'A Barefoot Dream': Dalam Sepak Bola, Bermimpi Itu Baik, tetapi Tak Cukup

23 Maret 2020 17:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Poster film A Barefoot Dream. Foto: Wikipedia.
zoom-in-whitePerbesar
Poster film A Barefoot Dream. Foto: Wikipedia.
Di negeri sarat konflik, lapangan menjadi tempat bagi anak-anak untuk berlindung. Di negeri bertanah gersang, lapangan sering menjadi tempat bagi orang-orang kalah untuk merasakan kemenangan.
Ini film lama. Rilis pada 2010, jauh sebelum kita mengenal dan dibuat bersenang-senang oleh Netflix. Judulnya A Barefoot Dream. Sepotong mimpi dari pemilik kaki-kaki telanjang, seperti itu jika diterjemahkan secara plastis.
Cerita tentang film garapan sutradara bernama Kim Tae-Gyun ini mungkin pernah kita dengar samar-samar. Film ini terpilih sebagai entri Korea Selatan untuk Film Berbahasa Asing Terbaik di Academy Awards ke-83, tetapi tidak masuk daftar final.
Alkisah, seorang pria asal Korea Selatan bernama Kim Won-Kang mendarat di Timor Leste. Sang sutradara memang mengambil latar belakang saat Timor Leste baru merdeka dari Indonesia selama dua tahun.
Anak-anak Timor Leste bermain sepak bola. Foto: JEWEL SAMAD / AFP
Cerita ini diangkat dari kisah nyata. Tidak bisa disebut 100% nyata juga, sih. Kira-kira 70% sesuai cerita asli, sementara sisanya untuk kebutuhan film.
Jika menggunakan mesin pencari internet untuk meneliti siapa Kim Won-kang itu, kita akan terhubung dengan mantan pesepak bola Korea Selatan bernama Kim Shin-Hwan. Kisah Kim Won-kang yang diceritakan oleh sang sutradara adalah kisah Kim Shin-Hwan saat membentuk Timnas Junior Timor Leste.
Kebanyakan film sepak bola akan berkisah tentang impian, terlebih jika yang disorot adalah sepak bola anak-anak. Kebanyakan kita pun mengalami periode demikian. Kita membagi sepak bola dalam dua bagian besar: Kanak dan dewasa.
Sepak bola zaman kanak adalah permainan sederhana. Menunggu jam pulang sekolah atau teriakan kawan yang memanggil nama kita dari depan pagar rumah, berlari dengan kaki telanjang karena--apa boleh buat--sandal jepit digunakan sebagai penanda gawang, lalu menggerutu saat bola masuk kolong mobil atau kakak-kakak remaja datang merebut lapangan.
Itu belum ditambah dengan kepanikan saat azan magrib terdengar. Itulah peluit tanda permainan buyar. Kalau membandel, siap-siap didamprat orang yang lebih galak daripada wasit Pierluigi Collina. Siapa? Ibu kita masing-masing.
Akan tetapi, Timor Leste di masa itu tak melulu bicara tentang hidup yang sederhana. Kehidupan justru sangat rumit bagi anak-anak karena konflik berulang kali muncul, bahkan sampai memakan korban jiwa.
Malam harinya mereka diteror konflik, siang keesokan harinya mereka tertawa-tawa sambil berlari dan menendang bola di atas lapangan yang permukaannya tak rata.
Di film ini, keberadaan sepak bola sebagai ‘penyelamat’ tidak hanya dirasakan oleh bocah-bocah Timor Leste, tetapi juga Kim yang sudah dewasa.
Kedatangan Kim ke Timor Leste berawal dari iming-iming bisnis perkebunan kopi yang sayangnya cuma akal-akalan bulus seorang penipu. Yang membuat tambah ironis, penipu itu juga orang Korea Selatan.
Ilustrasi anak Timor Leste bermain bola. Foto: AFP/JEWEL SAMAD
Seharusnya Kim pulang. Toh, sebelumnya ia sudah gagal berbisnis Indonesia. Namun, sepak bola memainkan maginya.
Kim tak asing dengan sepak bola. Ia mantan pemain sepak bola. Sedikit banyak, ia tahu permainan yang bagus atau buruk. Kim terpikat dengan sepak bola jalanan anak-anak Timor Leste.
Kim memutar otak atau lebih tepatnya memungut keberanian yang tersisa, lalu mengambil keputusan nekat: Membuka toko peralatan dan perlengkapan olahraga.
Itu toko olahraga pertama di Timor Leste. Masalahnya, harga barangnya selangit. Mana ada yang mau membeli. Kim gagal lagi. Ia kembali jadi orang kalah.
Kalaupun tidak bisa menyembuhkan, sepak bola bisa menjadi pereda nyeri bagi para pesakitan. Kim dan orang-orang yang merasa kalah dalam kehidupan sehari-hari bisa bebas merasakan kemenangan lewat sepak bola.
Perasaan itu memang cuma bisa muncul dalam satu atau dua jam saja, entah dengan menonton tim kesayangan mereka memenangi laga atau dengan mencetak gol saat bermain di tanah lapang. Fragmen-fragmen seperti itulah yang awalnya diperkirakan bakal muncul di sepanjang sisa film.
Sayangnya, tidak demikian.
Meski bicara tentang mimpi anak-anak di ranah sepak bola, A Barefoot Dream tidak membiarkan para penontonnya tinggal di menara gading, apalagi negeri dongeng. Kalau mau jadi pesepak bola, ya, berlatih. Kalau mau jadi juara, ya, tidak boleh lembek.
