Fabio Capello: Akhir Tragis sang Pragmatis

29 Maret 2018 17:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pelatih asal Italia, Fabio Capello. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Pelatih asal Italia, Fabio Capello. (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Perkara Fabio Capello ini adalah urusan yang takkan ada ujungnya. Ketika dirinya yang dibicarakan, maka yang sesungguhnya tengah diperbincangkan adalah soal manusia itu sendiri. Bagaimana dia menjadi wakil, menjadi epitome, dari sebuah ide besar bernama pragmatisme.
ADVERTISEMENT
Tak ada yang salah dari menjadi seorang pragmatis. Toh, apalah yang dicari seseorang dari dunia ini kalau bukan kejayaan? Selain itu, menjadi seorang pragmatis bukan berarti menghalalkan segala cara. Menjadi pragmatis adalah soal bagaimana mengakali keadaan; bagaimana melihat dunia seperti apa adanya dan melakukan apa yang harus dilakukan.
Dengan definisi demikian, maka Capello boleh jadi adalah salah satu sosok pragmatis terhebat sepanjang masa. Ukurannya jelas: berapa banyak trofi yang dikumpulkannya sepanjang karier dan bagaimana dia meraihnya.
Jalan hidup Capello memang sedikit aneh. Dalam artian, sebagai mantan pesepak bola yang akhirnya terjun ke dunia kepelatihan, ada jeda 11 tahun dalam hidupnya yang tak banyak diketahui orang. Sebagai pemain, Capello pensiun di umur 34 tahun. Namun, sebagai pelatih, dia baru benar-benar memulainya tatkala usianya sudah menginjak angka 45.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut menjadi aneh karena saat ini, ada banyak pelatih berusia muda yang dengan segera memulai karier persis setelah masa-masa bermainnya berakhir. Kalaupun ada jeda, biasanya tidak selama yang dulu dialami Capello.
Namun, sesungguhnya Capello tidak pernah berada jauh dari sepak bola dalam 11 tahun yang hilang itu. Dia ada, tetapi tersembunyi. Dia meretas jalan dalam diam lewat masa-masanya sebagai pelatih junior di Milan dan manajer di tim-tim olahraga non-sepak bola yang dimiliki 'Iblis Merah'. Mulai dari bisbol sampai bola voli, dari hoki es sampai rugbi. 11 tahun lamanya Capello berkecimpung di sana.
Karier bermain Capello memang identik dengan keberhasilannya di Juventus. Di sana dia berhasil mempersembahkan tiga Scudetti dan sukses membawa 'Si Nyonya Tua' ke final European Cup. Namun, ketika menginjak usia kepala tiga, Capello memutuskan untuk hijrah ke Milan dan gantung sepatu pada 1980.
ADVERTISEMENT
Capello baru kembali ke tim utama Milan pada 1991 setelah sebelumnya menjabat sebagai pelatih tim junior dan sejujurnya, dia masuk di saat yang agak kurang menguntungkan. Disebut kurang menguntungkan karena saat itu Milan harus menjalani proses transisi yang tidak mudah.
Mereka sebelumnya berhasil mendominasi Italia dan Eropa bersama Arrigo Sacchi dan Trio Belanda-nya. Akan tetapi, di musim terakhirnya Sacchi gagal mempersembahkan satu pun gelar. Ditambah dengan perselisihannya dengan Marco van Basten yang merupakan pemain kesayangan Silvio Berlusconi, makin lapanglah pintu keluar Sacchi dari Milan.
Saat itu, Sacchi secara terang-terangan mengatakan bahwa tim Milan-nya memang sudah habis. Walau demikian, Capello sukses membalikkan omongan sang pendahulu.
Capello sebelumnya memang belum pernah memegang kuasa penuh atas tim utama Milan. Namun, pada musim 1986/87 dia pernah terlibat di sana sebagai asisten Nils Liedholm dan bahkan sempat menjadi pelatih interim setelah Liedholm mengundurkan diri. Artinya, Capello bukan sama sekali buta terhadap kondisi tim.
ADVERTISEMENT
Di musim pertamanya Capello langsung membawa Milan menjuarai Serie A. Yang lebih istimewa lagi, dia menyulap tim yang disebut Sacchi sudah habis itu menjadi tim tak terkalahkan. Selain tak terkalahkan, Milan juga senantiasa tampil atraktif. Dengan pakem dasar 4-4-2 yang masih jadi warisan Sacchi, api yang mulai redup itu berhasil dikobarkan kembali oleh Capello. Padahal, tak ada perubahan berarti yang dibuatnya di skuat Milan saat itu.
