Chernobyl dan Matinya Sepak Bola

28 Juni 2019 15:02 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Puing-puing Avanhard Stadium di Pripyat. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Puing-puing Avanhard Stadium di Pripyat. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Moskow senyap malam itu. Hiruk pikuk yang dulu telah hilang ditelan waktu. Dua tahun sudah berlalu, tetapi jawaban yang didapat belum menentu. Di tengah kegamangan, Valery Legasov mendengarkan rekaman suaranya sendiri, di sebuah apartemen kecil tempatnya tinggal bersama kucing kesayangannya.
ADVERTISEMENT
Panjang lebar dia berbicara. Segala gundah tumpah ruah. Dua tahun sudah lewat tetapi rasa bersalah itu masih terawat. Pilihan sudah tidak ada. Semua sudah lenyap dari kuasanya. Sejurus kemudian, Legasov bangkit dari kursi.
Legasov tahu dia tidak sendirian. Ada mata-mata tajam yang mengawasinya dengan curiga dari balik keheningan malam. Ada peluru, entah di mana, yang sudah disiapkan untuk menerjang tubuhnya yang renta. Namun, tekadnya sudah bulat. Pada titik itu, tidak ada lagi yang bisa membuatnya bergidik.
Lima keping kaset dia kumpulkan dengan rapi. Semua berisikan kesaksiannya sendiri. Tentang bagaimana kebohongan menjadi tameng untuk menutupi kecerobohan. Tentang ego dan arogansi yang lebih didahulukan ketimbang nyawa orang. Tentang Chernobyl, tentang bencana buatan manusia terdahyat sepanjang masa.
ADVERTISEMENT
Legasov sudah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya malam itu. Kaset-kaset tadi adalah peninggalannya yang paling berharga. Oleh karenanya, Legasov harus memastikan agar mereka tidak hilang. Legasov pun menyembunyikannya di tempat yang sekiranya tidak akan diduga orang.
Setelah urusannya selesai, Legasov kembali ke apartemennya. Dia memberi makan kucing peliharaannya sebelum menyulut rokok terakhir dalam hidupnya. Tak jauh dari tempatnya mengisap rokok, seutas tali sudah digantung pada ventilasi. Dengan tali itulah Legasov merampungkan semuanya. Tepat pukul 01:23 dini hari, Legasov meninggal dunia.
***
Menit-menit terakhir hidup Legasov itu digunakan sebagai pembuka miniseri besutan HBO, Chernobyl, yang belakangan jadi bahan perbincangan di mana-mana. Soal akurasi, ia memang bisa diperdebatkan karena ada yang berkata bahwa Legasov tidak mengakhiri hidupnya di dalam apartemen, melainkan di tangga menuju apartemennya.
ADVERTISEMENT
Namun, perdebatan itu tidak penting. Yang terpenting dari kematian Legasov itu adalah mengapa dia sampai mengakhiri hidupnya sendiri. Dalam rekaman suara yang ada dalam lima kaset itu, ada satu pertanyaan inti yang ditanyakan kepada Legasov kepada dirinya sendiri, kepada orang-orang yang dianggapnya bersalah, dan kepada kita semua.
"What is the cost of lies?" tanyanya. Seberapa mahalkah harga kebohongan?
Legasov sebenarnya tahu jawaban dari pertanyaan tersebut karena dia adalah bagian dari kebohongan yang dia bicarakan itu. Tidak secara sukarela, tentunya, tetapi lebih karena dia tidak berdaya di hadapan sebuah sistem korup yang mementingkan ego dan citra.
Dua tahun dan satu hari sebelum kematiannya, juga pada pukul 01:23 dini hari, sebuah pengujian sistem dilakukan di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Chernobyl. Pengujian sistem itu sebenarnya merupakan hal rutin. Akan tetapi, tidak ada yang rutin sama sekali dalam peristiwa malam itu. Pengujian sistem itu, nantinya, akan berujung pada tragedi yang sebelumnya tidak pernah terjadi.
ADVERTISEMENT
Alarm menyalak. Panel kontrol menunjukkan adanya krisis besar di reaktor nomor empat yang merupakan reaktor paling muda di sana. Sebuah lonjakan energi, yang membuat suhu reaktor meningkat drastis, terjadi secara tiba-tiba. Tak lama kemudian, reaktor itu meledak dan sisanya adalah sejarah.
