news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kala Debt Collector Hancurkan Hidup Nasabah Pinjaman Online

12 November 2018 11:47 WIB
Teror debt collector pinjaman online. (Foto: Rivan Dwiastono/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Teror debt collector pinjaman online. (Foto: Rivan Dwiastono/kumparan)
ADVERTISEMENT
Lilitan utang pinjaman online membuat karier Sundari (bukan nama sebenarnya) sebagai guru, tamat. Musababnya, penagih utang atau debt collector meneror rekan-rekannya.
ADVERTISEMENT
Dua rekan Sundari kena damprat debt collector. Sang debt collector main tuding, mengatakan kedua rekan Sundari sebagai penjamin utang. Kalut, sang rekan mengadukan Sundari ke sekolah. Alhasil, Sundari dipecat dari Taman Kanak-kanak tempatnya bekerja.
“Mereka (debt collector) mengancam datang ke sekolah. Orang sekolah takut kenapa-kenapa sama anak kecil di sana. Saya disuruh tidak bekerja lagi, dibilang pakai nama (rekan) sebagai penjamin utang,” kata Sundari ketika berbincang dengan kumparan di Ciputat, Tangerang Selatan, Rabu (7/11).
Sundari masih ingat terakhir mengajar pada 8 Juni 2018. Ia mengajukan pembelaan diri, tapi percuma. “Saya bilang, saya nggak pernah kasih nomor siapa pun yang ada di sini (sekolah).”
Pemecatan Sundari hanya berselang beberapa bulan setelah ia berurusan dengan pinjaman online alias fintech lending. Ia mulai mengutang Maret 2018, saat butuh duit cepat untuk mengobati infeksi rahim yang ia derita.
ADVERTISEMENT
Besar pinjaman adalah Rp 500 ribu dengan tenor 7 hari. Pinjaman itu ia lunasi. Datanglah tawaran utang selanjutnya yang lebih besar, antara Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta dengan tenor 14 hari kerja. Itu juga berhasil lunas.
Masalah muncul saat Sundari mengiyakan tawaran utang sebesar Rp 2 juta. Ia tak dapat memenuhi utang dan memilih jalan keluar riskan: menutup utang dengan membuka pinjaman online lainnya.
Apesnya, dari pinjaman Rp 1,8 juta yang ia ajukan, hanya Rp 1,1 juta yang dikirim ke rekeningnya. Sisa Rp 700 ribu dipangkas untuk kebutuhan administrasi.
“Memang (dipotong) begitu, tapi biasanya enggak sampai Rp 700 ribu. Paling kalau pinjam sejuta, yang diterima Rp 800 ribu, lalu dibalikin sejuta. (Yang terakhir) ini nggak cukup buat bayar (utang),” kata suami Sundari yang mendampingi istrinya.
ADVERTISEMENT
Pembayaran tersendat, debt collector beraksi. Dering telepon berujung caci maki menghampiri telepon seluler Sundari. Tak hanya dia, keluarga seperti sepupu, tante, mertua, juga rekan kerja, juga ikut ditelepon dan diteror.
Para debt collector tak segan berkata kasar dan terus main klaim dengan mengatakan rekan atau saudara Sundari itu merupakan penjamin utang.
Sundari tak habis pikir dari mana mereka mendapatkan nomor kontak keluarga dan kenalannya. Sebab mereka menelepon ke nomor telepon genggam, bukan telepon rumah.
“Waktu saya mengajar dan tak angkat handphone, dia telepon ke HRD. Bukan ke nomor kantor, tapi nomor handphone pegawai HRD saya,” tutur Sundari.
Sundari dan suaminya berhadapan dengan caci maki debt collector. Rezeki mereka macet total. Gaji sang suami yang hanya kurir tak dapat menutupi jeratan utang. Telepon genggam dan televisi pun sampai digadai.
ADVERTISEMENT
Telinga suami Sundari sampai kebal mendengar kata-kata kasar. “Kalau lagi suntuk, ya capek (dengarnya). Tapi kalau lagi minum kopi, sambil merokok, ya sudah dijawab saja (teleponnya).”
