Ternyata Beberapa Jenis Pohon Melakukan 'Pembatasan Sosial'

Dasar Binatang
Menyajikan sisi unik dunia binatang, menjelajah ke semesta eksotisme lain margasatwa
Konten dari Pengguna
1 November 2020 20:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dasar Binatang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pohon Bakau. Foto: 1CzPhoto from Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Pohon Bakau. Foto: 1CzPhoto from Pixabay
ADVERTISEMENT
Seorang ahli biologi Francis “Jack” Putz menceritakan kepada National Geographic tentang pengalaman tak terlupakannya. Dia tersesat di antara hutan bakau pada tahun 1982 di Taman Nasional Guanacaste, Kosta Rika. Saat Jack mencari jalan keluar, dia beristirahat dan menatap langit. Pria itu memperhatikan puncak bakau saling mencakar hingga mematahkan beberapa daun dan cabang terluarnya karena hembusan angin.
ADVERTISEMENT
Puncak pohon bakau yang disebut dengan “mahkota rasa malu”, telah didokumentasikan di hutan bakau di Kosta Rika dan spesies lain yang menjulang tinggi di Malaysia. Tetapi, para ilmuwan belum sepenuhnya memahami mengapa pucuk pohon begitu sering menolak untuk menyentuh satu sama lain. Semenjak kejadian 38 tahun yang lalu, Jack beralasan bahwa pepohonan juga membutuhkan ruang pribadi. Pemikiran itu lalu menjadi sebuah langkah penting untuk mengungkap perilaku malu pada pucuk pohon bakau dan tanaman lain.
Pengamatan Jack dan rekan-rekannya menemukan angin memainkan peran penting dalam membantu banyak pohon menjaga jarak satu sama lain. Salah satu pembatasan dilakukan adalah untuk meningkatkan akses individu ke sumber daya, seperti cahaya, secara maksimal. Celah di pucuk pohon bahkan bisa menghambat penyebaran parasit, serangga pemakan daun, atau penyakit menular pada tumbuhan.
ADVERTISEMENT
Meg Lowman, seorang ahli biologi kanopi hutan dan direktur TREE Foundation, mengatakan bahwa “rasa malu” pada pucuk tanaman dapat mencerminkan bagaimana antar individu melakukan pembatasan sosial. Pohon menjaga kesehatannya sendiri dengan menolak bersentuhan fisik dengan individu lain dan dapat meningkatkan produktivitas.
Deskripsi tentang “rasa malu” pada mahkota pohon telah muncul dalam literatur ilmiah sejak 1920-an. Meskipun begitu, beberapa dekade terakhir para ilmuwan baru mulai menggali penyebab fenomena tersebut secara sistematis. Tim peneliti menduga bahwa pembatasan sosial dilakukan untuk mengisi ruang yang kekurangan cahaya, di mana itu merupakan unsur terpenting untuk proses fotosintesis.
Ilustrasi Hutan. Foto: jplenio from Pixabay
Tim Jack menerbitkan penelitian pada tahun 1984 yang menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, “rasa malu” pada mahkota adalah hasil dari pertempuran antara pohon yang tertiup angin. Masing-masing individu berlomba untuk menumbuhkan cabang baru dan menangkis serangan dari tetangga. Pada penelitian mereka, semakin banyak pohon bakau yang bergoyang tertiup angin, semakin lebar jarak kanopi di antara tetangga.
ADVERTISEMENT
Sekitar dua dekade kemudian, tim yang dipimpin oleh Mark Rudnicki, seorang ahli biologi di Michigan Technological University, mengukur kekuatan pohon pinus lodgepole yang berdesak-desakan di Alberta, Kanada. Hutan berangin yang penuh dengan batang tinggi dan kurus dengan ketinggian yang sama menunjukkan “rasa malu” yang lebih sering. Ketika Rudnicki dan timnya menggunakan tali nilon untuk mencegah pohon pinus di sekitarnya bertabrakan, tanaman tersebut mengisi celah di antara mahkota yang berdekatan.
Ilmuwan lain menemukan bahwa setiap pohon mungkin memiliki tingkat agresif yang berbeda. Beberapa diketahui telah berhenti menumbuhkan bagian pucuknya. Dengan demikian, pohon dapat menghindari kerusakan yang tidak perlu, kata Inés Ibáñez, seorang ahli ekologi hutan dari University of Michigan.
ADVERTISEMENT
Beberapa lainnya mungkin mampu menerapkan kehati-hatian ini dengan menggunakan sistem sensorik khusus untuk mendeteksi bahan kimia yang berasal dari tanaman di dekatnya. Marlyse Duguid, ahli kehutanan dan hortikultura di University of Yale. menduga tanaman dapat mengantisipasi dengan menghentikan pertumbuhan kanopi sebelum benar-benar bergumul lebat.
Namun, para ilmuwan masih memiliki keterbatasan tentang penelitian yang fokus pada kanopi hutan. Selain ahli di bidang ini masih terbatas, beberapa pohon tertinggi di dunia merupakan tantangan tersendiri untuk dipelajari. Tentu saja, ilmuwan harus memeriksa puncak pohon dengan membutuhkan pendakian, keseimbangan, dan keberanian.
Hutan Pinus. Foto: Free-Photos from Pixabay