Kebohongan yang dibicarakan Legasov tadi sudah dimulai sejak momen ini. Kepala insinyur yang bertugas di sana, Anatoly Dyatlov, enggan mengakui bahwa yang terjadi di reaktor empat adalah sebuah ledakan. Dyatlov terus membohongi dirinya sendiri dan bersikeras bahwa masalah akan selesai jika katup air dibuka untuk mendinginkan reaktor. Meskipun mendapat kabar yang menyatakan sebaliknya dari para bawahan, Dyatlov tak peduli.
Anatoly Dyatlov (kiri) dalam miniseri Chernobyl. Foto: Dok. HBO
Versi Dyatlov inilah yang akhirnya disampaikan kepada para petingginya, termasuk para pejabat Partai Komunis setempat. Dalam argumennya, Dyatlov menyertakan bukti berupa level radiasi yang terlihat dalam detektor. Dia memilih untuk tidak mempercayai saksi mata dan menciptakan versinya sendiri. Inilah yang membuat proses penanganan dan evakuasi menjadi terlambat.
ADVERTISEMENT
Legasov sendiri merupakan seorang ilmuwan nuklir terkemuka. Dia baru dilibatkan setelah tanda-tanda bencana besar sudah kian sulit disembunyikan. Kemunculan grafit, yang merupakan bahan inti reaktor nuklir, di lokasi ledakan membuat Legasov akhirnya jadi bagian tim penanganan bencana.
Meski demikian, segalanya sudah terlambat. Data resmi dari PBB menyatakan bahwa 4 ribu orang tewas akibat bencana tersebut. Kebohongan tadi, ditambah dengan birokrasi berbelit, membuat segalanya menjadi lebih lambat. Di akhir cerita, Dyatlov memang dijatuhi hukuman penjara, tetapi Legasov tetap tidak puas. Ada rasa berdosa yang hanya bisa dia hilangkan dengan mencabut nyawanya sendiri secara paksa.
***
Segalanya bermula pada 1954 ketika Uni Soviet menyadari bahwa energi nuklir tidak hanya bermanfaat untuk membasmi musuh tetapi juga untuk menghidupi orang-orang di dalamnya. Pada tahun tersebut mereka mulai mencanangkan proyek energi nuklir besar-besaran. Sembilan pembangkit listrik direncanakan untuk dibangun di seantero negeri.
ADVERTISEMENT
Pembangkit Listrik Chernobyl, yang aslinya bernama Pembangkit Listrik VI Vladimir Ilyich Lenin, itu merupakan komplek keenam yang dibangun rezim komunis Soviet. Awalnya, Kyiv dipilih menjadi tempat pembangunan. Akan tetapi, setelah mendapatkan saran dari sejumlah ahli, komplek reaktor itu dibangun di dekat Chernobyl yang berjarak lebih kurang 100 km dari Kyiv.
Untuk menyokong proyek pembangunan itu, puluhan ribu orang dikerahkan. Mereka pun kemudian ditempatkan di sebuah kota baru bernama Pripyat. Kota itu dibangun pada 1970 dan segera saja menjadi salah satu kota paling modern di Uni Soviet.
Valery Legasov dalam miniseri Chernobyl. Foto: Dok. HBO
Kota seperti Pripyat bukan satu-satunya di Rusia. Atomgrad, demikian kota-kota seperti itu disebut. Pada prinsipnya, Atomgrad dibangun untuk menyokong sebuah industri besar di sebuah area. Setiap kota dibangun dengan presisi tinggi di mana akses para pekerja untuk mencapai pabrik dibuat semudah mungkin. Tak lupa, jalur hijau dan berbagai fasilitas juga ditempatkan di seantero kota.
ADVERTISEMENT
Atomgrad yang dibangun di Uni Soviet memang memiliki banyak keunggulan. Namun, biasanya kota-kota seperti ini ditutup untuk umum dan dijaga ketat. Pada Piala Dunia 2018 lalu, salah satu kota penyelenggara, Samara, adalah bekas Atomgrad. Di sanalah dulu industri luar angkasa Uni Soviet dipusatkan.
