
PHK Massal dan Tutupnya Pabrik: Alarm Tumbangnya Industri Padat Karya Nasional
10 Maret 2025 17:55 WIB
·
waktu baca 14 menitKementerian Perindustrian menyatakan, PT Sanken tutup lantaran permintaan perusahaan induknya di Jepang untuk fokus pada produksi semikonduktor. Sementara PT Yamaha Music disebut mengalami penurunan produksi piano sehingga akan merelokasi pabriknya ke negara asalnya di Jepang.
Yang paling mengagetkan tentu saja tutupnya PT Sri Rejeki Isman (PT Sritex ). Kolapsnya raksasa pabrik tekstil ini dimulai dari pengumuman pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 10.660-an karyawannya pada 26 Februari lalu.
“Tanggal 26 Februari kami di-PHK oleh kurator, kemudian diberi waktu dua hari untuk mengemas barang pribadi karena posisi masih kerja… Bayangkan, orang lagi kerja lembur, tapi diputus PHK,” kata Slamet Kaswanto, Koordinator Serikat Pekerja Sritex Group, di hadapan anggota Komisi IX DPR, Selasa (4/3).
Langkah PHK diambil setelah Mahkamah Agung menolak kasasi pailit yang dijatuhkan pada Putusan Nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg.
Pailitnya Sritex tidak tiba-tiba. Perusahaan yang didirikan keluarga HM Lukminto itu sempat berstatus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pada 2021 setelah digugat sejumlah debitur dengan nilai tagihan Rp 12,9 triliun.
Sritex sempat mengajukan perdamaian (homologasi) kepada para debiturnya, namun gagal memenuhi kesepakatan yang ada dalam klausul homologasi tersebut. Alhasil, perusahaan yang berlokasi di Sukoharjo, Jawa Tengah, itu kemudian digugat dan diputus pailit pada Maret 2024.
Sejak Sritex diputus pailit, Karwi yang saat itu masih karyawan Sritex sudah gamang mengenai statusnya di perusahaan tersebut. Namun, Sritex masih tetap beroperasi karena diminta pemerintah menghindari PHK.
Besarnya perhatian pemerintah terhadap Sritex tecermin pada berbagai momen. Januari 2024, misalnya, Gibran Rakabuming yang saat itu masih cawapres mengunjungi pabrik Sritex dan menyinggung perihal hilirisasi di ranah tekstil. Ia berjanji akan menyederhanakan peraturan agar industri tekstil bisa tumbuh.
Presiden Prabowo sendiri pada Oktober 2024 lalu telah memerintahkan empat menterinya (Menteri Perindustrian, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri BUMN, dan Menteri Keuangan) untuk menggodok skema penyelamatan Sritex.
Meski begitu, usai putusan MA inkrah menetapkan Sritex pailit pada 18 Desember 2024, perusahaan—yang kemudian berada di bawah manajemen kurator kepailitan—itu akhirnya memutuskan PHK dan menghentikan operasionalnya per 1 Maret 2025.
“[Rasanya] campur aduk. Terharu karena harus berhenti bekerja, berpisah dari teman-teman kerja yang sudah tahunan bersama,” ujar Karwi yang sudah 17 tahun bekerja di Sritex.
60 Industri Padat Karya Tumbang Sejak 2022
Tutupnya pabrik-pabrik dan PHK massal di industri manufaktur Indonesia bukan baru terjadi pada awal 2025. Berdasarkan data yang dihimpun Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), dan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (Apsyfi), sepanjang 2022–2024 ada 60 industri yang bernasib sama.
Direktur Eksekutif API Danang Girindrawardana mengatakan, yang terlihat di media biasanya hanya PHK perusahaan yang memiliki jumlah karyawan di atas seribu orang. Padahal ada sejumlah industri yang sudah jatuh dengan karyawan beberapa ratus orang, contohnya industri hulu tekstil semacam produsen benang, serat, rayon, dan filamen.
“Jumlahnya masif sekali,” kata Danang kepada kumparan di Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (7/3).
Masifnya gelombang PHK—bahkan sebelum kasus Sritex—juga tercermin dari data BPJS Ketenagakerjaan.
Sejak Januari hingga September 2024, jumlah pekerja yang mengklaim manfaat Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) mencapai lebih dari 40.000 orang dengan nilai Rp 289 miliar. Jumlah ini naik 14% (23.545 orang) dibanding periode yang sama pada tahun 2023.
