Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
"Dia pergi (justru) karena dia loyal," kata seorang pemain Almeria suatu kali. "Di sepak bola, hal seperti itu sulit sekali ditemukan. Pergi karena uang? Jelas. Melepaskan pekerjaan di Primera demi pemain-pemainmu? Tentu tidak."
ADVERTISEMENT
Tahunnya adalah 2013 ketika Almeria meraih promosi ke Primera Division di La Liga. Klub Andalusia yang didirikan pada 1989 itu pertama kali mencicipi Primera pada 2007 dan mampu bertahan selama empat musim. Akan tetapi, mereka kemudian kolaps.
Tekanan itu terlalu besar dan mereka tak lagi sanggup bertahan. Hasilnya, selama dua musim -- 2011/12 dan 2012/13 -- Almeria pun harus berkutat di Segunda. Di musim yang pertama, Almeria langsung berupaya untuk merebut tiket promosi kembali, tetapi gagal. Di bawah Lucas Alcaraz, mereka sebenarnya hampir bisa meraih itu, tetapi manajemen kemudian melakukan blunder.
Saat dilatih Alcaraz, Almeria berada di urutan lima klasemen. Namun, pria asal Granada itu kemudian digantikan oleh Esteban Vigo. Dengan pelatih baru, prestasi Almeria justru memburuk dan di akhir musim mereka cuma mampu finis di urutan ketujuh. Sirnalah harapan mereka.
ADVERTISEMENT
Pada peralihan musim, Vigo diminta angkat kaki. Menariknya, Almeria kemudian menunjuk pelatih yang sama sekali tak punya kredensial mentereng. Pelatih yang dimaksud, pada musim 2011/12, hanya berkecimpung di Divisi Tiga Liga Yunani bersama klub gurem PAE Kerkyra. Akan tetapi, perjudian Almeria itu kemudian terbayar.
Musim 2012/13, Almeria berhasil mengakhiri musim di urutan tiga klasemen dan lolos ke Primera. Sayangnya, setelah itu, lagi-lagi, manajemen melakukan blunder. Perombakan skuat besar-besaran dilakukan dan hal ini membuat sang pelatih meradang. Bahkan, sang pelatih tak segan menyebut langkah manajemen itu sebagai wujud dari 'waham kebesaran'.
Pergilah kemudian sang pelatih itu. Kebetulan, kampung halamannya memanggil. Osasuna ketika itu butuh sosok yang bisa menyelamatkan mereka dari jerat degradasi. Di musim 2012/13, mereka hampir saja turun kelas dan baru selamat di pekan-pekan terakhir. Hal itu berusaha dihindari oleh mereka dan misi berat itu disanggupi oleh sang pelatih.
ADVERTISEMENT
Pelatih itu adalah Javier Gracia Carlos. Dia biasa dipanggil Javi; Javi Gracia .
***
Gracia adalah apa yang terwujud jika paradoks diberi tubuh dan nyawa. Sosoknya tidak spesial, tetapi justru itulah yang membuat dirinya menjadi istimewa. Kata seorang mantan rekan setimnya, Alberto Lopez, Gracia adalah sosok yang 'normal'. "Akan tetapi," kata Lopez. "Di olahraga ini, di mana segalanya begitu kacau, tidak ada (lagi) yang normal."
Lopez bermain bersama Gracia untuk Real Sociedad pada paruh kedua dekade 1990-an. Sociedad yang itu bukanlah Sociedad yang pernah jadi penantang serius Real Madrid dalam merebut gelar juara La Liga. Sociedad yang diperkuat Gracia itu adalah Sociedad yang semenjana dan biasa saja, persis seperti dirinya.
Bermain sebagai gelandang bertahan, Gracia nyaris tak punya kelebihan apa pun. Setidaknya, begitulah yang kasatmata. Akan tetapi, di balik kenormalan itu, ada sosok pecandu berat yang tersembunyi dalam dirinya.
ADVERTISEMENT
Gracia adalah sosok yang kecanduan sepak bola. Segala pikirnya dia curahkan untuk sepak bola dan itulah yang kemudian membuat Gracia si pelatih jadi lebih dikenal dibanding Gracia si pemain.
Setiap harinya, Gracia datang pukul delapan pagi ke tempat latihan dan baru pulang setengah hari sesudahnya. Setibanya di rumah pun, yang dia lakukan adalah menonton dan menganalisis pertandingan sepak bola.
Saat ini, Gracia adalah salah satu pelatih terbaik di Premier League. Tim asuhannya, Watford, sedang duduk di urutan tiga klasemen sementara dengan koleksi 12 poin hasil menyapu bersih empat kemenangan. Hanya perbedaan selisih gol yang membuat Watford ada di urutan tiga dan bukan satu atau dua.
