Konten dari Pengguna

Tantangan Arbitrase Internasional: Kasus Rafat Ali Rizvi

Clara Marghanita
Mahasiswa Pascasarjana Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada
25 Juni 2024 17:24 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Clara Marghanita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
sumber: shutterstock

Kasus Rafat Ali Rizvi: Tantangan Investasi Asing dan Batasan Arbitrase Internasional

ADVERTISEMENT
Hukum Internasional Rafat Ali Rizvi, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, yang terlintas adalah skandal besar yang mengguncang dunia hukum dan perbankan nasional: ambruknya Bank Century. Rafat, bersama rekan bisnisnya, Hesham Al-Warraq, menjadi figur sentral dalam kisah tragis ini. Mereka berdua menjadi simbol dari praktik-praktik investasi yang tidak hanya merugikan pemerintah Indonesia tetapi juga memicu salah satu krisis perbankan terbesar dalam sejarah negeri ini.
ADVERTISEMENT
Rafat Ali Rizvi adalah pengusaha dan investor yang kontroversial, dan dia tidak hanya berhadapan dengan hukum di Indonesia tetapi juga di berbagai negara lainnya seperti Hong Kong. Namun, yang paling menarik perhatian adalah upaya hukumnya dalam menentang keputusan pemerintah Indonesia melalui mekanisme arbitrase internasional di International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID).

Investasi pada Bank Century

Rafat Ali Rizvi menanamkan modalnya di Indonesia melalui sebuah perusahaan yang didirikan di Bahama (pada tahun 1973 Bahama memperoleh kemerdekaannya dari Inggris), yaitu Chinkara Capital Limited (Chinkara) yang kemudian berganti nama menjadi First Gulf Asia Holdings Limited bersama dengan Hesham al-Warraq.
Pada awal tahun 2000, Chinkara Capital Limited mulai mengakuisisi saham 3 (tiga) bank di Indonesia yaitu PT. Bank Pikko (mengakuisisi 65% kepemilikan saham), Tbk, PT Bank Danpac, Tbk (55%), dan PT Bank CIC, Tbk (19,8%). Pada tahun 2004 ketiga bank tersebut merger dan membentuk satu bank yaitu PT Bank Century, Tbk.
ADVERTISEMENT
Namun, pada 21 November 2008, pemerintah Indonesia mengambil langkah penyelamatan dengan mengucurkan dana talangan (bailout) sebesar 6,7 triliun rupiah untuk mencegah bank ini dilikuidasi. Keputusan ini membuat Rafat merasa dirugikan, yang memicu permohonannya untuk arbitrase internasional di ICSID
Keputusan pemerintah dalam upaya penyelematan Bank Century memberikan dampak kehilangan kepemilikan saham Bank Century dan menjadi dasar permohonan arbitrase Rafat Ali Rizvi. Rafat menggunakan mekanisme Investor-State Dispute Settlement (ISDS), yang memungkinkan investor asing mengajukan gugatan terhadap negara tuan rumah berdasarkan Bilateral Investment Treaty (BIT). Dalam hal ini, BIT antara Indonesia dan Inggris yang ditandatangani pada tahun 1997 menjadi dasar gugatan Rafat.

Proses Arbitrase dan Hasilnya

Tepatnya pada 5 April 2011, ICSID menerima permohonan arbitrase dari Rafat Ali Rizvi (pemohon) terhadap Republik Indonesia (termohon) mengenai pelanggaran sengketa investasi antara Indonesia dan Inggris yaitu “the 1997 Agreement beetwen the Government of the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland and the Government of Republic of Indonesia for the Promotion and Protection of Investments.”.
ADVERTISEMENT
Salah satu poin utama yang menjadi inti sengketa adalah apakah investasi Rafat Ali Rizvi dilindungi oleh BIT dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU tentang PMA). Rafat berargumen bahwa investasinya sah karena telah memenuhi syarat penanaman modal sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun, Majelis Arbitrase menolak interpretasi ini.
Berdasarkan putusan ICSID, penanaman modal yang dilakukan oleh Rafat Ali Rizvi melalui Chinkara Capital Limited tidak sesuai dengan perizinan dalam ketentuan UU tentang PMA. Dalam putusan ICSID, dinyatakan bahwa investasi Rafat melalui Chinkara Capital Limited tidak sesuai dengan perizinan yang diatur dalam UU tentang PMA.
BIT antara Indonesia dan Inggris jelas menyatakan bahwa investasi harus dilakukan sesuai dengan undang-undang setempat, termasuk proses perizinan yang diperlukan. Majelis Arbitrase menegaskan bahwa kepatuhan terhadap prosedur perizinan ini adalah prasyarat mutlak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari BIT. Oleh karena itu, gugatan yang diajukan Rafat tidak termasuk dalam cakupan BIT tersebut.
ADVERTISEMENT
Rafat juga menyatakan bahwa penanaman modal yang sah tidak harus melalui izin Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) saja, tetapi juga merujuk pada ketentuan bahwa sektor perbankan berada di bawah kewenangan Bank Indonesia. Namun, Majelis Arbitrase tetap berpegang pada ketentuan bahwa investasi harus memenuhi prosedur perizinan yang berlaku.
Melihat kasus ini, menjadi refleksi diri terhadap arbitrase internasional belum tentu memberikan keadilan yang diharapkan oleh pihak yang bersengketa. Walaupun arbitrase bersifat netral, cepat, dan putusannya yang mengikat, tetap saja hasil tetap bergantung pada penafsiran majelis arbitrase terhadap aturan dan undang-undang yang berlaku.
Dalam konteks Indonesia, kasus ini tentu memfokuskan bagaimana ketegasan pemerintah dalam menegakkan aturan penanaman modal asing. Perlindungan terhadap investasi memang penting untuk menarik modal dan mendukung pembangunan ekonomi, tetapi hal ini tidak boleh mengorbankan kepentingan nasional dan kedaulatan hukum.
ADVERTISEMENT
Sangat disayangkan, mekanisme arbitrase internasional seharusnya menjadi alat yang adil untuk kasus sengketa investasi. Berkaca dari kasus Rafat Ali Rizvi adalah dampak nyata bahwa ketika aturan lokal diabaikan, maka perlindungan hukum yang diberikan berdasar perjanjian internasional pun tidak dapat berlaku. Sehingga, kasus ini dapat menjadi pengingat bagi kita semua terhadap wajibnya kepatuhan terhadap hukum lokal dalam setiap investasi asing.