Badai PHK juga membuat klaim Jaminan Hari Tua (JHT) pada periode Januari–September 2024 mencapai Rp 35,6 triliun yang diberikan kepada lebih dari 2,3 juta pekerja. Dari total kasus klaim JHT itu, sebesar 29% atau 693.600 penerima merupakan pekerja terdampak PHK. Sementara khusus untuk eks pekerja Sritex, dana JHT yang disiapkan mencapai Rp 125 miliar.
Staf Khusus Menteri Perindustrian Febri Hendri menjelaskan, pihaknya tengah mengumpulkan dan memvalidasi data terkait industri yang berhenti produksi. Yang ia bisa pastikan, berdasarkan data yang diberikan Kementerian Ketenagakerjaan, pada 2024 ada 50.000 orang yang terkena PHK di sektor industri secara keseluruhan.
Data itu dihimpun oleh Kemnaker dan BPJS Ketenagakerjaan, mencakup industri manufaktur, konstruksi, pertanian, transportasi, pergudangan, dan lain-lain di seluruh sektor ekonomi. Data ini agak berbeda dengan yang dipublikasikan pada situs Satu Data Kemnaker yang mencatat ada 77.965 pekerja di-PHK pada 2024.
Febri membenarkan ada pula PHK di industri manufaktur yang dibina Kemenperin. Namun, menurutnya, berdasarkan data Sistem Informasi Industri Nasional (SIINAS), masih lebih banyak jumlah pembukaan lapangan kerja di industri yang baru berproduksi pada 2024 dibanding dengan jumlah PHK.
Merujuk data SIINAS, industri manufaktur yang mulai beroperasi tahun 2024 berjumlah 14.000 perusahaan. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya, 2023, yang hanya 6.000-an. Dari 14.000 perusahaan baru itu, ada satu juta tenaga kerja yang disebut bisa terserap.
“Yang masuk itu 1 juta [pekerja] di tahun 2024, yang kena PHK itu cuma 50 ribu. Jadi lebih sedikit yang kena PHK. Masih banyak rakyat Indonesia ini yang bekerja di industri manufaktur. Tapi sekali lagi, pemberitaan lebih banyak kepada soal PHK dan penutupan industri,” kata Febri.
Kemenperin tengah mengupayakan agar pekerja terdampak PHK dapat bekerja di industri yang sama dan dekat lokasi pekerjaan sebelumnya. Febri menyebut institusinya bisa memfasilitasi jika pekerja perlu pelatihan skill di industri baru.
Kemenperin juga menyiapkan skema menghubungkan antara industri yang dalam proses membangun pabrik dengan pekerja yang kehilangan pekerjaan.
“Kami akan tanya kepada industri yang baru yang sedang bangun fasilitas produksi, seperti apa kompetensi pekerja yang mereka butuhkan. Kami coba menghubungkan dengan pekerja yang terkena PHK akhir-akhir ini,” katanya.
Namun pakar ketenagakerjaan UGM Tadjuddin Noer Effendi mempertanyakan klaim ada 1 juta lapangan kerja yang tersedia lantaran tak disebut sektor industri apa yang baru produksi.
Sementara ekonom Celios Bhima Yudhistira berpandangan, angka 1 juta lapangan pekerjaan yang diklaim tersedia belum tentu bisa dimasuki mereka yang terkena PHK. Sebab ada persoalan keahlian maupun usia. Belum lagi para pekerja yang terkena PHK harus bersaing dengan para pengangguran yang jumlahnya mencapai 7,47 juta jiwa.
Adapun sumber di lingkar kementerian menyebut, khusus menghadapi gelombang PHK Sritex, pemerintah tengah memfasilitasi sekitar 1.500 orang di antara 10 ribuan orang yang di-PHK untuk bekerja di pabrik tekstil di sekitar wilayah Surakarta.
Selain itu, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi sempat mengatakan bahwa sekitar 8.000 orang mantan karyawan Sritex akan kembali dipekerjakan dengan skema baru di perusahaan yang kini di bawah penguasaan kurator kepailitan itu.
Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer menjelaskan bahwa skema baru mempekerjakan kembali 8.000 orang eks karyawan Sritex itu merupakan janji kurator.
