Masyarakat Miskin RI Didominasi Petani, Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?

1 September 2024 14:30 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petani Suparlan mengangkat padi apung yang telah di panen. Foto: Bayu Pratama S/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Petani Suparlan mengangkat padi apung yang telah di panen. Foto: Bayu Pratama S/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Masyarakat miskin di Indonesia salah satunya didominasi dari kalangan petani. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 47,94 persen profil pekerjaan dari penduduk miskin ekstrem berasal dari sektor pertanian.
ADVERTISEMENT
Petani memiliki segelintir masalah yang menyebabkan sektor tersebut menjadi penyumbang terbesar rumah tangga miskin ekstrem. Hal ini dapat diatasi dengan beberapa hal seperti transformasi sampai subsidi biaya produksi.
Saat ini, transformasi pekerjaan dari petani ke sektor industri menjadi salah satu cara yang menurut Direktur Institute for Development of Economics and Development (INDEF) Tauhid Ahmad dapat dilakukan oleh para petani. Ia melihat saat ini jumlah petani khususnya petani tanaman pangan sudah terlalu banyak.
“Jumlahnya harus dikurangi, mereka harus beralih ke sektor industri yang para tenaga kerja. Kalau mereka enggak ber-transform diri, enggak berpindah sektornya berat,” ungkap Tauhid pada kumparan, Minggu (1/9).
Selain cara tersebut, cara lain yang ditawarkan Tauhid adalah konsolidasi lahan. Dalam hal ini, ia melihat konsolidasi lahan seperti pembentukan manajemen yang sederhana untuk efisiensi harus dilakukan.
ADVERTISEMENT
“Konsolidasi lahan garapan, masalahnya kita enggak seperti di Amerika puluhan hektar. Kita enggak ada, konsolidasi tuh sehingga pengerjaannya lebih efisien. Katakanlah beberapa lahan garapan dijadikan dalam satu manajemen, satu tata kelola sehingga bisa lebih efisien,” kata Tauhid.
Meski begitu, langkah tersebut harus didorong dengan teknologi pertanian serta akses pembiayaan yang mudah. “Tentu saja perlu ada teknologi untuk budidaya, pengembangan kelompok, akses pembiayaan dan sebagainya.,” lanjutnya.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad usai acara Gambir Trade Talk 15 di Jakarta Pusat, Rabu (14/8). Foto: Widya Islamiati/kumparan
Tauhid juga melihat langkah yang sudah dilakukan pemerintah seperti subsidi pupuk sebagai salah satu unsur biaya produksi harus tetap dijaga. Hal ini agar para petani dapat mendapat pupuk dengan harga yang sesuai.
“Harus dijaga, subsidi tetap diperlukan. Mereka harus didorong, di negara lain itu dilindungi. Katakanlah mereka mendapatkan harga relatif bagus,” ungkap Tauhid lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Tauhid menjelaskan permasalahan yang dialami para petani sehingga mereka menjadi sektor terbesar dalam rumah tangga miskin ekstrem meliputi minimnya kepemilikan lahan yang berdampak pada kapasitas produksi yang kecil. Selain itu kenaikan biaya produksi seperti pupuk juga berpengaruh pada kecilnya penghasilan yang didapat petani.
Petani menebar pupuk di areal sawah desa Brondong, Kecamatan Pasekan, Indramayu, Jawa Barat, Jumat (8/1/2021). Foto: Dhedez Anggara/ANTARA FOTO
“Kenaikan biaya produksi seperti pupuk, pestisida, upah tenaga kerja itu lebih jauh besar sekali sehingga keuntungan yang mereka dapat tidak signifikan,” jelas Tauhid.
Berdasarkan data rumah tangga miskin ekstrem banyak disumbang oleh sektor pertanian. Lebih dari 50 persen bekerja di sektor pertanian atau petani dan dengan status pekerja informal dan ada 9,34 persen yang tidak memiliki toilet.
"Kalau kita lihat bagaimana profil pekerjaan dari penduduk miskin ekstrem, memang 47,94 persen penduduk miskin ekstrem ini bekerja di sektor pertanian," kata Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers di Kantor Pusat BPS, Jumat (30/8).
ADVERTISEMENT