Fatmawati (nama samaran), salah satu nasabah pinjaman online. (Foto: Rivan Dwiastono/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Fatmawati (nama samaran), salah satu nasabah pinjaman online. (Foto: Rivan Dwiastono/kumparan)
Sundari bukan satu-satunya yang bernasib apes ketika berhadapan dengan debt collector. Fatmawati (nama samaran) juga harus menanggung malu. Seperti Sundari, ia terjerat pinjaman online dan gali lubang tutup lubang.
Telat bayar berbuah makian tak senonoh. Fatmawati bahkan sempat merekam kata-kata kasar yang melecehkannya. Ia disuruh menari telanjang, lalu utangnya dianggap lunas.
“Gini deh, lu gua beli aja deh. Harga lu berapa, sih? Lu telanjang, joget-joget, nanti videonya kirim ke gue. Utang lu semua gue bayarin, gue langsung anggap lunas,” bunyi rekaman suara debt collector itu.
ADVERTISEMENT
Debt collector lain menelepon ke kantornya, berteriak melengking di telepon, menyebut Fatmawati maling. Orang sekantor ramai membicarakannya. Fatma pun dapat teguran keras dari atasan.
“Saya tertekan sekali. Rasanya ingin nangis, tapi saya harus kuat,” kata Fatmawati ketika bertemu kumparan di kawasan Glodok, Jakarta Barat.
Orang tua, kerabat, serta orang dekat Fatmawati tidak ada yang absen dari kejaran debt collector. Mereka tak segan memaki orang-orang dekatnya.
Fatma menyesal telah memberikan akses kontak kepada pinjaman online. “Saya izinkan untuk mengakses kontak dan galeri. Kalau nggak klik yes, nggak masuk ke rekening uangnya. Jadi terpaksa harus di-accept.
Waspada Jebakan Pinjaman Online (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Waspada Jebakan Pinjaman Online (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Makian debt collector juga nyaris mencabut nyawa nasabah lain, Larasati (bukan nama sebenarnya), nyaris mati menenggak minyak tanah karena putus asa. Ia dipecat dari pekerjaannya sebagai asisten rumah tangga karena debt collector menelepon majikannya.
ADVERTISEMENT
Keluarga dan kerabat juga menerima makian debt collector. Larasati malu bukan main. Ia memutuskan untuk bunuh diri, namun selamat.
Tapi, lolos dari maut tak membuat Larasati jera. Akhir Agustus lalu, ia melego ginjalnya di Facebook demi melunasi semua utang. Ia berharap, setelah seluruh utangnya terbayar, hidupnya akan kembali normal.
“Biarlah aku terbaring di kasur selamanya. Pokoknya utang dan urusan dengan pinjol ini selesai,” kata dia.
Larasati, Fatmawati, dan Sundari hanya tiga dari 283 korban pinjol yang mengadu ke LBH Jakarta. Mereka mendapat rupa-rupa ancaman verbal dari debt collector
Kepala Divisi Advokasi Bidang Perkotaan dan Masyarakat Urban LBH Jakarta, Jeanny Silvia Sari Sirait, menganggap aksi debt collector menebar teror kepada nasabah sebagai tindak pidana. Sebab penagihan perbankan dilarang menggunakan kekerasan fisik atau verbal.
ADVERTISEMENT
Aturan soal tata cara penagihan tercantum dalam standar operasional prosedur (SOP) Bank Indonesia. Regulasi itu juga memuat larangan penagihan kepada pihak selain dari si pemegang kredit, dan larangan penagihan dengan sarana komunikasi yang mengganggu.
“Aturan ada, tapi sistemnya nggak mumpuni. Pengawasan nggak baik, jadi tentu bersoal kan?” kata Jeanny di kantornya, LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat.
Perusahaan pinjaman online selama ini menggunakan debt collector melalui sambungan telepon, dan field collector selaku penagih lapangan. Praktik penagihan melalui dua sarana ini rentan pelanggaran karena tak hanya meneror nasabah, tetapi orang-orang di sekitarnya.
Sementara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dianggap LBH Jakarta masih alpa melindungi nasabah pinjaman online. Peraturan OJK Nomor 77 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi tak mengatur tentang etika penagihan.
ADVERTISEMENT
Sementara Pasal 39 POJK 77 yang berbunyi, “Penyelenggara dilarang memberikan data dan informasi mengenai pengguna kepada pihak ketiga” rawan pelanggaran.
Sejumlah sumber kumparan menyebutkan, sering kali debt collector yang menagih secara berlebihan berasal dari luar perusahaan atau pihak ketiga (outsourcing).