“Kami sebagai Kementerian Ketenagakerjaan akan mengawal itu. Jangan sampai lagi nanti ngasih angin-angin segar yang akhirnya backfire-nya ke Kementerian (Ketenagakerjaan),” ujar wamen yang akrab disapa Noel itu.
Selain mengawal janji kurator, Kemenaker menjamin hak-hak buruh terkait pesangon, gaji, dan pencairan jaminan kehilangan pekerjaan bakal ditunaikan.
“Kalau pemerintah hanya bilang jangan khawatir dengan PHK [karena] akan ada lapangan kerja yang terbuka itu namanya janji surga, itu enggak ada realitanya,” ucap Bhima.
Penyebab Rontoknya Industri Nasional: Relaksasi Impor hingga Pungli
Alarm rontoknya sejumlah industri manufaktur nasional bermula saat pandemi. Saat itu jumlah PHK di seluruh sektor mencapai angka tertinggi sebesar 3,6 juta orang pada Januari-Agustus 2020. Ekonomi dunia melemah, sementara kebijakan lockdown turut menghambat serapan atas produk manufaktur ke tangan konsumen.
Pasca-pandemi, situasi juga tak kunjung membaik karena ada pelemahan pasar ekspor yang di antaranya, menurut Danang, didorong oleh adanya perang di Eropa Timur (Rusia vs Ukraina). Akibatnya permintaan produk dari pasar internasional ikut melesu.
Febri menyebut, produk manufaktur Indonesia 80% bertumpu pada pasar domestik, sementara 20% lainnya untuk diekspor. Oleh sebab itu, ketika pasar ekspor bermasalah karena COVID-19 hingga konstelasi global, hal itu sangat memukul industri tekstil yang berorientasi ekspor.
Sebagai contoh, Sritex menjadi salah satu perusahaan yang terpukul akibat persoalan tersebut. Di situs resminya, Sritex mengeklaim sudah mengekspor produknya ke lebih dari 100 negara di dunia. Ia juga dikenal sebagai pembuat seragam militer negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Ketika industri manufaktur nasional berorientasi ekspor itu mengalihkan usaha untuk menggarap pasar domestik, Febri menyebut salah satu tantangannya ialah adanya kebijakan relaksasi impor yang membuat produknya sulit bersaing karena harganya lebih mahal ketimbang produk impor.
“Misalkan pakaian bayi impor harganya bisa Rp 20 ribu. Sementara harga di dalam negeri adalah harga pokok produksi [dari pabrik lokal] Rp 20-30 ribu, belum harga pasar. Seandainya produk impor itu banjiri pasar, masyarakat kita akan memilih itu (karena lebih murah),” kata Febri.
Danang mengamini penjelasan Febri. Sebagai seorang pengusaha tekstil di jajaran produk intermediate, menurutnya kebijakan relaksasi impor yang mematikan industri garmen dan tekstil bermula ketika Kementerian Perdagangan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024.
Beleid itu diteken lantaran dipicu oleh adanya penumpukan puluhan ribu kontainer di berbagai pelabuhan di Indonesia. Ini terjadi karena ada sejumlah komoditas yang belum memiliki persetujuan impor (PI) dari Kemendag atau persetujuan teknis (pertek) dari Kementerian Perindustrian.
Dengan terbitnya Permendag 8/2024, (1) komoditas obat tradisional dan suplemen kesehatan, (2) kosmetik dan perbekalan rumah tangga, (3) tas, dan (4) katup tak lagi butuh PI. Sementara komoditas (5) alat elektronik, (6) alas kaki, (7) pakaian jadi dan aksesoris tak lagi butuh pertek.
Padahal, kedua syarat importasi itu sebelumnya bertujuan untuk membatasi barang impor serupa dengan barang yang sudah diproduksi di dalam negeri demi melindungi industri nasional.
Sebagai Direktur Eksekutif API dan Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Danang sudah setahun belakangan menyampaikan bahwa Permendag 8/2024 dapat membunuh industri tekstil dan garmen nasional.
Akibat pasar domestik yang jenuh diobok-obok oleh produk impor, pengusaha tak punya cara lain selain mengurangi utilisasi alat produksi. Danang menyebut, di industri tekstil utilisasi berada di titik tertendah yakni 60%.
“Artinya 40% mesin kita (di pabrik) tidak terpakai. [Pekerja] banyak yang dikurangin akhirnya karena mesin yang nganggur pekerjanya bekerja apa? Terpaksa harus mengurangi, kan?” ujar Danang.
