Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Kartini Sekali Lagi
22 April 2022 17:14 WIB
Tulisan dari Ganda Febri Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
September 1904, mungkin jadi hari yang haru biru, tetapi mengapa kita memilih April untuk mengingat Kartini? Apakah kematian terkesan buruk?, sehingga tidak penting, atau memang sebaiknya tidak perlu untuk diingat.
ADVERTISEMENT
Saat dunia di abad 20 bergerak sangat cepat, kita mengenalnya sebagai titik balik dari era penindasan oleh penjajah Eropa. Sebuah era yang berhasil membentuk watak dan adab bangsa kita saat ini, dengan segala kekurangannya.
Kehidupan perempuan di abad itu terlihat muram, apalagi perempuan bumiputra yang telah dibunuh mimpinya sejak lahir ke dunia. Perempuan saat itu tidak memiliki ruang bebas, orang Eropa di masa itu memperlakukan mereka sebagai teman tidur, pembantu rumah, tanpa ikatan yang terhormat.
Dalam kemuraman itu, di sebuah kota kecil di pesisir utara Jawa Tengah “Jepara”, timbul sebuah gairah dari seorang perempuan yang melawan norma dan adat budaya kolonial. Anak perempuan itu tumbuh dalam dekapan budaya Jawa, yang mengikat kakinya untuk tidak kemana-mana. Kartini kecil, tidak berbeda dengan kawan sebayanya. Ia hidup dalam kungkungan perintah dan aturan budaya yang memenjara.
ADVERTISEMENT
Bedanya, Kartini sedikit lebih beruntung, sebagai anak bupati, ia bisa mengakses dengan mudah bacaan yang mungkin tidak dimiliki teman sebayanya. Selain ia juga punya banyak kenalan anak Eropa yang tinggal di Hindia maupun di Belanda. Posisi sosial itu punya makna besar dalam pembentukan karakter Kartini yang bertolak dengan budaya leluhurnya.
Di abad 17, ketika kolonialisme merayap masuk ke Nusantara, budaya itu justru semakin menunjukan keburukannya, perempuan di sini tidak mendapat penghargaan yang lebih, jika semula mereka adalah milik laki-laki yang mengikatnya, saat bangsa kolonial datang, mereka hanya dihargai sebatas “pemuas birahi”, kalaupun mereka peroleh keberuntungan dari sana, seperti Nyai Ontosoroh dalam Roman Bumi Manusia, itu tidak sedikitpun melebur penderitaan yang mereka rasakan.
ADVERTISEMENT
Kartini tidak berkeinginan hidup dalam bayang-bayang kebiasaan tersebut, ia membaca, menerjemah, menulis surat untuk teman-temannya. Ia tidak ragu mengemukakan pikiran-pikirannya secara terbuka, lagi jujur.
Apabila kita membaca surat-surat Kartini kepada teman Belanda nya, ia nampak ekspresif, ia tidak pernah menutupi kekecewaan, kemarahan, keyakinan dalam kata-kata yang palsu. Ia selalu berbicara bebas, pada dirinya mengalir cara hidup orang Barat, ia menganggap kawan bicaranya adalah teman dalam berpikir. Sehingga tidak ada yang perlu disembunyikan. Liyan bagi Kartini adalah pemberi pengaruh, dan tidak ada salahnya menjadi tempat mengadu.
Di sini Kartini sudah menjauh dari kebiasaan perempuan Jawa, ia berpikiran maju, penuh keresahan. Semua hal pernah Kartini bahas: nasib perempuan, kemiskinan, agama, sikap bangsawan, korupsi/suap, pendidikan, hingga kemerdekaan, dari sekian thema yang Kartini sorot, ia lebih sering bicara tentang nasib perempuan, kenestapaan yang ia sendiri tidak mengerti, bagaimana cara mengakhirinya.
