Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Islam, Desa, dan Lebaran
25 April 2022 14:55 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Ganda Febri Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pluralitas masyarakat kita telah diakui sejak lama, dalam sejarah, dalam budaya, dimensi masyarakat Indonesia terlalu beragam, dan kita seringkali terjebak dalam satu pemahaman yang sebenarnya tak kita pahami dasar-dasarnya.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini ingin berbicara tentang suatu pengalaman dari penulis sendiri tentang ‘Islam’, sebuah agama yang penganutnya paling banyak di Indonesia, oleh karena itu problematikanya juga paling kompleks. Untuk itu, saya ingin membatasi spektrum masalah dalam tulisan ini pada suatu istilah yang dulu saya sering dengar dari guru ngaji saya: ‘Islam Desa’.
Pertama-tama, penting saya kemukakan bahwa ‘Islam Desa’ ini bukan sebuah aliran baru, bukan juga bentuk sekte, seperti yang ada di India dan kita kenal itu sebagai sikhisme. Apa itu sikhisme? Dalam pandangan paling umum, ia disebut sebagai suatu kompromi antara ajaran Hindu dan Islam yang sudah sejak lama selalu terlibat dalam konflik. ‘Islam Desa’ bukan itu.
‘Islam Desa’ ini lebih tepat disebut sebagai bentuk penjabaran Islam yang dipraktikkan oleh orang-orang pedesaan, khususnya di pantai utara Jawa Tengah, tempat saya lahir dan dibesarkan. Seorang kyai pernah berkata: “sebenarnya Islam kita ini, ialah Islam Desa, dengan segala keunikannya.”
ADVERTISEMENT
‘Islam Desa’ ini memang unik, karena dua hal yang sangat mencolok dan melekat sebagai suatu ciri khas. Pertama, berkembang dalam suasana yang sederhana, lumrahnya tak ‘keras’, mengusung misi kebersamaan dan gotong royong, mereka adalah masyarakat yang tak terdefinisikan ke dalam Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah, meskipun ritual mereka identik dengan salah satu ajaran organisasi tersebut.
Kedua, mereka ‘Muslim’, yang tak pernah terlibat dalam percakapan Islam sebagai ilmu pengetahuan, agama dipraktikkan dengan suasana yang penuh kepraktisan, dalam beberapa hal bernuansa mistis, ceramah dan pengajian biasanya berada di seputar kisah Wali Songo dengan segala kepelikannya dalam mengislamkan Jawa, mereka meyakini ada orang ‘pintar’, tentu dalam tanda: orang dengan keahlian bawaan, misalnya dapat menyembuhkan orang sakit, dengan ritual yang diawali dengan “bismillah”.
ADVERTISEMENT
Dari penjelasan itu, saya tak ingin menjadikan ‘Islam Desa’ sebagai stigma baru, dan juga tak bermaksud membuka polemik, tetapi ini fenomena yang langka, dan jarang dibahas oleh kebanyakan para pemerhati wacana Islam.
Kultur pedesaan yang tenang, tak mudah terkena imbas isu politik dari lingkungan urban, menjadikan ‘Islam Desa’ terus mengalami pengawetan yang tak pernah disengaja.
Pada suasana ramadhan seperti sekarang, ketika orang-orang berlomba menyelesaikan bacaan Al Qur’an, mereka juga melakukan hal yang sama, bedanya, bacaan Al Qur’an mereka lumrahnya bernada keras, lagi lantang, tetapi ada yang diabaikan dan mungkin mengganggu telinga orang luar: “tajwid”. Prinsip Iqro, yang bermakna bacalah, menjadi sebuah pembenaran, bahwa yang terpenting dari semua ritual keagamaan dan tuntutan beragama, adalah “laku”.
ADVERTISEMENT
Dari situ kita tahu, bahwa soal mengaji bagi para penganut Islam di pedesaan yang terpenting adalah sudah melakukan, lagi pula mereka memang umumnya tak dididik untuk menjalankan Islam secara ketat, Islam ditanamkan sebagai pedoman moral, bukan sebagai subjek belajar sepanjang hayat seperti yang diterima santri di pesantren.