Serupa, Febri menyebut bahwa industri elektronik utilisasi alat produksinya hanya menyentuh angka 40%. Artinya, semisal pabrik televisi bisa memproduksi 100 unit, ia memutuskan hanya membuat 40 unit saja ketimbang 60 unit lainnya tak laku di pasaran.
“Kenapa itu mereka (pengusaha) lakukan? Karena pasar domestik dibanjiri oleh produk elektronik impor,” kata Febri.
Selain dari faktor tersebut, Febri mengakui industri juga tutup karena kurang dapat mengembangkan teknologi produksi. Pasalnya, dunia industri manufaktur semisal sepatu, pakaian, hingga elektronik trennya cepat berkembang dan berubah. Ketinggalan sedikit, maka produk yang dihasilkan dapat dianggap usang dan tak diminati pasar.
Danang juga menyoroti adanya praktik pungutan liar dari organisasi massa hingga preman yang turut mengganggu operasi produksi. Ia mencontohkan, untuk sopir angkutan pabrik saja, pengusaha terpaksa menganggarkan hampir Rp 500 ribu sekali angkut demi ongkos pungli di jalanan.
Padahal jika masalah pungli diberantas, biaya produksi akan menurun sehingga harga produk di pasaran bisa ditekan dan lebih kompetitif. Plus, menurut Danang, sebagian komponen biaya itu bisa dialihkan untuk kesejahteraan pegawai.
Jika Tak Ada Perbaikan Iklim Bagi Industri
Kemenperin sudah menyampaikan sejak pertengahan tahun 2024 bahwa pemberlakukan kebijakan relaksasi impor bakal merusak industri manufaktur. Institusi itu juga membaca bahwa penutupan pabrik ke depan bakal terus terjadi jika kebijakan tersebut tak direvisi.
Danang pun membaca, jika tak ada perubahan dalam lima tahun, bukan tidak mungkin Indonesia akan kehilangan industri manufaktur padat karya. Menurutnya, kalangan pengusaha sudah kelimpungan menghadapi situasi serbuan produk impor seperti saat ini.
“Kalau kita kehilangan industri padat karya, dampak multiplier effect-nya banyak. Industri itu bisa menyerap tenaga kerja formal berlebih di bonus demografi dengan rata-rata pendidikan mereka di bawah 10 tahun (lulusan SMP-SMA),” kata Danang.
Maka, Tadjuddin tak heran dengan adanya fenomena #kaburajadulu. Sebab, adanya bonus demografi penduduk usia produktif justru tidak dibarengi dengan penciptaan lapangan pekerjaan.
“Kalau anak-anak muda tidak banyak bekerja, mereka tidak punya penghasilan, kemungkinan pertama yang muncul menurut saya adalah kriminal, karena tidak punya kerjaan lagi,” kata Prof. Tadjuddin kepada kumparan. Ia menambahkan, fenomena #kaburajadulu jangan dipandang negatif lantaran membantu pemerintah menekan angka pengangguran.
Bhima Yudhistira pun khawatir dengan data Badan Pusat Statistik yang menyebut ada 9,9 juta penduduk usia 15-24 tahun yang tidak sekolah, tidak ikut pelatihan, dan tak bekerja.
Jika industri sudah kolaps dan tak mampu menyerap penduduk usia produktif untuk bekerja, Bhima memprediksi Indonesia bisa mengalami the lost decade. Ini adalah fenomena stagnasi ekonomi seperti yang terjadi di Jepang tahun 1990-an di mana PDB mengalami penurunan (pertumbuhan ekonomi negatif) yang menggambarkan pendapatan, konsumsi, dan standar hidup yang menurun di masyarakat.
Kemungkinan terburuk lainnya, kata Bhima, jika masyarakat usia produktif justru tak produktif, bonus demografi bakal menjadi bencana demografi pada 2035.
“[Efeknya] jaminan sosial negara akan jebol karena BPJS kesehatan, jaminan pensiun enggak akan lagi diimbangi dengan premi yang baru masuk. Itu akan membuat negara kolaps,” kata Bhima.
Tadjuddin juga mencontohkan efek berganda yang terdampak tutupnya pabrik dan PHK massal semisal di Sritex termasuk banyaknya sektor usaha informal di sekitar pabrik yang kehilangan pembeli.
