib, disiplin, inisiatif dan tuntas. Tidak perlu menunggu viral.
Ada plesetan, KUHAP bukan singkatan dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tetapi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Piral. Viral adalah kekuatan publik yang mesti dibaca oleh pemerintah sebagai bukan hanya perkara cepat dan segera ditindak atau diselesaikan tetapi keinginan untuk mereformasi kelembagaan hukum dan hukum pidana secara keseluruhan (as a whole) di tengah-tengah lingkungan yang berubah.
ADVERTISEMENT