Watford membuka musim dengan kemenangan 2-0 atas Brighton and Hove Albion. Setelah itu, dalam laga tandang ke Turf Moor, tuan rumah Burnley berhasil mereka kandaskan dengan skor 3-1. Rentetan positif itu berlanjut di pekan ketiga tatkala mereka sukses menundukkan Crystal Palace 2-1 di Vicarage Road.
ADVERTISEMENT
Namun, tiga kemenangan itu belum bisa membuat publik teryakinkan bahwa Watford besutan Gracia memang spesial. Kemenangan di pekan keempatlah yang akhirnya baru bisa membelalakkan mata orang-orang. Menjamu Tottenham Hotspur, mereka sukses bangkit dari ketertinggalan dan menutup laga dengan kemenangan 2-1.
Keberhasilan memetik angka penuh kala menjamu Spurs itulah yang dulu pernah jadi identitas Gracia di La Liga. Pada periode 2014 s/d 2016, pria kelahiran 48 tahun silam ini pernah menjadi pembunuh raksasa, tepatnya saat menangani klub Andalusia lain, Malaga.
Gracia sebenarnya gagal total di Osasuna. Klub asal Pamplona itu, pada musim 2012/13, finis di urutan ke-16. Alih-alih membaik, prestasi Osasuna justru memburuk di bawah Gracia . Mereka pun harus turun ke Segunda untuk pertama kalinya sejak meraih promosi pada 2000.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, kegagalan Gracia di Osasuna itu tidak bisa dibebankan pada dirinya sepenuhnya. Sebab, klub yang membesarkan Raul Garcia itu memang punya masalah besar di sektor finansial. Maka dari itu, reputasi Gracia pun tidak tercoreng sepenuhnya. Malah, dia kemudian diburu oleh dua tim sekaligus. Selain Malaga, Sevilla juga pernah mengincar tanda tangannya.
Gracia akhirnya memilih Malaga dan sebenarnya, tantangannya di sana juga luar biasa berat. Sebab, Malaga yang ditangani Gracia bukanlah Malaga yang hampir lolos ke perempat final Liga Champions. Malaga yang ditukangi Gracia adalah Malaga yang harus menjual banyak pemain bintangnya karena sang pemilik, Abdullah bin Nasser bin Abdullah Al Ahmed Al Thani, tak lagi mau membiayai klub.
ADVERTISEMENT
Di situasi sulit seperti itulah Gracia malah berhasil menunjukkan kemampuannya sebagai pelatih kelas wahid. Selama dua musim dilatih Gracia , Malaga menunjukkan permainan yang cerdas dan efektif. Hasilnya, mereka bisa finis di urutan sembilan dan delapan secara berurutan. Padahal, mereka harus beroperasi dengan anggaran pas-pasan.
Tak cuma itu, Gracia juga mampu membuat Malaga jadi tim paling banyak mencuri poin dari Real dan Atletico Madrid serta Barcelona. Pada musim 2014/15 itu, Malaga memang belum bisa menang atas duo Madrid, tetapi mereka mampu jadi nemesis sempurna bagi Barcelona.
Pada musim di mana Barcelona meraih trofi Liga Champions tersebut, Malaga adalah satu-satunya tim yang tak bisa mereka kalahkan. Di Camp Nou, Barcelona kalah 0-1. Sementara, di La Rosaleda, Blaugrana harus puas dengan hasil imbang tanpa gol.
ADVERTISEMENT
Musim berikutnya, Malaga tak mampu menaklukkan Barcelona. Namun, kali ini mereka sukses dua kali menahan imbang Real Madrid dan sekali mengalahkan Atletico. Pencapaian ini dilakukan Gracia dengan mengandalkan pemain-pemain muda hasil binaan klub seperti Samu Castillejo serta Juanmi Garcia yang akhirnya juga angkat kaki demi penghidupan lebih baik.
Gracia akhirnya ikut-ikutan pergi meninggalkan Malaga untuk menangani Rubin Kazan di Rusia. Kepergian Gracia itu membuat Malaga limbung. Empat pelatih berbeda sudah dicoba tetapi hasilnya nihil. Sampai akhirnya, Malaga pun terdegradasi sebagai juru kunci La Liga pada musim 2017/18.
Perceraian dengan Malaga itu juga awalnya tak berbuah manis untuk Gracia. Pasalnya, di Rubin dia gagal memenuhi ekspektasi. Klub asal Republik Tatarstan itu semestinya finis di papan atas untuk memperebutkan tiket Liga Europa, bahkan Liga Champions. Namun, di bawah asuhan Gracia mereka cuma mampu finis di urutan kesembilan.
