Antonio Cassano, 'Anti-hero' Sepak Bola Itu, Ingin Kembali

3 Agustus 2018 7:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Antonio Cassano di laga Inter Milan vs Fiorentina, 2012. (Foto: ALBERTO PIZZOLI / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Antonio Cassano di laga Inter Milan vs Fiorentina, 2012. (Foto: ALBERTO PIZZOLI / AFP)
ADVERTISEMENT
Namanya Antonio Cassano. Di atas lapangan bola, ia tidak pernah menjadi superhero karena Cassano adalah seorang anti-hero.
ADVERTISEMENT
Di tengah panasnya pemberitaan tentang saga transfer Leonardo Bonucci-Gonzalo Higuain-Mattia Caldara, muncul pembicaraan tentang Cassano. Dalam satu wawancara singkatnya, ia menegaskan keinginannya untuk kembali merumput setelah setahun lebih tak bermain di klub mana pun.
“Saya memiliki hasrat yang besar untuk bermain sepak bola. Secara fisik, saya merasa hebat, berat badan saya 82 kg, dan seumur hidup, berat badan saya tidak pernah seperti itu. Saya bahkan akan merasa senang kalau harus bermain di tempat yang berjarak dua jam dari rumah.”
“Saya sangat antusias, tapi saya ingin menemukan seorang pelatih dan klub yang percaya kepada saya. Saya yakin, saya masih dapat melakukan perbedaan, karena saya memang dapat melakukan perbedaan. Tahun lalu saya berkata apa adanya, saya meninggalkan Verona karena saya tidak merasakan personanya," tutur Cassano, dikutip dari Football Italia.
ADVERTISEMENT
Superhero atau pahlawan super adalah sosok fiksi yang dipuja di dunia nyata. Kalau diartikan, superhero mengacu pada tokoh protagonis yang mampu dan kerap menyelamatkan atau menolong semua orang. Ia adalah pahlawan, hanya memiliki kemampuan khusus yang biasanya tak dimiliki manusia biasa. Ya, lihat saja tokoh-tokoh keluaran Marvel ataupun DC.
Namun, dunia fiksi pada kenyataannya tak hanya mengenal superhero, tapi juga anti-hero. Bila diartikan, anti-hero bisa menjadi sosok yang mungkin punya kekuatan super atau bisa juga seperti manusia biasa tapi, berangkat dari titik yang berbeda dengan superhero.
Kalau superhero berangkat pada hasratnya untuk menolong orang lain, maka anti-hero berangkat dari kebutuhan untuk memuaskan diri sendiri. Contoh mudahnya, Deadpool. Ia memang kukuh melawan Ajax. Tapi, ia tak melawan Ajax atas nama kepentingan (katakanlah) masyarakat.
ADVERTISEMENT
Ia melawan Ajax karena punya dendam pribadi. Wajah Wade Wilson dibuat rusak total oleh Ajax alias Francis dan anak buahnya. Intinya, keputusan Wilson menjadi Deadpool dan melawan Ajax digerakkan oleh kesumat akibat wajahnya tak tampan lagi.
Sepak bola pada kenyataannya tak dapat dipisahkan dari cerita kepahlawanan. Sepakan dan gol, tekel dan penyelamatan, teriakan dan pemikiran taktik dari pinggir lapangan, dribel dan umpan kunci -semuanya tak berhenti pada hitungan statistik belaka.
Lebih dalam dari hitung-hitungan angka, segala hal yang dilakukan oleh satu tim akan terekam dengan lekat dalam memori para penonton. Di dalam kepala, ingatan itu diolah menjadi satu pemahaman akan epos lapangan bola.
Untuk memahfumi kalimat tadi, kita hanya perlu melihat kembali seperti apa pemujaan suporter Inter Milan kepada Javier Zanetti. Atau, bagaimana gundahnya suporter Real Madrid kala ditinggal Cristiano Ronaldo yang memutuskan untuk hengkang ke Juventus.
ADVERTISEMENT
Mungkin, bisa diingat-ingat lagi seperti apa sedu-sedan tifosi Juventus saat Alessandro Del Piero berpamitan, atau sorak sorai dan tatapan nanar Milanisti kala Filippo Inzaghi mencetak gol pamungkas di laga terakhirnya bersama AC Milan.
Antonio Cassano di laga AC Milan vs Novara. (Foto: ALBERTO LINGRIA / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Antonio Cassano di laga AC Milan vs Novara. (Foto: ALBERTO LINGRIA / AFP)
Namun, Cassano berbeda. Ia tak punya urusan apa-apa dengan kepahlawanan karena ia memang tidak ingin menjadi pahlawan.
Cassano berutang nyawa pada Milan. Pada November 2011, ditemukan lubang kecil di jantungnya yang membuatnya kolaps dan sekarat. Beruntung, penanganan medis cepat dan intensif diberikan kepadanya. Milan yang waktu itu masih menjadi klubnya menanggung semua biaya dan kebutuhan Cassano.
