Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Beratnya Bisnis Kereta Cepat: Di Jepang dan China Pun Merugi
22 November 2021 16:40 WIB
·
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
BUMN pengelola kereta cepat di China, China State Railway Group Co (China Railway) pada semester I 2021 melaporkan kerugian sebesar 50,7 miliar yuan atau setara Rp 113,3 triliun.
Angka itu masih lebih baik dibandingkan periode sama tahun lalu, saat perusahaan pengelola kereta cepat itu membukukan kerugian 95,5 miliar yuan atau setara Rp 213,4 triliun. "Kinerja China Railway di 2021 membaik, tapi kerugiannya masih terlalu besar," tulis Global Times, dikutip Senin (22/11).
Kerugian besar juga dialami pengelola kereta cepat Jepang, yang merupakan perintis sarana transportasi massal ini. Central Japan Railway yang mengoperasikan kereta cepat shinkansen rute Tokyo-Osaka, per 31 Maret 2021 mencatat kerugian 201,5 miliar yen atau sebesar Rp 25,2 triliun.
ADVERTISEMENT
Operator kereta cepat lainnya di Jepang, West Japan Railway Co atau JR West di sepanjang 2020 juga merugi 161,8 juta yen atau sekitar Rp 20,25 miliar. Angka itu membalik keuntungan di tahun sebelumnya yang sebesar 117 juta yen atau sekitar Rp 15 miliar.
Dikutip dari Japan Times, kerugian para operator kereta cepat Jepang itu dipicu anjloknya jumlah penumpang di masa pandemi.
Beban Ekonomi di Masa Investasi
Lembaga kajian ekonomi CATO Institute mengungkapkan, risiko ekonomi dan keuangan dari bisnis kereta cepat, tak hanya pada masa pengelolaan bisnis. Tapi juga di masa investasi dan pembangunan.
Jepang merupakan pioneer di pembangunan kereta cepat. Negara itu pertama kali mengoperasikan kereta peluru pada 1964. Tapi dampak ke ekonomi dari investasi itu, masih terasa hingga dekade 1990-an.
ADVERTISEMENT
"Ada sisi gelap dari kereta peluru Jepang. Ekonomi Jepang terhenti pada tahun 1991 dan merupakan salah satu ekonomi dengan pertumbuhan paling lambat di antara negara-negara maju selama dua dekade berikutnya," tulis CATO Institute.
Salah satu yang membuat Jepang kehilangan kemampuan investasi di bidang lain selain kereta cepat, adalah karena politisi Jepang bersikeras bahwa negara itu harus membangun lebih banyak jalur kereta api berkecepatan tinggi.
Proyek tersebut dibangun ke daerah-daerah yang potensi jumlah penumpangnya sedikit, dibandingkan proyek Shinkansen pertama. Akibatnya harga tiket kereta cepat harus dijual lebih mahal dan makin tidak menarik buat calon penumpang.