ADVERTISEMENT
Oleh Gracia, kegagalan bersama Rubin itu dianggap sebagai sebuah bencana komunikasi. Pria yang pernah sekali membela Tim Nasional Spanyol level U-21 itu bersikeras agar para pemainnya menggunakan bahasa Inggris. Akan tetapi, hal itu tidak berjalan lancar. Situasi ruang ganti jadi tak kondusif dan itu semua berpengaruh pada penampilan di lapangan.
Butuh waktu satu setengah tahun bagi Gracia untuk mendapatkan pekerjaan baru. Meski begitu, semestinya dia tak perlu menunggu selama itu karena tawaran tetap berdatangan. Espanyol adalah salah satu klub yang pernah dikabarkan tertarik akan jasa Gracia. Akan tetapi, itu semua tak pernah terwujud.
Gracia pun menunggu sampai akhirnya kesempatan besar datang dari Watford pada Januari 2018. Kala itu, tim sedang dalam situasi tak harmonis menyusul kepergian Marco Silva. Pelatih asal Portugal itu diminta angkat koper karena dirasa sudah tak lagi fokus menangani tim sejak dirinya diincar oleh Everton. Perlahan tapi pasti, Gracia mampu mengangkat kembali Watford meskipun impaknya baru benar-benar terasa ketika musim sudah berganti.
ADVERTISEMENT
***
"Dia punya satu hal terpenting yang harus dimiliki pelatih mana pun: sebuah rencana," tutur Esteban Suarez. "Secara taktikal dia sangat jelas. Dia selalu menekankan pada kami untuk tahu di mana rekan kami berada dan dengan itulah dia mampu mengeluarkan kemampuan terbaik semua orang. Dia tidak suka memfokuskan diri pada kesalahan dan lebih tertarik mencari solusi."
Esteban adalah kiper andalan Gracia ketika masih menangani Almeria dulu dan dia tidak sendirian dalam memuji mantan pelatihnya itu. Selain rencana, kerja keras adalah hal lain yang identik dengan Gracia. Mantan personel medis Malaga, Marcelo Torrontegui, ketika diwawancarai oleh Sid Lowe untuk The Guardian, berkata bahwa yang dilakukan Gracia adalah 'kerja, kerja, dan kerja'.
ADVERTISEMENT
Bagi Gracia , selain kecintaan terhadap sepak bola itu sendiri, dua hal itulah yang jadi aspek terpenting dalam pekerjaannya. Itulah mengapa, dia tak pernah mengeluh. Ketika harus menangani Malaga yang compang-camping itu, Gracia tetap bekerja dalam diam. Kendati awalnya sulit, di mana mereka sempat terdampar di dasar klasemen, pada akhirnya papan tengah berhasil digapai.
Inilah yang membuat Gracia jadi sosok yang bertolak belakang dengan, katakanlah, Jose Mourinho, calon lawannya di pekan kelima Premier League, Sabtu (15/9/2018) malam WIB mendatang. Keluhan-keluhan Mourinho yang kesal karena tidak dibelikan pemain itu tidak akan pernah terdengar dari bibir Gracia. Sebab, siapa pun pemainnya, Gracia selalu akan percaya pada mereka.
Bahkan, Gracia tak cuma percaya. Lebih dari itu, dia bangga. Troy Deeney memang bukan Romelu Lukaku dan Roberto Pereyra bukanlah Paul Pogba. Namun, itu bukan masalah untuk Gracia.
ADVERTISEMENT
"Sekarang yang penting adalah bagaimana membangun mereka jadi tim yang bagus," kata Gracia sebelum musim dimulai dan sampai saat ini, misi Gracia itu sudah menunjukkan hasil. Empat kemenangan dari empat pertandingan awal adalah rekor tersendiri di klub tersebut.
Walau demikian, perjalanan Gracia masih sangat panjang. Selain itu, Watford yang sekarang juga mulai dibandingkan dengan Watford era Graham Taylor yang menjadi runner-up Football League Division One musim 1982/83. Tekanan macam itulah yang belum pernah dirasakan Gracia. Kemudian, hobi pemilik Watford, keluarga Pozzo, dalam melakukan bongkar-pasang pelatih juga akan jadi tantangan tersendiri.
Terlepas dari itu, Gracia sebenarnya sudah jadi sosok spesial. Sejak Giuseppe Sannino pada 2014, belum pernah ada pelatih yang mampu bertahan di Watford begitu musim panas tiba. Gracia sudah mampu melewati tes perdana itu dan sekarang, biarlah dia menentukan sendiri sampai sejauh mana dia bisa melangkah.
ADVERTISEMENT
=====
Watford akan menjamu Manchester United dalam partai pekan kelima Premier League 2018/19, Sabtu (15/9/2018) malam pukul 23:30 WIB, di Vicarage Road.