Pripyat memang didesain untuk menjadi Atomgrad tetapi pada praktiknya kota ini sama sekali tidak tertutup. Pasalnya, proyek nuklir damai ini adalah proyek kebanggaan Uni Soviet. Dengan begitu, orang-orang bisa dengan mudah datang ke sini sehingga perkembangan kota pun melesat dengan cepat. Ketika Bencana Chernobyl terjadi, Pripyat adalah salah satu kota paling menyenangkan di Uni Soviet di mana rata-rata penduduknya berusia 26 tahun.
Di kota itulah sepak bola pernah menjadi sebuah hiburan yang menyenangkan. Olahraga ini datang ke Pripyat pada pertengahan 1970-an, tak lama sebelum Pembangkit Listrik Chernobyl resmi beroperasi. Vasili Trofimovich, seorang pejabat Partai Komunis, menjadi patron di balik kemunculan sepak bola dalam wujud Stroitel Pripyat.
ADVERTISEMENT
"Orang-orang di sini bekerja dalam empat shift. Dengan keberadaan klub ini, semua orang akan bersantai dengan menyaksikan pertandingan sembari menikmati sebotol bir," kata Trofimovich soal pendirian Stroitel kala itu.
Stroitel sendiri, secara harfiah, berarti 'pembangun'. Awalnya, mereka yang direkrut untuk bermain di sini pun merupakan para pekerja yang berkontribusi dalam pembangunan Pembangkit Listrik Chernobyl, ditambah beberapa lagi dari desa Chistogalovka yang ada di pinggir kota.
Penanda batas kota Pripyat. Foto: Wikimedia Commons
Pada dekade 1970-an dan 1980-an, liga sepak bola Uni Soviet memiliki lima divisi. Tim-tim terbaik seperti Dynamo Kyiv, Dynamo Moskva, dan Torpedo Moskva berlaga di Divisi Utama. Kemudian, di bawahnya ada Divisi Satu dan Divisi Dua yang masih masuk dalam kategori kompetisi profesional.
ADVERTISEMENT
Stroitel, sebagai klub baru, harus mengawali semuanya dari liga regional KFK (Kolektif Budaya Fisik) yang merupakan ekuivalen dari divisi lima. Nantinya, para pemenang dari divisi lima itu diadu dalam sebuah kompetisi berskala nasional yang menjadi ekuivalen divisi empat. Dari sanalah mereka bertarung memperebutkan promosi ke Divisi Dua untuk menjadi klub profesional.
Meski didirikan pada pertengahan 1970-an, Stroitel baru benar-benar mulai berkompetisi pada 1981. Pada tahun ini reaktor ketiga pun baru saja dirampungkan di Chernobyl. Dengan peresmian reaktor ketiga ini, pekerja yang hijrah ke Pripyat pun semakin banyak dan Stroitel semakin mudah dalam merekrut pemain.
Mayoritas pemain Stroitel yang berlaga di KFK merupakan pekerja pembangkit listrik. Mereka umumnya datang pada musim dingin 1981 sehingga mendapat julukan 'Butir-butir Salju'. Para pemain inilah yang akhirnya menjadi wakil Pripyat di kompetisi sepak bola Uni Soviet.
ADVERTISEMENT
Trofimovich sendiri merupakan seorang patron klub yang ambisius. Dia tidak ingin Stroitel Pripyat hanya numpang lewat di persepakbolaan Tirai Besi. Dia menginginkan prestasi terbaik bagi timnya dan itulah yang jadi alasan di balik penunjukan Anatoliy Shepel sebagai pelatih.
Shepel adalah pemain yang cukup dikenal di Uni Soviet. Dia pernah memperkuat berbagai klub besar di Moskva dan Kyiv, memiliki tiga medali kejuaraan nasional, dan sempat pula memperkuat Timnas Uni Soviet. Sayangnya, dia harus pensiun dini di usia 31 tahun karena cedera. Setelah pensiun, Shepel pun dipercaya menjadi pelatih Stroitel.
Pripyat telah menjadi kota hantu. Foto: Wikimedia Commons
Pada kesempatan pertamanya, Shepel dan Stroitel tampil cukup baik dengan meraih 9 kemenangan dalam 20 pertandingan. Mereka pun finis di urutan lima liga wilayah Kyiv. Di akhir tahun, 'Butir-butir Salju' tadi datang dan optimisme pun merebak.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, setelah kedatangan banyak pemain baru, prestasi Stroitel justru melorot. Mereka mengakhiri musim keduanya sebagai juru kunci. Meski demikian, itu hanyalah awal dari sebuah pertumbuhan pesat. Dalam kurun waktu tiga tahun, mereka akhirnya mampu finis di urutan kedua. Keberhasilan ini diraih setahun sebelum Bencana Chernobyl terjadi.