Pernah satu ketika, ada seorang pendakwah dari daerah di Jawa Timur datang dengan niat meluruskan ajaran Islam di desa. Pendakwah itu nampak Asing, meskipun sama-sama Islam, ia berpenampilan tak lazim untuk zaman itu, awal 2000an, ia berjenggot lebat, bergamis panjang, dan di jidatnya ada tanda hitam dua, yang membuat ia nampak rajin bersujud. Sebuah penampilan yang teramat jauh dengan penduduk desa di mana ia akan memberi ‘pencerahan’.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, selepas subuh saat ramadhan, pendakwah itu menceramahi orang-orang di desa untuk menjalankan puasa meskipun sedang bekerja, karena pendakwah ini merasa risih melihat orang-orang Islam yang dengan ringannya makan selepas bekerja, di siang bolong, di teras rumah.
Begini ucapannya yang melekat di kepala saya: “hadirin yang saya hormati, nabi dulu berjuang, dalam perang, menafkahi anak dan istri, serta menuntun umat, tetapi tak pernah meninggalkan puasa. Kita yang hanya perlu lebih tekun, mengapa sulit melakukannya?”, ungkapnya dengan nada yang agak tinggi.
“Nanging, aku ora nabi kok, lek" (dalam bahasa Indonesia: tetapi, saya bukan nabi kok, pak), sebuah jawaban sumbang berasal dari jemaah di belakang, suara yang membuat seisi ruangan tersenyum kecut, dan membuat pendakwah itu tersentak.
ADVERTISEMENT
Saya hanya menangkap sebuah pesan, jika ingin berdakwah maka kita cukup perlu memberikan nasihat sebagai suatu cara, agar para pendengar bisa dengan mudah menangkap pesan kita tanpa merasa dibandingkan dan dipaksa meniru nabi, yang mustahil untuk ditiru.
Meskipun konstruksi ide yang dibangun oleh sang pendakwah tak tepat, namun isinya bisa dibilang tak salah. Mereka yang hidup di desa, umumnya sangat sulit menerima suatu kebenaran yang disampaikan penuh idealisme. Cara berpikir yang sistematis, lagi rumit, tak pernah masuk ke dalam perhitungan mereka yang umumnya berpendidikan terbatas.
Setelah beberapa kali percobaan ternyata tak memberi dampak yang nyata, pendakwah itu akhirnya menyerah, ia melanjutkan perjalanannya dengan penuh kekecewaan.
Islam yang begitu ideal, ketika menjadi suatu semangat yang ‘menyala’ di pesantren ataupun di kalangan masyarakat terdidik perkotaan, ternyata tak berdaya ketika dibawa masuk ke desa. Di sini kita tahu, bahwa ‘Islam Desa’ memiliki coraknya sendiri, dengan konteksnya sendiri, yang membedakannya dengan Islam di perkotaan.
ADVERTISEMENT
Itu juga menyangkut masalah ziarah kubur atau “nyekar”, sebuah kegiatan mengunjungi makam sanak saudara. Umumnya, di tempat lain, jika saya tak keliru, pada hari-hari ramadhan, kunjungan ke makam untuk berdoa dan “bersih” biasanya dilakukan satu hari menjelang lebaran.
Sayangnya saya tak pernah menjumpai itu sewaktu masih hidup di desa. Yang saya alami adalah, ziarah kubur dilakukan setelah ‘sholat Ied’. Yang bagi saya, itu semacam titik temu bagi seluruh warga desa, kita bersalaman meminta maaf di antara nisan-nisan yang nampak sudah berdesakan. Waktu itu saya paling takut kalau menginjak nisan, atau melompati kubur, meskipun tak sengaja. Konon, jika itu terjadi, satu hari saya akan kena sial.
Oleh sebab itu, sampai seusia sekarang, saya sangat berhati-hati jika pergi ke makam, rasa takut itu menjaga saya untuk tak bersikap terlalu bebas ketika di tempat yang banyak orang yakini: bisa membawa keberuntungan atau justru kesialan itu.
ADVERTISEMENT
Kemudian, saya tak yakin ini dipahami banyak orang, tetapi saya mengalami setidaknya sampai lulus SMA: ‘nyembelih ayam ke tempat Kyai’. Memang, kyai saya dulu, guru yang mengajari saya untuk membaca “Turutan”, semacam kitab buat pengkaji pemula, juga seorang ulama yang dihormati warga desa, membuka jasa ‘menyembelihkan ayam’ milik warga.
Kegiatan ini bersumber dari keyakinan kecil, bahwa tak semua orang itu dalam keadaan ‘suci’ dan pantas menyembelih hewan yang akan disajikan bersama ketupat lebaran.
