Liga 1, Liga Kontroversial

1 April 2020 15:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Edy Rahmayadi, saat masih menjabat sebagai Ketua Umum PSSI. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Edy Rahmayadi, saat masih menjabat sebagai Ketua Umum PSSI. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Pernah membayangkan enggak, sih, kalau Liga Indonesia berjalan dengan baik-baik saja? Misal begini saja contohnya: Sepak mula dan rampungnya kompetisi selesai tepat waktu. Kemudian kinerja wasit yang memimpin pertandingan bagus dan klub-klub enggak sering protes.
Lalu kerja federasinya alias PSSI dipuji sama semua insan, baik pelaku dan pecandu sepak bola nasional. Lalu, Timnas Indonesia main bagus terus menang melulu. Pokoknya yang baik-baik, deh!
Enggak. Ini enggak asik sama sekali. Bukan sepak bola negara Indonesia yang serba teratur dan beraturan begini.
***
Sejak bergulirnya Liga 1 2017 yang jadi penanda kebangkitan sepak bola nasional usai disanksi FIFA setahun sebelumnya, semua sudah berawal dari kontroversi. Usai Lord, eh, maksudnya Edy Rahmayadi terpilih jadi Ketua Umum PSSI untuk periode 2016-2019 di Desember 2016, sepak mula kompetisi Liga 1 diputuskan akan bergulir dalam waktu dekat setelah dia terpilih.
Setelah melangsungkan Kongres Tahunan pada 8 Januari 2017, sepak mula diagendakan dilakukan tak kurang dari satu bulan selepas palu keputusan diketok. Namun, faktanya, kompetisi molor sampai akhirnya dilakukan pada 15 April di tahun itu.
Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi (kiri) bersama Joko Driyono memberikan keterangan pers terkait kematian salah seorang pendukung Persija di Jakarta, Selasa (25/9). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Lama sekali? Ya, Wakil Ketua Umum, Joko Driyono, ketika itu bilang: Ada banyak urusan yang mesti diselesaikan. Mencari sponsor, menyusun jadwal pertandingan, dan mencari pihak televisi yang akan menayangkan. Jadilah sepak mulanya diundur 'sedikit'.
Ngomong-ngomong, persoalan di atas baru mukadimah yang kumparanBOLA sajikan untuk menemani Anda, pembaca setia kami, yang dirumahaja karena membantu pemerintah menekan penyebaran virus corona. Ada beberapa list yang coba kami rangkum soal kontroversi njelimet yang terjadi sejak era Liga 1 2017 bergulir.