Menurut Tadjuddin, para mantan buruh kemudian bakal beralih pula menjadi pekerja/pengusaha di sektor informal seperti membuka warung atau usaha kecil-kecilan dengan modal pesangon. Sebab, untuk mendapat pekerjaan baru–apalagi ia sudah menggeluti pekerjaan yang sama bertahun-tahun–belum tentu mudah.
“Efeknya yang rugi pemerintah, karena kan mereka enggak dipajakin. Kalau usaha yang formal kan dipajaki, sehingga otomatis setoran pajak berkurang. Biasanya yang senang (jika ada usaha informal) preman-preman, lapak dikutipi (dipungli),” kata Prof. Tadjuddin.
Febri mengamini jika banyak pabrik tutup dan terjadi PHK massal, hal ini bisa berpengaruh pada target pertumbuhan ekonomi nasional yang ditarget Presiden Prabowo sebesar 8%. Namun pihaknya optimis untuk menaikkan kontribusi PDB manufaktur dengan banyaknya menggaet investasi baru.
Apa yang Mesti Dilakukan Agar Industri Kembali Bangkit?
Pertengahan Februari lalu, Danang mengaku sudah menemui Mendag Budi Santoso. Ia mewakili API menyampaikan bahwa Permendag 8/2024 menjadi titik injeksi matinya industri tekstil dan garmen lantaran menghadap-hadapkan produk lokal dengan produk impor yang lebih murah.
Danang menuntut pemerintah untuk memperbaiki regulasi impor yang terlalu bebas, dan mengatur kebijakan non-tariff barrier, misalnya merek suatu produk harus dibuat sebelum sampai ke Indonesia karena banyak produk dijual tanpa merek, lalu dinamai ulang sehingga mengelabui asal produk tersebut.
“Kami melihat itikad baik Mendag saat ini, dan beliau sampaikan kepada kami memang sedang dalam proses penyesuaian,” kata Danang.
Sumber kumparan di lingkaran kementerian menyebut aturan Permendag 8/2024 tengah digodok ulang. Salah satu opsi yang berkembang, terhadap 7 komoditas yang bebas diimpor saat ini, nantinya bakal dibuatkan aturannya satu per satu.
kumparan mencoba menghubungi Plt. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Isy Karim untuk meminta konfirmasi soal wacana revisi Permendag 8/2024, namun pada 10 Maret pesan teks yang dikirim tak berbalas dan nomor yang dituju tidak dapat dihubungi.
Mengutip situs Kemendag, revisi Permendag 8/2024 memang bakal mengacu pada pengaturan tiap komoditas. Mendag Budi Santoso menyebut pihaknya tengah meninjau ulang soal komoditas pakaian jadi yang dianggap membuat industri tekstil seperti Sritex tak bertahan.
“Kami akan selalu review per komoditi. Misalnya pakaian jadi dulu, besok apa, dan sebagainya. Kemarin kan pembahasannya baru pakaian jadi. Jadi kami evaluasi,” ujar Budi, Rabu (15/1/2025).
Bhima Yudhistira dari Celios mengusulkan, untuk menyelamatkan industri tanah air, semua kebijakan dan program pemerintah mesti diarahkan pada kebijakan industri.
“Mau bicara makan bergizi gratis harus dikaitkan dengan hilirisasi sektor pertanian. Hilirisasi tambang, seperti nikel, bauksit, tembaga harus dilihat di sebelah mana bolong (pengolahan produknya),” kata Bhima.
Hal itu termasuk kebijakan moneter mengenai suku bunga yang ramah terhadap industri. Termasuk perlunya menyimpan devisa hasil ekspor di bank dalam negeri agar bisa kembali dipergunakan untuk industri manufaktur membeli bahan baku.
Terakhir, perlunya menegakkan kepastian hukum dan regulasi. Bhima menyinggung adanya inkonsistensi kebijakan pemerintah dapat menyebabkan trauma investasi.
“Contoh perusahaan Korea [Selatan] komit untuk bikin pabrik baterai karena arah ke depan kendaraan listrik. Tiba-tiba dengan beberapa lobi akhirnya [penjualan] kendaraan hibrid juga dapat insentif. Padahal kendaraan hibrid nggak membutuhkan banyak kapasitas baterai seperti full listrik. Jadi perusahaan yang sudah investasi (pabrik) untuk hilirisasi [kendaraan full listrik] percuma dong,” kata Bhima.