Kebocoran data disinyalir digunakan oleh debt collector untuk menghubungi orang-orang di sekitar konsumen guna menagih utang. Akses ke galeri foto juga dimanfaatkan untuk mengancam menyebarkan wajah konsumen di media sosial.
Padahal, perizinan mengakses kontak dan galeri mau tak mau harus dilakukan calon konsumen. Jika konsumen tidak memberikan izin, maka aplikasi pinjol urung mencairkan uang yang diminta.
Lipsus "Jerat Setan Pinjaman Online". (Foto: kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lipsus "Jerat Setan Pinjaman Online". (Foto: kumparan)
Aksi kekerasan verbal terhadap nasabah terlanjur menimbulkan efek psikologis. Mereka trauma berkepanjangan.
ADVERTISEMENT
Psikolog klinis Fitri Fausiah menilai upaya Larasati untuk bunuh diri, misalnya, karena ia tak mampu mengendalikan tekanan terhadap dirinya. Jalan pintas pun dipilih.
“Ada titik di mana mereka sudah tidak tahu lagi harus bagaimana. Jadi ada keinginan untuk mengakhiri semuanya,” kata Fitri, Jumat (9/11).
Sementara Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama (AFPI) Sunu Widiatmoko mengatakan, aplikasi pinjaman online yang tergabung dalam organisasinya tak pernah menebar teror psikologis.
Menurut Sunu, debt collector dari pihak ketiga memang jadi biang keladi. Pula ketiadaan SOP penagihan membuat mereka semena-mena terhadap konsumen.
Sunu tak keberatan jika OJK meminta kepada AFPI untuk menyusun regulasi terkait masalah penagihan oleh agensi atau pihak ketiga.
ADVERTISEMENT
“Harus ada sertifikasinya, dan harus terdaftar di asosiasi, supaya praktik penagihan yang tidak sesuai itu bisa kita hindari dan hilangkan,” ujarnya kepada kumparan di Kota Kasablanka, Selasa (6/11).
Debt collector yang semena-mena dalam penagihan, imbuh Sunu, biasanya bukan dari perusahaan fintech yang terdaftar di OJK maupun AFPI. Ini membuat mereka sulit dipantau dan ditindak.
Ragam aplikasi pinjaman online. (Foto: Fitra Andrianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ragam aplikasi pinjaman online. (Foto: Fitra Andrianto/kumparan)
CEO UangTeman, Aidil Zulkifli, menjelaskan SOP penagihan di perusahaannya meliputi soft negotiation, larangan ke rumah konsumen lebih dari jam 20.00 malam, dan harus sopan.
Aidil yakin debt collector dari perusahan pinjaman online yang terverifikasi di OJK, tidak akan melanggar kode etik itu.
“Itu adalah perbedaan utama antara fintech legal dan ilegal,” kata Aidil saat berbincang dengan kumparan di kantornya, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (8/11).
ADVERTISEMENT
Seorang field collector yang tak ingin disebutkan namanya mengatakan, kekerasan atau ancaman verbal ketika mereka melakukan penagihan hanya gertakan belaka. Hal itu dilakukan agar konsumen mau membayar utang tepat waktu.
“Itu cara-cara debt collector. Ada ilmunya, dan itu senjata mereka. Ancaman itu hanya shock therapy,” katanya kepada kumparan, Jumat (9/11).
Lebih jauh, menurutnya, banyak konsumen yang lebih dulu memancing emosi. “Siapa sih yang enggak emosi? Apalagi ini menyangkut pekerjaan kami.”
Ia berkata, “Kalau kami enggak begini, berarti kami enggak makan, enggak dapat duit, enggak dapet gaji, dan enggak kerja. Kami terpaksa. Kami harus profesional.”
ADVERTISEMENT
***
Untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat, berikut kami lampirkan fintech lending yang tak terdaftar di OJK (bagian atas, tabel putih), dan fintech lending yang telah terdaftar di OJK (bagian bawah, tabel merah-kelabu). Bila ragu, Anda dapat menghubungi contact center OJK di 157 untuk memperoleh informasi seputar produk jasa keuangan, termasuk fintech.
------------------------
Waspada Jerat Setan Pinjaman Online. Simak Liputan Khusus kumparan.