Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Yang Hilang dan Dikenang dari KRL Jabodetabek
31 Januari 2017 12:39 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
ADVERTISEMENT
Hai kamu, generasi ketika Kereta Rel Listrik (KRL) Ekonomi masih berjaya di Jabodetabek. Masih ingatkah dengan kaum atapers yang hobi nongkrong di atas gerbong kereta, menantang maut tak takut mati bak punya 9 nyawa.
ADVERTISEMENT
Atau masih ingatkah kamu dengan pedagang gorengan dan pedagang asongan yang berteriak-teriak ramai dalam gerbong kereta, seakan mereka berada di padang pasir atau tepi laut lepas.
Atau ingatkah kamu dengan asap rokok yang mengepul di sana-sini, dari peron hingga gerbong kereta? Mau coba nyalakan rokok sekarang di area stasiun, niscaya petugas keamanan stasiun akan mendatangimu dan menyuruhmu mematikan rokokmu.
Kangenkah kamu suasana masa lalu itu?
Dan apa kabarnya ya atapers dan para pedagang asongan itu? Mereka semua kini hilang dari stasiun dan kereta-keretanya, seperti asap rokok yang lagi tak bercampur dengan oksigen “bersih” di dalam stasiun.
Yang jelas, zaman telah berubah, kawan. Pun KRL sebagai urat nadi transportasi warga Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi.
ADVERTISEMENT
Resty Jembar Pangestu, salah satu penumpang setia KRL yang tinggal dekat Stasiun Universitas Pancasila, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, merasakan perubahan dalam sistem per-KRL-an selama lima tahun terakhir.
“Sarana dan prasarana semakin baik dan meningkat. Dulu tiketnya masih kertas, sekarang sudah pakai e-ticketing,” kata Aci, sapaan Resty, kepada kumparan, Sabtu (27/1).
Menurut Aci, perubahan paling nyata terlihat pada fasilitas di tiap-tiap stasiun. “Misalnya Stasiun Juanda terlihat lebih terawat. Fasilitas lengkap, eskalator berfungsi, banyak tempat jajanan. Tempat ibadah juga memadai.”
Senada, pengguna KRL lain bernama Amanda merasakan perubahan besar soal KRL.
Amanda menggunakan jasa KRL Jabodetabek sejak tahun 2010, dan masih ingat betul dengan kondisi kereta saat itu yang menurutnya “horor.” Atap KRL dipenuhi puluhan manusia. Belum lagi yang bergelantungan di pintu kereta.
ADVERTISEMENT
Keinginan untuk cepat sampai di rumah membuat nyawa seakan tak ada artinya.
“Mereka naik ke atas gerbong lewat jendela atau celah antargerbong. Pokoknya KRL itu dulu horor, sekarang menyenangkan,” kata Amanda Widodo.
Ia lantas memberi contoh perubahan yang terjadi pada KRL. “Dulu tiket masih kertas sobekan, sekarang ada kartu dan gelang. Dulu enggak aman, sering ketemu preman-preman yang ganggu kenyamanan. Dulu pedagang berjualan mondar-mandir, sekarang enggak.”
“Dulu penjual dan preman bebas masuk karena kereta ekonomi non-AC enggak ada pintu dan petugas keamanannya. Sekarang jauh lebih baik,” imbuh Amanda.
Di tiap stasiun pun, kata Amanda, kini lengkapi dengan fasilitas untuk penyandang disabilitas.
“Semoga akan terus lebih baik karena Commuter Line ini paling praktis,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
“Meskipun ada petugas keamanan, tapi tetap ada copet. Penumpang harus menjaga barang bawaan sendiri. Selain itu, kereta dan gerbong ke arah Tanah Abang dan Jatinegara mestinya ditambah. Kecepatan dan ketepatan waktu KRL juga harusnya ditambah,” kata dia.
Peningkatan fasilitas dan pelayanan Commuter Line, dijamin Vice President of Corporate Communication PT KCJ Eva Chairunisa akan terus dilakukan. Termasuk dengan menambah jumlah gerbong demi kenyamanan penumpang yang jumlahnya kian hari kian bertambah.
ADVERTISEMENT
Nah, buat kamu pengguna Commuter Line, ayo berbagi cerita di kumparan. Sudahkah kamu merasa senang dengan keretamu sekarang?
Reporter: Aditia Rizki Nugraha
Jangan lewatkan kisah seputar kereta komuter di sini