Konten dari Pengguna

Menitipkan Pilihan Politik

Isnan Nursalim
Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan UGM, Peneliti Political Research and Marketing (POLRAM), dan Pegiatan Kebencanaan & Perubahan Iklim di KONSEPSI NTB
2 September 2024 8:45 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Isnan Nursalim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pemungutan suara di TPS. (Foto: iStock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pemungutan suara di TPS. (Foto: iStock)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Fenomena calon tunggal melawan kotak kosong dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 menjadi perbincangan publik yang ramai dibicarakan belakangan ini. Meskipun keberadaan calon Tunggal sesungguhnya bukanlah hal baru dalam Pilkada di Indonesia. Namun tren jumlah calon tunggal terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015, misalnya, terdapat 3 calon tunggal dari 269 daerah yang menyelenggarakan Pilkada serentak. Angka ini meningkat menjadi 9 daerah dari 101 daerah pada tahun 2017, lalu kembali naik menjadi 16 dari 171 daerah pada tahun 2018, dan pada tahun 2020, jumlahnya melonjak menjadi 25 dari 270 daerah.
ADVERTISEMENT
Pada Pilkada 2024, tren ini semakin mengkhawatirkan dengan adanya peningkatan signifikan jumlah calon tunggal yang bertarung melawan kotak kosong. Menurut data terbaru dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada 48 daerah yang menghadapi situasi ini. Kondisi ini memicu perdebatan publik mengenai kualitas demokrasi di Indonesia, karena ketika pemilih hanya dihadapkan pada satu calon, pilihan mereka menjadi sangat terbatas. Fenomena ini menggarisbawahi kekhawatiran tentang dominasi partai politik dalam menentukan kandidat, serta bagaimana hal ini dapat mengikis makna dari proses demokrasi yang seharusnya memberikan kebebasan kepada rakyat untuk memilih pemimpin mereka.
Padahal dalam sistem demokrasi yang ideal, setiap warga negara sesungguhnya memiliki hak untuk menentukan masa depan mereka melalui pilihan politik yang bebas dan adil. Namun, realitas sering kali menunjukkan sebaliknya. Fenomena politik terkini, seperti yang terjadi di DKI Jakarta, menggambarkan bagaimana kekuasaan elit dan dominasi partai politik dapat membatasi ruang gerak masyaraka dalam menentukan pilihan mereka. Proses demokrasi yang seharusnya mengakomodir kehendak rakyat justru sering kali tersumbat oleh kepentingan elit dan struktur politik yang kompleks.
ADVERTISEMENT
Kekuasaan Elit dan Partai Politik
Di permukaan, demokrasi tampaknya memberikan kebebasan kepada rakyat untuk memilih pemimpin yang mereka inginkan. Namun, dalam praktiknya, struktur kekuasaan elit politik dan partai politik sering kali mengendalikan siapa yang dapat mencalonkan diri dan siapa yang tidak. Kita tidak memiliki kuasa lebih terhadap figur yang akan dicalonkan pada Pilkada 2024 mendatang. Sebab pemegang tiket permainan adalah Partai Politik.
Fenomena ini mencerminkan bagaimana kekuasaan elit dan kekuatan partai politik dapat membatasi akses politik bagi calon-calon potensial yang tidak memiliki afiliasi politik yang kuat. Sistem politik kita memang memainkan peran sentral dalam menentukan kandidat yang akan maju pada Pilkada. Meskipun terdapat opsi maju menggunakan jalur independen, namun perlu memenuhi persyaratan dan harus mengerahkan sumber daya yang tidak sedikit. Sehingga membatasi kebebasan rakyat untuk memilih kandidat yang mereka anggap paling sesuai dengan aspirasi mereka.
ADVERTISEMENT
Ketika kekuasaan elit dan partai politik mendominasi proses pemilihan, dampaknya terhadap demokrasi sangat signifikan. Padahal, demokrasi seharusnya memberikan kekuasaan kepada rakyat untuk memilih pemimpin dan menitipkan harapnnya pada kandidat yang dikehendaki. Namun, ketika proses ini dikendalikan oleh kepentingan tertentu, kita sering kali hanya menjadi penonton. Pilihan yang tersedia sering kali sudah dikendalikan oleh elit politik dan partai-partai besar. Kondisi ini nampaknya juga turut berkontribusi terhadap munculnya fenomena “kotak kosong“.
