Pengamat: Pajak Jastip Harus Dibuat Kategorisasi

28 September 2019 16:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
com-Ilustrasi Jastip Foto: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
com-Ilustrasi Jastip Foto: Unsplash
ADVERTISEMENT
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan berencana mengenakan pajak kepada para pelaku bisnis jasa titipan (jastip). Pelaku jastip nantinya akan diwajibkan memiliki NPWP.
ADVERTISEMENT
Sebab, selama ini pelaku bisnis jastip seringkali terbebas dari sejumlah pungutan seperti bea masuk, pajak impor, hingga Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM).
Pengamat Pajak dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Rony Bako, tak memungkiri potensi pungutan pajak untuk bisnis jastip memang besar.
"Kalau itu diatur secara tegas besar sekali pendapatan negara dari situ. Terutama pelabuhan laut, kayak Batam gitu kan. Kalau di Soetta itu enggak seberapa, terus kalau di Surabaya Jawa Timur juga besar, Bali juga besar," jelas dia.
Meski demikian, Rony menyebut pemerintah sebaiknya perlu mengatur kategorisasi untuk bisnis jastip sebelum menerapkan pajak.
com-Membuka Jastip. Foto: Shutterstock
Penerapan kategori itu, kata dia, berupa jenis barang hingga besaran nilainya. Terlebih, para pelaku jastip tergolong sebagai penyedia jasa, yang barangnya tak dimiliki sendiri.
ADVERTISEMENT
"Boleh bikin NPWP tapi kategori jastip harus disebutkan. Misalnya jastip adalah orang yang melakukan ini, ini, ini. Dan wajib punya NPWP, tapi sekarang kan belum jelas, yang diatur kan nilai barangnya hanya di atas USD 500. Sama seperti jasa asuransi kan sudah diatur," paparnya.
Peraturan Menteri Keuangan nomor 203/PMK.04/2017 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Barang yang Dibawa oleh Penumpang dan Awak Sarana Pengangkut.
Dalam aturan ini, penumpang sebetulnya diperbolehkan membawa barang pribadi dengan batas nilai USD 500.
Sehingga, pemungutan pajak untuk bisnis jastip akan bisa lebih terstruktur dan berkembang. Namun, tetap adil bagi usaha bisnis yang lain seperti ritel.
"Karena yang USD 500 itu berlaku untuk semua barang, jadi enggak fair juga, jadi biar enggak dipukul rata. Supaya juga bisa adil untuk orang yang sudah membuka retail di Indonesia," ujarnya.
ADVERTISEMENT