Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Belajar dari Pemikiran Farid Esack
6 Maret 2025 11:40 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad Faishol Al Hamimy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Farid Esack, seorang intelektual Muslim asal Afrika Selatan yang lahir pada tahun 1956, lebih suka dikenal sebagai aktivis daripada sekadar pemikir. Lahir di lingkungan miskin dengan ayah yang meninggalkannya sejak berusia tiga minggu, perjalanan hidupnya membentuk perspektif kritis terhadap berbagai bentuk ketidakadilan. Pemikirannya lahir dari pengalaman nyata menghadapi triple oppression—penindasan berlapis yang mencakup apartheid (dominasi kulit putih), patriarki, dan kapitalisme.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks apartheid , Esack menyoroti hubungan erat antara agama dan ideologi status quo. Menurutnya, banyak pemuka agama yang memiliki kecerdasan dan kemampuan, tetapi justru mengambil posisi pasif terhadap ketidakadilan. Dengan dalih menjaga perdamaian dan menghindari konflik, mereka justru memperkuat struktur penindasan yang sudah ada. Beberapa kelompok keagamaan bahkan menganggap dunia ini hanya sementara sehingga penderitaan di dunia tidak menjadi persoalan besar, dengan keyakinan bahwa keadilan sejati akan diperoleh di akhirat. Sikap pasif semacam ini, bagi Esack, hanya akan melanggengkan ketidakadilan sosial.
Esack juga mengkritik superioritas kelompok Islam fundamental yang menganggap hanya Islam sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Eksklusivitas seperti ini, menurutnya, menutup mata terhadap kenyataan bahwa penganut agama lain juga berjuang menegakkan keadilan dan melawan penindasan. Sikap ini sering kali membuat umat Islam kehilangan sekutu dalam perjuangan sosial, padahal keadilan bukan hanya isu internal Islam, melainkan masalah kemanusiaan secara universal.
ADVERTISEMENT
Teologi Pembebasan Islam Farid Esack
Bagi Esack, agama bukan sekadar sistem kepercayaan, tetapi juga alat mobilisasi sosial yang paling efektif untuk melawan ketidakadilan. Oleh karena itu, ia mengembangkan Teologi Pembebasan Islam, yang berangkat dari keyakinan bahwa agama harus menjadi instrumen pembebasan, bukan alat legitimasi bagi sistem yang menindas.
Teologi pembebasan ini menekankan dua prinsip utama:
1. Pembebasan dari Struktur Penindasan
Esack menegaskan bahwa Islam harus membebaskan manusia dari segala bentuk eksploitasi yang berbasis ras, gender, kelas, dan agama. Dalam konteks apartheid di Afrika Selatan, ia menyoroti bagaimana sistem keyakinan yang benar (ortodoksi) hanya dapat muncul melalui tindakan yang benar (ortopraksis). Dengan kata lain, iman harus diwujudkan dalam tindakan nyata untuk menegakkan keadilan, bukan sekadar berhenti pada dogma dan ritual.
ADVERTISEMENT
2. Keterkaitan antara Kemiskinan dan Keimanan
Esack menegaskan bahwa seseorang tidak bisa benar-benar patuh kepada Allah jika terus-menerus berada dalam kelaparan dan eksploitasi. Baginya, ada hubungan erat antara kekafiran dan penderitaan ekonomi. Oleh karena itu, memperjuangkan hak-hak kelompok miskin bukan sekadar aksi sosial, melainkan bagian dari iman itu sendiri.
Siapa yang Harus Dibela?
Dalam pandangan Esack, perjuangan Islam tidak boleh didasarkan pada perbedaan agama, tetapi pada keberpihakan terhadap mereka yang tertindas. Ada beberapa kelompok yang menurutnya harus menjadi prioritas perjuangan:
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, ada tiga kelompok yang justru menjadi sumber penindasan:
Esack menyatakan bahwa dunia yang kita tinggali saat ini penuh dengan penindasan, kemiskinan, eksploitasi sumber daya alam, dan kesenjangan sosial yang semakin lebar. Lebih dari dua pertiga populasi dunia hidup dalam penderitaan karena berada di lapisan terbawah sistem sosial yang tidak adil. Oleh karena itu, ia menekankan perlunya pemahaman Islam yang relevan dengan realitas ini dan tidak terjebak dalam dogma yang membuat umat pasif terhadap ketidakadilan.
ADVERTISEMENT
Pembacaan Al-Qur’an dalam Perspektif Teologi Pembebasan
1. Pembacaan Internal
2. Pembacaan Eksternal
Bagi Esack, Al-Qur'an memiliki karakter progresif yang terus berkembang sesuai dengan realitas sosial. Ini dapat dilihat dalam prinsip tadrij (berangsur-angsur), di mana hukum Islam diturunkan secara bertahap untuk menyesuaikan dengan kondisi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Prinsip Non-Kolaborasi dan Solidaritas Lintas Agama
Esack menekankan prinsip non-kolaborasi dalam perjuangan melawan apartheid. Baginya, tidak ada kompromi antara penindas dan yang tertindas, sebagaimana Musa tidak bernegosiasi dengan Fir'aun. Namun, non-kolaborasi ini tidak berarti isolasi. Esack justru menekankan perlunya solidaritas lintas agama dan ras, karena Islam tidak menilai seseorang berdasarkan warna kulit atau latar belakang sosial. Ia menolak anggapan bahwa semua orang kulit putih adalah musuh, sebagaimana semua orang miskin otomatis berpihak pada keadilan.
Dalam pandangannya, kerjasama antaragama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Ia mengkritisi tafsir konvensional terhadap QS. Al-Maidah: 51 , yang sering digunakan untuk melarang aliansi dengan non-Muslim. Menurutnya, ayat ini harus dibaca dalam konteks sejarah, di mana larangan bersekutu hanya berlaku bagi mereka yang merugikan Islam. Dalam sejarah awal Islam, kaum Muslim pernah mencari perlindungan dari penganiayaan Quraisy di bawah raja Kristen di Abisinia, yang membuktikan bahwa hubungan baik dengan agama lain tidak bertentangan dengan prinsip Islam.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Farid Esack menawarkan perspektif Islam yang membumi dan relevan dengan perjuangan melawan ketidakadilan. Baginya, Islam bukan sekadar agama ibadah ritual, tetapi harus menjadi instrumen perlawanan terhadap penindasan. Ia mengajak umat Islam untuk keluar dari eksklusivitas dan membangun solidaritas dengan kelompok-kelompok tertindas lainnya, terlepas dari latar belakang agama atau etnis. Teologi pembebasan yang ia kembangkan tidak hanya berorientasi pada akhirat, tetapi juga menekankan pentingnya menciptakan keadilan di dunia ini.