“Pelan-pelan, selangkah demi selangkah.” Kita sering mendengar orang mengucapkan kata-kata tersebut jika bicara tentang mencapai tujuan. Untuk mewujudkan sesuatu kita tidak boleh grusa-grusu. Harus selangkah demi selangkah.
Masalahnya, kita sering tidak paham langkah mana yang harus diambil lebih dulu dan langkah mana yang belakangan. Film ini lantas menggambarkan seperti apa langkah yang tepat itu.
Kim membentuk tim sepak bola dan punya tujuan untuk membawa mereka berlaga di sebuah turnamen. Langkah awal yang diambilnya tidak muluk-muluk. Alih-alih mempersiapkan taktik dan teknik, Kim membentuk fisik anak-anak asuhnya dulu. Percuma punya teknik hebat dan taktik genius jika kondisi fisik gampang tergerus.
Langkah kedua yang dilakukan Kim adalah memperlakukan anak-anak asuhnya sebagai pesepak bola anak-anak, bukan anak-anak saja. Kim memang tidak bisa menggaji mereka dengan harga selangit. Ia cuma bisa memberi mereka sepatu bola gratis.
Yang ditekankan di sini, ketika anak-anak tersebut memberikan waktu dan kemampuan mereka, anak-anak tersebut juga mendapat imbalan sepatu bola yang dijanjikan. Artinya, ada hak dan kewajiban bagi para pesepak bola.
Dalam kehidupan nyata, Kim dikenal sebagai Guus Hiddink-nya Timor Leste. Julukan ini diberikan karena ia sanggup memberi oasis bagi sepak bola Timor Leste dengan mengantar negara tersebut ke sejumlah turnamen internasional.
Dalam kiprahnya sebagai pelatih, Hiddink berhasil membawa Australia kembali ke Piala Dunia. Hiddink tidak membawa mereka ke pesta sepak bola sejagat itu dengan menceritakan kisah 1001 malam. Ia memukul anak-anak didiknya yang malas dengan rotan.
Analogi itu berarti Hiddink tidak membiarkan mereka hidup dalam mimpi belaka. Ia mengubah watak pemain yang tadinya santai menjadi disiplin. Ia menggembleng sepak bola Australia yang awalnya cuma bermodalkan romantisme menjadi sepak bola yang bertumpu pada akal sehat dan renjana sekaligus.
Begitu pula saat Hiddink menjadi pelatih Rusia. Ia mengubah permainan tim menjadi lebih berani. Ia memperkenalkan umpan-umpan yang lebih cerdik dan berani mengembangkan posisi para pemain.
Perubahan demikian sekilas terlihat menyiksa. Namun, tengoklah hasilnya. Rusia sampai di semifinal Piala Eropa 2008 dengan menyingkirkan beberapa unggulan sebelum dihentikan sang juara, Spanyol.
Ilustrasi anak Timor Leste bermain bola. Foto: AFP/JEWEL SAMAD
Memperlakukan pesepak bola profesional tidak sama dengan memperlakukan orang-orang yang bermimpi menjadi pesepak bola. Memang ada batas yang sumir, tetapi tetap saja berbeda.
Kim mempraktikkan prinsip itu kepada tim didikannya meski tidak melupakan bahwa yang dilatihnya itu masih bocah. Anak-anak yang ingin menjadi pesepak bola dididik untuk menjadi pesepak bola sejak kecil. Ada 'harga' yang harus dibayar, anak-anak itu mesti paham prinsip demikian sejak muda.
Pun demikian dengan Kim. Meski anak-anak, pesepak bola itu tetap manusia yang mesti diperlakukan sebagai profesional, bukannya sapi perah. Kalau menjanjikan gaji, bayar sesuai kesepakatan. Kalau menjanjikan sepatu bola, berikan sepatu bolanya. Jika ingin ikut turnamen, ya, penuhi syarat-syaratnya.
Akhir film ini, silakan ditonton atau diingat-ingat sendiri. Yang pasti, sepak bola menjadi jalan yang ditempuh oleh Kim dan timnya untuk sampai pada dunia yang baru.
Sepak bola anak-anak bukan sepak bola yang rumit. Ia tak punya keharusan untuk selalu menang, untuk disokong oleh teknik dan taktik menawan dan gemar memburu uang hadiah.
Sepak bola ala bocah adalah sepak bola yang bertumpu pada keriaan. Namun, selamanya bukan keniscayaan. Dari hari ke hari, sepak bola ibarat dunia paralel yang melompat dari narasi fiksi ke jurnal ilmiah, yang berawal dari cerita gembira, lalu bertumbuh menjadi gemblengan profesional.
Kesenangan dan keriaan tidak harus menyingkir sepenuhnya dari sepak bola. Namun, mengutip seorang penulis, pertanyaan yang harus dijawab tetap sama: Seberapa indah mimpi jika tetap menjadi mimpi?
Catatan editorial:
Di masa social distancing seperti ini, kami akan berusaha mengulas film dan buku tentang sepak bola dan olahraga.
Sebagian bukan film atau buku baru, tetapi mungkin ini saat yang tepat untuk kembali menonton film dan membaca buku lama.
Atau jangan-jangan ini menjadi waktu yang tepat untuk--akhirnya--menonton film dan membaca buku yang sudah lama tertumpuk.
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!