Regulasi Baru Bernama Marquee Player

Pertama dan utama, ada baiknya mengenang sejenak bagaimana hadirnya regulasi ini. Masih mengutip pernyataan Edy, setiap klub peserta diperbolehkan merekrut satu pemain asing yang sudah mentas di tiga edisi Piala Dunia mulai dari 2006 hingga 2014.
Jika sang pemain enggak pernah mentas di Piala Dunia--karena enggak mudah juga masuk ke hajatan itu, maka ada keringanan regulasi. Ya, minimal pemain asing itu sudah pernah main di kompetisi Eropa selama delapan tahun terakhir. Jika dihitung berarti sejak 2009 hingga 2017.
Tujuannya mulia. Agar sepak bola Indonesia kembali bergairah. Agar pemain asing itu bisa memberikan edukasi kepada pemain-pemain nasional kita, agar kompetisi kita enak ditonton karena ada pemain asing kelas dunia, agar pemain asing itu, ah.... Banyak sekali pokoknya keuntungannya. Begitu kata Edy meyakinkan bahwa regulasi ini akan berjalan bagus.
Michael Essien menyapa bobotoh. Foto: Antara/Novrian Arbi
Eits dan selain itu ada juga regulasi di mana klub wajib memainkan tiga pemain di bawah usia 23 tahun selama 45 menit di setiap pertandingan. Tujuannya, agar pemain muda mendapat jam terbang dan bertujuan untuk membantu Timnas Indonesia usia muda yang tengah bersiap untuk SEA Games ketika itu.
Berjalan lancar? Ya, enggak. Karena klub-klub peserta banyak yang protes karena mereka semacam dipaksa untuk merekrut pemain muda, memainkan pemain muda dalam satu pertandingan, padahal enggak sesuai dengan skema pelatih. Ribet bukan?
Regulasi ini enggak bertahan lama karena ujung-ujungnya ditangguhkan kemudian dihapuskan. Bagaimana ceritanya? Panjang.
Begini. Menengok rangkaian protes yang tak pernah surut, akhirnya PSSI melunak. Regulasi terkait kewajiban klub untuk memainkan pemain U-23 selama 45 menit dihapuskan. Meski demikian perubahan yang terhitung mendadak itu pun kembali akan digulirkan setelah ajang SEA Games 2017 dan Kualifikasi Piala Asia U-23.
Laga Timnas U-22 vs Kamboja di SEA Games 2017. Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA
Federasi mengklaim bahwa penangguhan regulasi tersebut hanya bersifat sementara, terhitung mulai 3 Juli 2017 sampai dengan 30 Agustus 2017 dan akan berjalan kembali mulai 1 September sampai berakhirnya kompetisi Liga 1. Tujuannya, demi suksesnya Timnas U-23 meraih prestasi di dua ajang tersebut.
SEA Games 2017 pun berakhir, itu artinya regulasi penggunaan pemain usia 23 tahun kembali akan diberlakukan. Namun, PSSI mengumumkan bahwa regulasi pemain U-23 dihapuskan dengan mengirimkan surat dengan nomor 312/UDN/12393/VII-2017 yang ditujukan kepada Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru menyatakan semua klub Liga 1 diperbolehkan untuk menurunkan/memainkan semua pemainnya yang telah terdaftar sebelumnya.

(Kok bisa) Bhayangkara FC Juara Liga 1 2017?

Pengujung Liga 1 2017 menelurkan Bhayangkara FC sebagai kampiunnya. Tapi, jelang rampungnya kompetisi, ada sedikit kontroversi yang menyelimutinya.
Beberapa hari jelang berakhirnya kompetisi, tepatnya pada 12 November tahun itu, kejutan sempat terjadi. Bali United, yang semula menduduki peringkat pertama dengan mengantongi 65 poin, terpaksa harus turun ke peringkat kedua karena digeser oleh Bhayangkara.
Tunggu dulu, mengapa bisa begitu? Mengapa Bhayangkara yang sebelumnya mengoleksi 63 poin tiba-tiba bisa merangsek naik?
Bhayangkara FC melakukan selebrasi goal kedua. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Well, ini, tentu saja, bukan tanpa sebab. Bhayangkara mendapatkan 'kemenangan gratis' berupa poin tambahan melalui surat keputusan dari Komisi Disiplin PSSI (Komdis PSSI). Poin tersebut didapatkan atas Mitra Kukar, lawan yang mereka hadapi pada 3 November 2017.
Tentu, hadiah tersebut bukan tanpa sebab diberikan. Semua bermula ketika lawan Bhayangkara pekan lalu, Mitra Kukar, menurunkan pemain yang semestinya tidak boleh dimainkan.
Dendy Sulistyawan berebut bola dengan M Bahtiar. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Pada pertandingan yang berakhir imbang 1-1 itu, Mitra Kukar memainkan Mohamed Sissoko, yang di pertandingan sebelumnya mendapatkan kartu merah langsung. Imbasnya, Komdis PSSI pun memberikan hukuman dengan menyatakan Mitra Kukar kalah 0-3.
Buat Bhayangkara, ini adalah sebuah keuntungan. Dengan “hadiah” tiga poin tersebut, mereka memimpin klasemen dengan koleksi nilai 65, sama dengan perolehan nilai Bali United yang duduk di posisi kedua. Namun, Bhayangkara berhak berada di posisi pertama lantaran unggul head-to-head atas Bali United.
Dengan perolehan poin itu, Bhayangkara selangkah lebih dekat dengan gelar juara. Awak The Guardian pun memastikan gelar juara ketika berhasil mengangkangi Madura United, tiga hari setelahnya yakni pada 8 November 2017 lalu dengan skor 3-1. Atas kemenangan itu mereka mengoleksi 68 poin dan sudah bisa dipastikan tak akan terlampaui Bali United.

