Kisah Tommy Soeharto dan Mobil Timor yang Berbuntut Panggilan Satgas BLBI

25 Agustus 2021 8:33 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi mobil sedan Timor. Foto: JOHN MACDOUGALL / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mobil sedan Timor. Foto: JOHN MACDOUGALL / AFP
ADVERTISEMENT
Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI atau Satgas BLBI memanggil mantan bos PT Timor Putra Nasional (TPN), Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Putra bungsu Presiden ke-2 RI, Soeharto, itu dijadwalkan pada Kamis (26/8).
ADVERTISEMENT
"Agenda pemanggilan untuk menyelesaikan hak tagih dana negara berdasarkan penetapan jumlah piutang negara nomor PJPN-375/PUPNC.10.05/2009 tanggal 24 Juni 2009 setidak-tidaknya sebesar Rp 2.612.287.348.912,95,” demikian dinyatakan Satgas BLBI di pengumuman tersebut, dikutip Rabu (25/8).
Bersama dengan Tommy Soeharto, Satgas BLBI juga memanggil pengurus PT Timor Putra Nasional dan Ronny Hendrarto Ronowicaksono. Dari penelusuran kumparan, Ronny pernah tercatat sebagai Direktur Utama (Dirut) TPN.

Timor, Kisah Mobil Nasional yang Gagal

PT Timor Putra Nasional (TPN) merupakan perusahaan otomotif yang didirikan Tommy Soeharto pada 1996. Perusahaan ini awalnya digadang-gadang menjadi produsen mobil buatan Indonesia atau mobil nasional.
Ilustrasi mobil sedan Timor. Foto: ROMEO GACAD / AFP
Program mobil nasional sendiri didasarkan atas Inpres Nomor 2 Tahun 1996 yang diteken oleh presiden saat itu, Soeharto. Inpres tersebut ditujukan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) agar secepatnya mewujudkan industri mobil nasional.
ADVERTISEMENT
Penunjukan pelaksana program mobil nasional ini jatuh ke tangan PT TPN. Di tahap awal, TPN mengimpor langsung mobil KIA Sephia dari Korea Selatan secara utuh (Completely Built-Up/CBU). Mobil buatan KIA Motors itu kemudian diganti logo dan mereknya jadi Timor.
Untuk menjalankan bisnisnya, Tommy Soeharto melalui PT TPN mendapat pinjaman dari Bank Bumi Daya. Untuk meraih pinjaman itu, PT TPN menjaminkan rekening giro dan deposito sebesar Rp 1,2 triliun. Dari pinjaman tersebut, PT TPN disebut masih punya tunggakan sebesar Rp 2,3 triliun. Bank Bumi Daya sendiri telah ditutup pasca-krisis ekonomi 1998 dan digabungkan jadi Bank Mandiri.
Selain fasilitas pinjaman bank, TPN juga diberi banyak fasilitas perpajakan dan insentif dari pemerintah, karena menyandang status pelaksana program mobil nasional. Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 1996 yang membebaskan bea masuk impor mobil oleh PT TPN. Pada rentang Juni 1996-Juli 1997 ada sebanyak 39.715 unit KIA Sephia yang diimpor PT TPN.
Tommy Soeharto. Foto: ROMEO GACAD / AFP
Keistimewaan ini dinilai tidak adil oleh industri otomotif lain, terutama asal Jepang yang sudah lama beroperasi di Indonesia. Jepang pun menggugat kebijakan tersebut Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Seiring itu, Indonesia diterpa krisis ekonomi pada 1997 yang berujung dengan kejatuhan Soeharto pada 21 Mei 1998.
ADVERTISEMENT
Program mobil nasional milik Tommy Soeharto yang sudah menerima banyak fasilitas dan insentif itu, gagal.

Jejak Tommy Soeharto di Bisnis Perbankan

Selain dalam proyek mobil nasional, urusan Tommy Soeharto soal keuangan negara juga ada dalam jejaknya di bisnis perbankan. Tommy Soeharto pernah tercatat sebagai pemilik Bank Pesona Utama, yang memperoleh dana bantuan likuiditas (BLBI) senilai Rp 2,33 triliun.
Saat krisis ekonomi melanda Indonesia 1998, para nasabah menarik dana mereka besar-besaran dari bank. Akibatnya bank kehabisan likuiditas, termasuk Bank Pesona Utama serta belasan bank lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan dana nasabah, Bank Indonesia (BI) menyalurkan dana talangan yang disebut BLBI. Masalahnya, kredit yang disalurkan bank-bank penerima BLBI itu, banyak disalurkan ke kelompok usaha milik sendiri.
ADVERTISEMENT
Usaha itu pun banyak yang bangkrut akibat krisis ekonomi. Sehingga dana BLBI dari negara, seperti mengganti kerugian para pemilik bank dan bisnis mereka yang bangkrut. Jacqueline Hicks dalam bukunya, 'The Politics of Wealth Distribution in Post-Soeharto Indonesia: Political Power, Corruption and Institutional Change' (2004), menyebut para pemilik bank mentransfer dana BLBI yang mereka terima ke rekening di luar negeri.