Di kompetisi liga, Stroitel terus menunjukkan perkembangan. Sementara, di turnamen regional, mereka sudah berulang kali menunjukkan potensi. Tiga gelar juara berhasil mereka rebut hanya dalam waktu lima tahun. Rangkaian keberhasilan ini pun berbuntut pada melonjaknya animo penduduk terhadap sepak bola.
Lonjakan animo inilah yang lantas berujung pada rencana pembangunan Avanhard Stadium. Sebelumnya Stroitel hanya bermain di sebuah stadion serbaguna yang tidak representatif untuk sepak bola. Avanhard Stadium yang berkapasitas 5.000 penonton itu dirancang untuk menuntaskan birahi sepak bola warga kota.
ADVERTISEMENT
Avanhard Stadium sedianya akan diresmikan pada 1 Mei 1986 bersamaan dengan peresmian reaktor nomor lima di Chernobyl. Hari Buruh itu awalnya diplot untuk jadi salah satu momen paling membahagiakan dalam sejarah singkat kota Pripyat. Akan tetapi, bencana kemudian terjadi. Peradaban pun lenyap dari sana.
Sepak bola adalah salah satu korban pertama dari Bencana Chernobyl. Sehari setelah ledakan terjadi, Stroitel dijadwalkan bertemu dengan Machinostroiteli di babak semifinal turnamen regional Kyiv. Tim junior mereka pun memiliki jadwal bertanding di waktu yang sama. Namun, karena kondisi tidak memungkinkan, laga pun dibatalkan.
Tim sepak bola Stroitel Pripyat tahun 1983. Foto: Discover Chernobyl
Ketika Machinostroiteli sedang berlatih, sebuah helikopter mendarat di lapangan dan para ofisial yang turun dari sana mengabarkan bahwa mereka tak perlu berangkat ke Pripyat. Namun, penyebab di balik itu belum disampaikan. Yang Machinostroiteli tahu, mereka mendapatkan bye menuju final.
ADVERTISEMENT
Selain batalnya pertandingan, Avanhard Stadium pun kemudian dijadikan pusat evakuasi oleh tentara Uni Soviet. Dalam proses evakuasi, dua pemain Stroitel ikut ambil bagian. Pada momen inilah sepak bola di Pripyat menemui ajalnya.
Evakuasi penduduk Chernobyl sendiri berlangsung selama tiga hari penuh. Puluhan ribu manusia dipindahkan menuju Slavutych yang berjarak sekitar 45 km. Di kota itu Stroitel sebenarnya sempat berusaha dibangkitkan kembali. Akan tetapi, usianya tidak panjang.
Pada 1987, Stroitel diluncurkan kembali dengan nama Stroitel Slavutych. Pemain-pemain mereka yang lama pun masih bertahan. Namun, para pemain ini sudah tidak lagi merasakan ikatan seperti halnya yang mereka miliki dengan Chernobyl. Maka, dalam prosesnya banyak pemain yang memutuskan angkat kaki. Setahun kemudian, Stroitel Slavutych pun dibubarkan.
ADVERTISEMENT
***
Bencana Chernobyl adalah sebuah peristiwa yang benar-benar tiada duanya. Nyawa melayang, harapan musnah, dan efek radiasi itu bakal bertahan sampai puluhan ribu tahun ke depan. Pripyat yang dulunya merupakan simbol modernitas kini menjadi kota hantu; kota yang yang hanya dikunjungi ketika manusia perlu tamparan di muka.
Sepak bola pun turut menderita karenanya. Stroitel Pripyat punya mimpi besar yang mereka rajut dengan telaten. Namun, mimpi itu harus mereka relakan begitu saja. Bagi Stroitel, inilah harga dari sebuah kebohongan. Seiring bergersernya waktu, kenangan akan mereka pun kian pudar dan sisa-sisa harapan itu kini hanya bisa disaksikan di puing-puing Avanhard yang telah bersalin wajah menjadi belantara.