ADVERTISEMENT
Dari pendidikan ala Eropa untuk orang-orang Bumiputra, Kartini mengenal feminisme, gagasan yang di akhir abad 19 sangat populer di Eropa dan terbawa ke negeri jajahan. Dorongan untuk hidup yang tidak memaksa perempuan untuk menjadi apa yang diinginkan laki-laki. Feminisme bukan gerakan untuk menggerus eksistensi laki-laki, ia adalah pikiran untuk menjadikan perempuan memiliki esensi yang lebih.
Kartini sangat mengagumi Max Havelaar, ia dilecut oleh karangan Multatuli itu. Sebagai seseorang yang melihat bagaimana rakyat hidup menderita, Kartini punya pandangan tersendiri, “bagaimanakah ibu-ibu bumiputra dapat mendidik anak-anaknya, kalau mereka sendiri tidak berpendidikan?”, kebodohan menjadi pangkal dari segala persoalan bangsa koloni.
Pada Kartini kita juga mengenal sikap keyakinan yang kuat, ia perempuan yang optimis, seperti dalam sebuah kalimat yang ia tulis untuk Mr. Abendanon, “bermimpilah terus, bermimpilah selama engkau masih dapat bermimpi! Apa artinya bila hidup tanpa mimpi?”, ia punya keresahan pada penindasan, begitupula dengan kemunduran peradaban.
ADVERTISEMENT
Ia tidak bisa disandingkan dengan Cut Nyak Dhien yang angkat rencong melawan Belanda, sebagaimana ia tidak mungkin dimaknai seperti Marta Kristina Tiahahu, Kartini menjadi showcase tersendiri, ia khas, ia bergelut dengan pikiran yang menghadangnya untuk maju.
Kartini meninggal umur 25, kematiannya nyaris tidak pernah dibahas sebagai hari yang juga memiliki makna sejarah bagi gerakan perempuan. Banyak yang menyangsikan keputusan Kartini setelah menikah dengan Bupati Rembang, menjadi istri kesekian. Akhir hidup Kartini dinilai sebagai kekalahannya melawan pikiran yang ia perjuangkan.
Sebenarnya, tidak sedikitpun Kartini merasa kalah, suaminya yang bupati itu mendukung Kartini untuk memajukan dunia pendidikan, Kartini membangun sekolah perempuan untuk meninggikan derajat kaum ibu. Meskipun usaha itu tidak pernah ia rasakah hasilnya, mungkin Kartini tersenyum dari surga, setelah ia pergi, pikiran-pikirannya justru semakin populer di kalangan perempuan.
ADVERTISEMENT
Sampai pertengahan abad 20, sekolah untuk perempuan di berbagai kota telah dibuka: Semarang, Yogya, Bandung, Malang, semua itu merupakan buah perjuangan Kartini.
Setelah menikah, Kartini justru semakin berani, ia menolak menyandang gelar kebangsawanan yang melekat sejak lama pada dirinya. Ia ingin dipanggil seperti rakyat biasa, nama-nama Jawa yang menurutnya nampak indah, natural, tanpa gelar dan embel-embel yang membangun jarak pemisah dengan orang lain.
Sayangnya, ia terlalu cepat direngkuh keabadian, menjelang kematiannya, masih dicatat sebagai kisah yang tragis: menjadi istri kesekian, kalah melawan pikirannya sendiri. Tapi, satu hal yang patut Kartini bangga, dan kita juga perlu, Kartini punya mimpi, yang tidak terlintas dalam pikiran perempuan se zamannya, ia sang pemula, yang tidak pernah mengharap kembalian dari bangsanya.
ADVERTISEMENT
“Apa artinya bila hidup tanpa mimpi?”, katanya lugas.
Apakah perempuan saat ini masih bermimpi selaiknya Kartini? Atau mungkin kita hanya mampu bertahan sebagai penikmat mimpi-mimpi orang lain? Entahlah, mungkin Kartini terlalu berlebihan.