Untuk itu, warga, termasuk keluarga saya, ikut mengantre, saya biasanya dapat bagian membawa ayam jago paling besar, dan kakak saya bawa ayam betina, yang kakinya telah diikat.
Tak jarang, di jalan, ayam itu meronta-ronta, tubuh saya yang waktu itu kecil krempeng, cukup kualahan, kadang juga kena kepret dari kepakan sayap ayam yang hendak meloloskan diri, tapi untungnya saya selalu bisa bertahan.
ADVERTISEMENT
Sembari saya ‘menjagal’ ayam di tempat kyai, Ibu sibuk di “pawon”, tempat masak tradisional. Di desa saya, lebaran juga berarti hari tanpa ‘nasi’, orang yang makan nasi atau lontong saat lebaran, bisa dibilang lebarannya belum sempurna.
Selepas menyembelih ayam, saya selalu kebagian tugas meniup “semprong”, sebuah bambu berukuran 30 sentimeter yang berfungsi untuk menjaga api, resikonya wajah terkena asap dan gosong, bahasa kami cemong, saya yang sore hari sudah memakai baju baru, kadang ingin menolak, tapi tak tega melihat ibu melakukannya sendiri.
Semua “pawon” mengepulkan asap, memasak ketupat, orang-orang biasa menyebutnya secara ringkas “kupat”, konon ini makanan tinggalan Sunan Kalijaga yang syarat makna. “Ngaku Lepat”, sebuah ungkapan yang sering diucapkan dengan bahasa Arab yang rapih, dan kadang kala tak kita pahami maknanya secara lengkap: “Minal 'Aidin wal-Faizin”, biasanya diikuti dengan ‘mohon maaf lahir dan batin’.
ADVERTISEMENT
Saat kalimat itu diucapkan antar manusia, di makam desa sebagai titik temu, pagi hari, selepas sholat Ied, seolah semua orang kembali suci, dosa-dosapun lenyap seketika.
Saya teringat kata-kata kyai saya, begini kutipannya: “kalau sudah lebaran, apalagi sudah fitrah, kita akan kembali suci, seperti bayi yang dilahirkan pertama kali ke muka bumi.”
Untuk itulah, tak butuh waktu lama, esoknya kehidupan kembali digelar, ucapan antar anak muda biasanya diselingi dengan kalimat: “kosong-kosong ya”, artinya aku dan kamu sudah tak ada dosa lagi, semua kesalahan yang diperbuat dikosongkan, kehidupan berangkat lagi.
Sayangnya, semua itu timbul karena proses impulsif, dengan keyakinan yang dibentuk dari pengalaman dan orang-orang di sekitar, artinya bukan sebuah kebenaran yang mutlak.
ADVERTISEMENT
Saya yang waktu itu masih remaja, awal tahun 2000an, lebih banyak meniru teman, mengucap “kosong-kosong ya”, dengan jari telunjuk dan jempol menyatu membentuk huruf “O”, tanpa sadar tiga jari yang lain justru terlihat berdiri lebih jelas. Baru akhir-akhir ini saya sadar, itu semua tak valid, simbol “O” dan tiga jari itu memberi petunjuk: ‘tak mungkin ada yang benar-benar kosong’, jika karena minta maaf hati kita cenderung lebih lega, barangkali ‘iya’.
Dosa tetaplah dosa, yang bisa menutup itu semua hanyalah pahala, di akhir nanti kita mengenal hari perhitungan, untuk lebih mudah, bisa disebut hari perbandingan, antara dosa dan pahala yang telah kita ‘debit’ kan selama melanglang buana di dunia.
Saat ini saya sudah pindah ke daerah baru, yang sedikit lebih ramai dengan suasana perkotaan, tetapi ‘Islam Desa’ masih melekat di kepala saya, terkadang, saat melihat ritual keagamaan di sini, saat ramadhan, menjelang lebaran, saya merasa begitu asing: tak ada antre menunggu jagal ayam, tak ada ketupat dengan ragam bentuknya, tak ada opor bumbu pedas, dan tak ada 'nyekar' selepas sholat Ied, barangkali jiwa saya memang orang desa, yang sulit, dan tak akan bisa menjadi ‘kota’, meskipun hanya sedikit.
ADVERTISEMENT
Tetapi, itu tak pernah menjadi soal buat saya.