Tepuk Pramuka untuk Wasit Shaun Robert Evans

Pada 3 November 2017 di Stadion Manahan, Solo, ada laga Persija Jakarta vs Persib Bandung. Laga ini mestinya dihelat di Stadion Patriot, yang menjadi rumah bagi Persija di Liga 1 2017. Karena enggak mau ada sesuatu dan lain hal, demikian bahasa yang disematkan operator ketika itu, terpilihlah Solo sebagai panggung kedua kesebelasan.
Kabar baik atau buruk, Shaun Robert Evan yang akan menjadi pengadil di laga tersebut. Sang wasit sebetulnya sudah mendapat sorotan miring karena saat memimpin pertandingan di Liga Utama Australia (A-League) banyak mengeluarkan kontroversi.
Wasit Liga 1 masih bermasalah. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Di laga tersebut, Evans juga menunjukkan tajinya. Beberapa di antaranya adalah tekel keras penyerang Persija, Rudi Widodo kepada Kim Kurniawan tak diganjar kartu merah meski dalam reka ulang televisi amat berbahaya.
Lalu tak ada hukuman untuk pelanggaran Hariono kepada Sandi Darman Sute dan dianulirnya gol Ezechiel Douassel.
Khusus gol Ezechiel, insiden itu sempat mengerinyitkan dahi. Sebab, saat penyerang asal Chad itu menyambut umpan Supardi Nasir via sepak pojok melalui sundulannya, bola sudah masuk. Jika melihat reka ulang televisi, jaring gawang Persija juga sudah bergetar.
Akan tetapi, Evans dan hakim garis kompak menggeleng dan menyatakan sundulan tersebut tidak gol. Protes dilancarkan? Pasti. Tapi Evans tetap pada pendapatnya.
Lebih dari itu, laga berkesudahan di waktu tidak normal. Ya, Persija menang di laga tersebut pada menit ke-83 karena setelahnya, Evans menyudahi laga dengan alasan Persib mogok main.
Pemain Persib Bandung Ezechiel N'Douassel (kanan) berusaha melewati pemain Persija Jakarta Tony Sucipto pada laga pertandingan Liga 1 2019, di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Mogoknya juga disertai alasan. Diawali dengan kejadian kartu merah yang diterima bek Persib, Vladimir Vujovic, (hasil dari dua kartu kuning yang dia terima), suasana pertandingan menjadi semakin panas.
Umuh Muchtar, selaku manajer Persib ketika itu, tampak berdiri di pinggir lapangan memanggil seluruh pemain ke tepi lapangan. Tak lama kemudian, wasit Evans menghentikan pertandingan dan memutuskan Persija menang meski laga belum rampung di waktu semestinya.

Berakhirnya Cerita 'Abah' Mario Gomez dengan Persib

Di tangan dingin Mario Gomez menangani Persib Bandung pada Liga 1 2018, sosok Argentina ini mendapat tempat hangat bagi insan sepak bola Jawa Barat.
Bagaimana tidak, Gomez sempat membikin para pendukung Pangeran Biru sempat sesumbar akan menjadi juara tahun itu. Selama 10 pekan dari pekan ke-16 hingga pekan ke-26, Persib tak tergerus di puncak klasemen. Bahkan slogan 'tiris yeuh di luhur' yang diasumsikan kedinginan di puncak klasemen sempat jadi jargon kedigdayaan Persib oleh para pendukungnya.
Pelatih Persib Bandung, Mario Gomez Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Sayangnya, di tengah perjalanan Persib ketiban sial. Ketika mereka terusir dari Tanah Pasundan karena terhukum oleh Komisi Disiplin akibat kematian pendukung Persija yakni Haringga Sirla, grafik permainan Persib menurun.
Sejak kekalahan 1-4 dari Persebaya Surabaya di Stadion I Wayan Dipta yang jadi markas sementara Persib, grafik penampilan Persib menurun. Ada sejumlah faktor, sih, yang membikin Persib merosot.
Ezechiel dihukum sembilan pertandingan, Persib diusir dari markas mereka sendiri, Gomez minta naik gaji dan yang paling disorot, ya, poin terakhir.
Suasana latihan Persib di Lapangan Progresif Foto: Dok. Media Persib
Beberapa pekan jelang kompetisi rampung, Gomez meminta kenaikan gaji sebesar 50 persen. Manajemen Persib sudah menyanggupi tapi pada akhirnya tak ada kesepakatan yang terjadi karena manajemen Persib menyudahi kerja sama tepat setelah Gomez mengantar Persib di urutan keempat di pengujung musim.
Denger-denger, asisten pelatih Gomez yakni Fernando Soler juga meminta kenaikan gaji. Mengingat mereka satu paket, akhirnya Persib mengambil sikap dengan tidak memperpanjang kerja sama dengan keduanya.