Dominasi Milan itu masih berlanjut di musim kedua Capello. Keberhasilannya di musim perdana membuat Capello punya posisi tawar tinggi untuk memeras Berlusconi di bursa transfer. Pemain-pemain mahal mereka datangkan, seperti Zvonimir Boban dan Dejan Savicevic. Meski begitu, di musim kedua ini Milan mulai tersentuh kekalahan dan pada akhirnya, inilah yang memaksa Capello untuk bersikap pragmatis.
ADVERTISEMENT
Pada musim ketiga Capello, akhir dari sebuah era yang dikatakan Sacchi tadi baru terwujud. Trio Belanda yang sebelumnya tak tergantikan mulai disisihkan Capello. Dirinya pun mendatangkan pemain-pemain yang lebih bisa menggaransi amannya lini belakang, seperti Christian Panucci dan Marcel Desailly.
Dari dua pemain itu, Desailly-lah yang menjadi simbol pragmatisme Capello. Kala itu, pemain Prancis keturunan Ghana itu masih bermain sebagai gelandang bertahan dan belum menjadi bek tengah seperti di pengujung kariernya. Oleh Capello, Desailly diberi tugas khusus yang praktis membuat totaal voetbal ala Sacchi berakhir. Pemain yang kemudian sempat membela Chelsea itu dimainkan sebagai jangkar di depan empat bek sejajar milik Capello.
Keberadaan Desailly ini membuat Milan jadi lebih peduli pada pertahanan. Di musim 1993/94 itu, Milan memang juara. Akan tetapi, hasil-hasil yang mereka dapatkan sama sekali tak bisa dibilang mengesankan. Skor 0-0 dan 1-0 menjadi hasil yang paling kerap mereka dapatkan dengan masing-masing delapan dan sembilan kali. Total, Rossoneri juga cuma mampu mencetak 36 gol meski mereka juga cuma kemasukan 15 gol.
ADVERTISEMENT
Namun, yang menarik dari musim 1993/94 itu adalah bagaimana Capello bisa memproduksi kembali sepak bola ala Sacchi di momen yang tepat. Menghadapi 'Dream Team' Barcelona asuhan Johan Cruyff, Milan membalikkan semua prediksi dengan bermain agresif hingga akhirnya menang telak 4-0.
Walau demikian, hasil dan penampilan kala bertemu Barcelona itu hanyalah anomali dari sejarah panjang Capello dan pragmatismenya. Setelah itu, pragmatisme justru makin tidak bisa dilepaskan dari Capello. Mulai dari saat dia memainkan Raul Gonzalez sebagai sayap kiri di Real Madrid sampai saat dia memutuskan bahwa Roma memang sebaiknya bermain dengan pakem 3-4-1-2 supaya kemampuan terbaik para pemainnya muncul.
Dari kiprahnya bersama Real Madrid dan Roma itu, Capello sukses mempersembahkan gelar juara. Rekam jejak itulah yang membuat Capello kemudian direkrut manajemen Juventus untuk menggantikan Marcello Lippi.
ADVERTISEMENT
Bicara soal Capello dan Lippi, ada relasi menarik antara dua pelatih tersebut. Saat masa jaya Capello bersama Milan berakhir, Lippi-lah yang menggantikannya sebagai 'diktator' di Italia bersama Juventus. Kemudian, saat masa jaya Lippi di Juventus habis, Capello-lah yang ditunjuk untuk jadi suksesor.
Secara umum, cara bermain Juventus asuhan Capello tidak jauh berbeda dengan cara tim Milan-nya bermain. Dengan formasi 4-4-2, Capello menempatkan Patrick Vieira dan Emerson Ferreira, dua gelandang yang lebih dikenal akan kemampuan defensifnya, sebagai penghuni lini tengah. Mereka diapit oleh dua sayap dinamis dalam diri Mauro Camoranesi dan Pavel Nedved.
Juventus asuhan Capello itu hampir tidak pernah memainkan sepak bola yang atraktif. Namun, hasilnya tetap efektif dan itu terbukti dari dua Scudetti yang akhirnya berhasil diraih. Walaupun kemudian dua gelar itu dicopot menyusul Calciopoli, itu menunjukkan bahwa pragmatisme Capello sebenarnya belum habis dilekang zaman.
