Konten dari Pengguna

Krisis Identitas pada Tokoh Hanafi dalam Novel “Salah Asuhan”

humairoh azzahra
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
25 Oktober 2024 14:17 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari humairoh azzahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Novel "Salah Asuhan" - foto ini berasal dari dokumen pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Novel "Salah Asuhan" - foto ini berasal dari dokumen pribadi
ADVERTISEMENT
Novel “Salah Asuhan” adalah salah satu novel karya Abdoel Moeis yang pertama kali terbit pada tahun 1928 di bawah naungan Balai Pustaka. Secara singkat, novel ini berkisah tentang kehidupan seorang pemuda berdarah Sumatera bernama Hanafi. Hanafi adalah seorang pria pribumi asli yang sudah tidak berayah sejak kecil. Namun, karena ia adalah satu-satunya keturunan laki-laki di keluarga besarnya, maka pamannya bersedia membiayai sekolahnya hingga tamat. Pamannya menaruh harapan besar pada Hanafi, maka ia disekolahkan di sekolah bangsa Eropa dan karenanya, Hanafi pun dititipkan tinggal pada keluarga Eropa pula.
ADVERTISEMENT
Hanafi yang sedari kecil bersekolah dan tinggal di lingkungan Eropa akhirnya merasa dirinya terikat dengan bangsa Eropa. Hanafi merasa malu dengan bangsanya sendiri dan menganggap rendah bangsa Melayu, hanya ibunya saja yang masih diterimanya dengan baik. Hanafi menganggap dirinya jauh di atas para pribumi dan merasa amat terhina bila ia disamaratakan dengan masyarakat pribumi lainnya. Seujung kuku pun Hanafi tidak rela dipandang sebagai golongan pribumi, terlebih oleh sahabat karib sekaligus wanita berketurunan Eropa yang ia cintai, Corrie. Hanafi akan merasa sangat tersinggung bila ihwal statusnya sebagai keturunan bangsa Melayu itu diperbincangkan.
Perangai Hanafi pada masyarakat Melayu betul-betul tidak bermoral, bahkan pada istri dan anaknya sekalipun. Namun, Hanafi beranggapan bahwa tabiat buruknya pada istri dan anaknya itu semata karena ia menikah atas keterpaksaan, sehingga ia merasa bahwa patut baginya berbuat demikian. Bahkan, Hanafi tidak segan untuk memperlakukan buruk dan berkata tak patut kepada istri dan anaknya di depan tamunya yang tidak lain adalah orang-orang Eropa. Hal ini tentu membuat Hanafi terasingkan dari masyarakat Melayu dan dijauhi pula oleh sebagian besar orang Eropa.
ADVERTISEMENT
Hanafi yang merasa dirinya sudah berpaham Eropa dan cocok dengan bangsa Eropa, akhirnya benar-benar melepaskan identitasnya sebagai orang Melayu. Yaitu dengan meminta surat pernyataan persamaan haknya dengan bangsa Belanda dan mengganti namanya menjadi Christiaan Han. Lepasnya Hanafi tentu tidak hanya pada bangsa Melayu, tapi juga merenggangkan dan melepas ikatannya dengan ibu, istri, anak, dan keluarga besar yang mengharap padanya. Persamaan hak ini juga yang menjadi mula perjalanan kasihnya dengan Corrie yang akhirnya juga dipenuhi dengan banyak rintangan.
Kehidupannya dengan wanita pujaannya yang keturuanan Eropa dan dirinya yang sudah disamaratakan hak dengan bangsa Eropa nyatanya tidak sebahagia yang Hanafi pikirkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa keduanya disisihkan dari pergaulan masyarakat sekitar, hanya beberapa orang yang masih bersikap baik pada Hanafi, itu pun terbatas pergaulan kerja saja. Selebih daripada itu, baik Hanafi maupun Corrie seolah hanya punya satu sama lain, hal ini pun yang akhirnya mendatangkan juga ketidaknyamanan bagi keduanya dalam hidup bersuami-istri. Hingga, perselisihan hebat antara keduanya tidak terelakkan lagi dan keduanya berpisah dengan cara yang amat buruk. Akibatnya, Hanafi makin dipandang buruk saja oleh orang-orang sekalian, karena dianggap berbuat menurut sukanya saja.
ADVERTISEMENT
Makin terasalah bagi Hanafi beratnya hidup tanpa Corrie, terlebih dengan dikelilingi orang yang menaruh benci padanya. Meski ia sudah mendapat surat sah persamaan dengan orang Belanda, namun orang-orang sekalian itu memandangnya bahkan lebih rendah dari bangsa Belanda yang hidup kurang tercukupi. Hal ini tentu terasa menghinakan dirinya dan membuatnya merutuki diri atas setiap salah perbuatannya. Katerpurukannya ini membuatnya membayangkan kehidupan ibu, istri, dan anaknya yang ia tinggal di Sumatera.
Hingga pada akhirnya, Hanafi mendapati istri yang disayangnya, Corrie, meninggal dunia karena kolera. Makin terpuruklah Hanafi dan tidak semangat hidupnya, bahkan ketika akhirnya dia memilih untuk kembali ke kampungnya untuk menemui ibunya. Hanafi benar-benar hidup dalam kemasygulan karena semua hal yang menimpanya, hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya untuk selamanya.
ADVERTISEMENT
Perjalanan kisah Hanafi betul-betul memberikan gambaran tentang seberapa besar pengaruh lingkungan pada diri seseorang. Hal ini juga yang agaknya menjadi alasan dipilihnya judul “Salah Asuhan”, karena dalam kisah ini, acap kali perilaku Hanafi diperdebatkan antara akibat dari salah asuhan atau salah campuran. Tentu kedua-duanya memiliki pembenarannya masing-masing tergantung cara kita dalam memandangnya.
Kehidupan Hanafi yang diasuh hanya sebentar oleh ibunya tanpa figur seorang ayah dan tanpa pendidikan nilai-nilai agama serta nilai budaya, membuatnya tidak begitu lekat pada bangsanya sendiri. Lain halnya dengan budaya Belanda. Sejak ia kecil hingga dewasa hidupnya bersama dengan orang Belanda, maka nilai-nilai itulah yang melekat pada dirinya. Sehingga, dapatlah dikatakan bahwa Hanafi telah mengalami krisis identitasnya sebagai orang pribumi asli, bangsa Melayu. Hanafi merasa dirinya lebih pantas bersanding dengan orang-orang Belanda karena telah begitu lama ia hidup bercampur dengan orang-orang Belanda.
ADVERTISEMENT