Dalam buku How Democracies Die (2018), Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt mengungkapkan bahwa dominasi elit yang kuat dapat merusak sistem demokrasi dengan mengendalikan proses politik dan mengabaikan mekanisme checks and balances. Mereka sering kali memanipulasi struktur partai dan proses pencalonan untuk memastikan hanya calon yang mereka dukung yang maju, membatasi keberagaman pilihan pemilih. Maka, fenomena munculnya “kotak kosong“ bisa menjadi indikasi matinya demokrasi perlahan-lahan.
Ilustrasi coblos kartu suara. (Foto: iStock)
Dalam konteks ini, pilihan politik kita sejatinya dititipkan pada partai politik yang memiliki kekuasaan dominan dalam menentukan kandidat yang akan bertarung dalam Pilkada. Meski demokrasi memberikan ilusi kebebasan bagi rakyat untuk memilih, kenyataannya banyak calon potensial yang terhambat oleh kekuatan politik dan afiliasi partai. Akibatnya, kita hanya memiliki sedikit opsi yang sebenarnya mencerminkan aspirasi dan preverensi pilihan politik kita, sering kali terpaksa memilih antara kandidat yang diusung oleh partai besar. Sehingga, penting bagi kita untuk menilai kembali struktur dan mekanisme politik yang ada, agar setiap suara dan harapan rakyat benar-benar bisa tersampaikan dan terealisasi dalam sistem demokrasi kita.
ADVERTISEMENT
Kegagalan Mitigasi Kotak Kosong
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memperpanjang masa pendaftaran bakal calon kepala daerah yang hanya memiliki calon tunggal. Perpanjangan masa pendaftaran Pilkada 2024, yang berlangsung dari Senin, 2 September hingga Rabu, 4 September 2024. dilakukan sebagai upaya untuk mencegah kotak kosong dan memastikan adanya pilihan alternatif bagi pemilih di daerah-daerah tersebut. Nampaknya langkah ini tidak sepenuhnya menjamin munculnya kandidat tambahan yang dapat bersaing dengan calon tunggal.
Potensi kegagalan mitigasi dalam melawan kotak kosong setidaknya dapat dibaca dari upaya dalam mengkondisikan partai politik. Sejak awal, upaya ini terlihat jelas dengan pembentukan koalisi besar yang mengusung calon tunggal. Dengan adanya koalisi besar ini, maka akan sulit untuk mengubah peta politik yang sudah terbentuk. Koalisi besar ini tidak hanya meminimalkan ruang bagi calon alternatif, tetapi juga mengkonsolidasikan dukungan politik yang menjadikan kandidat tunggal semakin sulit untuk ditantang. Sehingga meskipun dilakukan upaya perpanjangan pendaftaran calon kepala daerah, nampaknya akan sulit memunculkan calon alternatif di masa perpanjangan pendaftaran ini. Hal ini karena tantangan struktural dan dominasi koalisi politik yang sudah ada, yang membatasi kemungkinan munculnya calon baru dan mereduksi pluralitas dalam kontestasi politik.
ADVERTISEMENT
Keberadaan kotak kosong ini menunjukkan ketidakseimbangan yang mencolok antara idealisme demokrasi dan praktik politik yang sesungguhnya, di mana suara rakyat seakan hanya menjadi pelengkap dari keputusan yang sudah ditentukan sebelumnya oleh elit politik dan partai-partai koalisi. Sehingga membutuhkan upaya transformatif dalam memberpabiki iklim demokrasi kita kedepan. Tanpa reformasi yang mendalam dalam mekanisme pencalonan dan upaya yang lebih serius untuk mendorong partisipasi politik yang lebih luas dan inklusif, kotak kosong akan terus menjadi momok yang mengancam kualitas demokrasi di tingkat lokal dan nasional. Ini adalah panggilan untuk merefleksikan dan menata ulang sistem politik kita agar benar-benar bisa mewakili kehendak rakyat, bukan hanya menjadi formalitas yang dijalankan atas nama demokrasi.