ADVERTISEMENT
Bukti sahih lain dari efektivitas pragmatisme Capello itu adalah kala dia membawa Real Madrid menjuarai La Liga musim 2006/07. Gelar itu diraih setelah Real Madrid puasa gelar selama tiga musim meski memiliki bintang-bintang besar macam David Beckham dan Ronaldo. Keberhasilan inilah yang kemudian membawa Capello ke Tim Nasional (Timnas) Inggris.
***
Masa edar memang selalu ada habisnya dan Capello mengalaminya. Di Timnas Inggris dia gagal. Pun begitu dengan di Timnas Rusia dan kini di Jiangsu Suning.
Sudah lebih dari satu dekade Capello tak lagi mampu menghasilkan gelar. Penyebabnya memang ada banyak. Di Inggris, dia gagal karena tekanan publik yang mewajibkan keberadaan pemain sayap dalam pola klasik 4-4-2. Di Rusia, soal kompetensi pemain dan permasalahan internal federasi jadi kambing hitam. Sedangkan, kegagalan di Suning membuat semua orang, termasuk Capello sendiri, sadar bahwa masa edar pelatih flamboyan ini sudah habis.
ADVERTISEMENT
Usia mungkin jadi alasan tersendiri. Biar bagaimanapun dia sudah berumur 71 tahun. Motivasi pun bisa jadi musabab, tetapi apa pun itu, hanya Capello sendiri yang tahu persis.
Namun, meski paruh ketiga masa kepelatihannya tidak dijalaninya dengan sukses, warisan Capello di klub-klub yang dulu dia tangani tidak bisa dikesampingkan begitu saja. 15 gelar dalam 16 tahun adalah bukti sahih bahwa Capello, di masanya, memang pelatih kelas wahid.
Bagaimana Capello bisa menjadi pelatih sehebat itu tentu ada banyak faktor yang bisa jadi penentu. Namun, satu hal yang pasti adalah dia sebenarnya sudah mampu menunjukkan itu sejak masih bermain.
Dalam serial 'Football's Greatest' keluaran Sky Sports, Franco Baresi berkata, "Dia memang sudah menjadi pelatih kala masih berada di lapangan."
ADVERTISEMENT
Artinya, sedari awal bakat itu memang sudah dimiliki Capello. Namun, ada juga sosok yang tidak menganggap Capello sebagai sosok hebat. Zdenek Zeman, misalnya, pernah mengatakan bahwa Capello (dan Jose Mourinho) dianggap hebat hanya karena mereka memenangi banyak gelar.
Capello-Dubai International Sports Conference. (Foto: Satish Kumar/REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Capello-Dubai International Sports Conference. (Foto: Satish Kumar/REUTERS)
"Mereka sering menang karena mereka punya pemain bagus. Aku bisa saja meminta kakekku yang sudah meninggal jadi pelatih di tim mereka dan aku yakin timnya tetap bakal bisa menang," ucap Zeman dengan nada ketus.
Apa yang diuatarakan Zeman ini kemudian bisa disangkutpautkan dengan kegagalan Capello bersama Timnas Inggris. Kala itu Capello membesut tim yang disebut-sebut sebagai generasi emas.
Namun, Inggris akhirnya kalah 1-4 melawan Jerman di perempat final Piala Dunia 2010. Atas kegagalan ini, Roy Keane mengatakan bahwa sesungguhnya para pemain Inggris itu tak bisa disebut sebagai pemain kelas dunia. Berbeda dengan nama-nama yang dilatih Capello di Milan, Real Madrid, Roma, dan Juventus.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, satu hal yang kerap dilupakan adalah melatih pemain-pemain bintang juga diperlukan bakat khusus. Cara Capello menggunakan Savicevic, misalnya, bisa dijadikan contoh.
Ketika dirinya masih bermain, talenta Savicevic tak bisa diragukan oleh siapa pun. Akan tetapi, pemain Montenegro itu punya satu penyakit: sifat malas. Nyatanya, Capello mampu mengubah itu dan Savicevic pun jadi pahlawan di final Liga Champions 1994 dengan permainannya yang penuh determinasi. Artinya, pemain bagus sebenarnya tak menggaransi gelar jika tidak ditangani dengan bagus.
Maka dari itu, meragukan kemampuan Capello adalah sesuatu yang tidak bisa dibenarkan, apalagi sampai menyebut pragmatismenya sebagai sebuah dosa. Sebab, pada akhirnya sepak bola, sebagaimana hidup, hanya mencatat siapa yang menang.
=====
Saksikan laga Juventus vs AC Milan secara gratis di channel SuperSoccer x kumparan. Nantikan juga kumparan Giveaway dan hadiah menarik dari kami.
ADVERTISEMENT