Gol Tangan Tuhan Ala Diego Assis

Stadio Surajaya Lamongan yang menjadi rumah bagi Persela Lamongan kedatangan Persija pada 20 Mei 2018. Laga itu berkesudahan dengan skor 2-0 untuk kemenangan tuan rumah. Tapi ada sedikit cerita yang, ya, cukup kontroversial.
Pertandingan ini memang diwarnai berbagai drama. Hasil imbang tanpa gol di 45 pertama tampaknya menggairahkan kedua kesebelasan untuk saling jegal demi kemenangan.
Pemain Persija Jakarta Riko Simanjuntak (kanan) berusaha melewati pemain Persela Lamongan. Foto: Dok. Media Persija
Drama dimulai memasuki menit ke-50 kala penyerang Persela, Diego Assis, dijatuhkan oleh bek Persija, Maman Abdurrahman, di dalam kotak terlarang. Dalam tayangan ulang memang Maman jelas melanggar Diego.
Shohei Matsunaga maju sebagai algojo. Sial bagi, eks pemain Persib Bandung itu, ia gagal mengeksekusi bola dengan baik lantaran sepakannya melambung tinggi.
Memasuki menit ke-88, drama kembali terjadi. Kejadian bermula saat Diego Assis melepaskan salto tapi membentur tiang. Bola rebound kembali disambarnya. Tetapi di sini letak janggalnya karena sekilas tangan si pemain 'bermain' dengan mendorong bola.
Wasit Annas Apriliandi yang memimpin laga kemudian mengesahkan gol tersebut. Alhasil, para penggawa Persija melakukan protes keras kepada wasit. Bahkan, beberapa pemain cadangan Macan Kemayoran ikut masuk untuk memprotes hal itu.
Pelatih Persija Jakarta, Stefano 'Teco' Cugurra. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Juru latih Persija saat itu, Stefano 'Teco' Cugurra, misuh-misuh selepas laga. Sosok asal Brasil ini menilai sepak bola Indonesia kian miris saja.
''Bagaimana bisa saat hakim garis mengangkat bendera tanda pelanggaran tapi wasit utama malah mengesahkan gol tersebut? Sangat menyedihkan sepak bola Indonesia seperti ini,'' kata Teco di sesi jumpa pers selepas laga ketika itu.
Persela main bagus dan kami juga main bagus. Akan tetapi, kami justru kalah bukan karena melawan Persela tapi kalah karena melawan wasit," lanjut Teco.
Mungkin lima kontroversi tersebut cukup untuk membikin Anda yang dirumahaja geleng-gelang dengan sepak bola Indonesia. Sebetulnya, masih ada banyak cerita yang bisa kami sajikan. Hanya saja kami tak ingin kecintaan Anda terhadap sepak bola Indonesia luntur dengan seketika.
Musim ini, Liga 1 sudah berniat untuk berbenah. Jadwal yang lebih rapi, dengan pertandingan dilangsungkan tiap weekend plus Jumat dan Senin, sudah disusun. Niat untuk tidak lagi banyak-banyak mengubah jadwal di tengah jalan juga diapungkan.
Eh, niatnya sudah bagus begitu, liga terpaksa ditangguhkan karena wabah virus corona. Apes.
*** Catatan Editor: Terjadi perubahan untuk gol kontroversial Ezechiel. Gol tersebut bukan dianulir karena offside melainkan kesalahan wasit. Bola sudah masuk ke dalam gawang lebih dulu, tetapi wasit tetap melanjutkan permainan.
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!