Kira-kira setahun ia cuti, selama itu pula Milan mempertahankan Cassano. Bahkan, tersiar kabar bahwa Milan menjadi klub yang membantu Cassano untuk tetap dapat bermain bersama Timnas Italia di bawah kepelatihan Cesare Prandelli di Piala Eropa 2012.
ADVERTISEMENT
Cassano tahu Milan menyelamatkan nyawanya. Namun, ia tak mau langkahnya terhambat hanya karena utang budi. Cassano berhadapan dengan maut, sebelumnya akhirnya diberi kesempatan kedua untuk hidup.
Kesempatan itu barangkali tak ingin disia-siakan Cassano. Ia mengambilnya dan menentang norma. Kalau maut saja dihadapinya, masa ia tak berani berhadap-hadapan dengan cemooh suporter Milan? Lantas yang terdengar setelahnya, Cassano menyeberang ke Inter.
Cassano tak pernah mau dibebani dengan ikatan fanatisme antara klub, pesepak bola, dan suporter. Baginya, ia bersepak bola untuk diri sendiri. Walau berstatus sebagai profesional, sepak bolanya tetap sama seperti kala ia memulai dulu. Sepak bola yang serupa dengan permainan anak-anak Brasil di favela. Sepak bola yang mengambil rupa gelak tawa para bocah di bawah guyuran hujan. Semuanya demi sendiri, tak punya urusan apa-apa dengan fanatisme dan kepahlawanan.
ADVERTISEMENT
Perilaku hedonismenya juga menegaskan bahwa ia memang tak pernah ingin diatur oleh apa pun. Ia mempersetankan kehidupan sehat dan disiplin ala atlet profesional, walau ia tahu syarat utama supaya ia masih dapat terus mencari nafkah dan menyambung hidup adalah dengan bertubuh sehat. Cassano makan sembarangan, mabuk-mabukan, bercinta dengan perempuan mana pun, berfoya-foya, berkata kasar di depan media, membangkang pelatih, hanya berlatih kalau ia mau, dan tak ambil pusing dengan kekalahan atau kemenangan.
Cassano rayakan gol bersama Parma di laga vs AC Milan. (Foto: OLIVIER MORIN / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Cassano rayakan gol bersama Parma di laga vs AC Milan. (Foto: OLIVIER MORIN / AFP)
Urusan Cassano dengan Inter selesai dalam semusim. Setelahnya, ia pindah ke Parma, Sampdoria, dan Hellas Verona. Yang paling nyeleneh, tentu Verona. Pada 10 Juli 2017, ia mengikat kontrak dengan Verona. Semuanya tampak wajar dan tanpa masalah.
ADVERTISEMENT
Namun, berselang 14 hari, tepat pada 24 Juli 2017, Cassano mengumumkan bahwa ia mundur dari Verona. Katanya waktu itu, ia tak gantung sepatu. Ia hanya tidak mau bermain dengan Verona karena tak bisa berjauh-jauhan dengan keluarganya yang tinggal di Genoa.
Keputusan ini sontak membuat beberapa pihak bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya menjadi isi kepala Cassano. Hal itu pula yang dirasakan oleh Maurizio Setti, sang Presiden Verona.
"Isi kepala pemain ini tidak benar, meski dia memiliki fisik dan kemampuan atletik yang baik," ujar Setti kepada ANSA.
Setelahnya, nama Cassano meredup. Entahlah di Italia sana ada permainan tarkam atau tidak. Kalau memang ada, barangkali Cassano menjadi orang yang juga tak mau melewatkannya.
ADVERTISEMENT
Namanya baru terdengar lagi di tengah pekik pemberitaan proses transfer Milan dan Juventus. Cassano lagi-lagi menjadi antitesis. Saat Bonucci menyebut Turin sebagai rumahnya, Cassano berkata bahwa ia siap berjauh-jauhan dari rumahnya demi memuaskan hasrat bermain sepak bola.
Segala hal yang berkaitan dengan sepak bola dilakukan oleh Cassano untuk dirinya sendiri. Itulah sebabnya, ia berkata bahwa hal pertama yang harus dilakukannya adalah mencari pelatih dan klub yang memercayainya. Sosok-sosok yang percaya bahwa ia memang seorang pesepak bola, sosok-sosok yang memahami bahwa bermain sepak bola untuk diri sendiri itu bukan dosa yang bakal membikinmu masuk neraka.
Epos dan kepahlawanan sepak bola pada akhirnya tak lebih dari sekadar refleksi akan hal-hal ideal. Dan sebagai pesepak bola, Cassano tidak butuh menjadi idealis, ia hanya ingin bermain dengan kehendak bebas. Kalau Cassano benar-benar kembali turun arena, maka di klub mana pun ia bermain, Cassano akan menjadi tuan dan 'tuhan' atas dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT