Man United, Wan-Bissaka, dan Transfer yang Bikin Geleng-geleng Kepala

25 Juni 2019 14:09 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aaron Wan-Bissaka bermain untuk Crystal Palace. Foto: Reuters/Peter Cziborra
zoom-in-whitePerbesar
Aaron Wan-Bissaka bermain untuk Crystal Palace. Foto: Reuters/Peter Cziborra
ADVERTISEMENT
Kepindahan Aaron Wan-Bissaka ke Manchester United tampaknya tinggal tunggu waktu. Senin (24/6/2019) kemarin berbagai media di Inggris, termasuk The Guardian, melaporkan bahwa United dan klub pemilik Wan-Bissaka, Crystal Palace, telah mengadakan pertemuan lanjutan untuk mencari kata sepakat ihwal transfer sang bek kanan.
ADVERTISEMENT
Dari apa yang dilaporkan The Guardian, Palace ingin agar United membayar 65 juta poundsterling kepada mereka. Angka 65 juta pounds itu memang tidak wajib dibayarkan secara kontan semuanya. Dari jumlah sekian, 'hanya' 50 juta pounds yang diharapkan Palace dibayar langsung. Sementara, sisanya bisa berbentuk klausul.
Awalnya, United berupaya memasukkan klausul penjualan kembali Wilfried Zaha sebagai bagian dari negosiasi. Maksudnya begini... Ketika Zaha kembali ke Selhurst Park pada 2015 lalu terdapat sebuah klausul penjualan kembali yang tertera dalam kontrak. Jika Palace menjual Zaha kembali ke pihak ketiga, semestinya United akan mendapat bagian. Nah, bagian itulah yang ingin diserahkan United kepada Palace sebagai langkah mendapatkan Wan-Bissaka.
Tawaran itu ditolak oleh Palace. Maka, United kemudian melancarkan pergerakan baru. Dalam tawaran kedua, 'Iblis Merah' menyertakan klausul pembayaran 15 juta poundsterling seandainya Wan-Bissaka mampu membawa mereka menjuarai Liga Champions. Melihat tawaran ini, Palace semakin kesal. Lolos ke Liga Champions saja kesulitan, bagaimana mungkin United berani bermimpi jadi juara? Penolakan pun kembali diterima United.
ADVERTISEMENT
Sampai akhirnya, pertemuan ketiga digelar kemarin. Belum diketahui seperti apa hasilnya tetapi media-media memperkirakan bahwa pertemuan tersebut hasilnya akan final. Sepulangnya dari Piala Eropa U-21 nanti, Wan-Bissaka akan segera menuju Carrington, markas latihan United, untuk meneken kontrak senilai 80 ribu poundsterling per pekan.
Sebelum menarget Wan-Bissaka, Manchester United sudah mendapatkan seorang penyerang sayap muda asal Wales bernama Daniel James. Kesepakatan yang terjalin antara United dan Swansea City, pemilik lawas James, sejatinya telah terjalin sejak akhir musim 2018/19 tetapi transfer secara resmi baru dilangsungkan begitu musim berakhir.
Kini, Wan-Bissaka pun praktis sudah ada dalam genggaman. Lantas, apakah dengan keberhasilan mendapatkan pemuda asal Croydon itu Manchester United boleh dibilang sudah lebih pintar dalam bergerak di bursa transfer? Well, tidak begitu juga.
ADVERTISEMENT
Transfer Wan-Bissaka yang berlarut-larut ini sebenarnya merupakan contoh terbaru dalam inkompetensi Ed Woodward dalam bergerak di bursa transfer. Mengapa Woodward? Ya, karena dialah sosok yang bertanggung jawab atas transfer United. Woodward bahkan sebelumnya sudah bersikeras bahwa jika United mendatangkan seorang direktur olahraga sekalipun, dialah yang tetap akan memimpin pergerakan di lantai bursa.
Dalam transfer Wan-Bissaka tersebut terlihat betul siapa yang punya posisi tawar dan itu bukan Woodward. Crystal Palace sama sekali tidak butuh uang sehingga harus menjual pemain andalannya. Mereka pun kemudian memiliki posisi tawar untuk 'memeras' Manchester United.
Ed Woodward (tengah), CEO Manchester United. Foto: FRANCK FIFE / AFP
Tidak perlu diragukan lagi seberapa besar potensi Wan-Bissaka. Pemuda 21 tahun itu musim lalu tampil 35 kali di Premier League dengan catatan 3,7 tekel, 2,4 intersep, dan 3,7 sapuan per laga.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, label harga 65 juta pounds yang disematkan Palace kepadanya tidaklah masuk akal. Sebagai perbandingan, Matthijs de Ligt saja harganya 'cuma' ada di kisaran 70 s/d 75 juta euro. Padahal, De Ligt sudah punya pengalaman di Liga Champions dan Timnas Belanda senior.
United diperas oleh Palace sehingga harus menyerahkan uang sedemikian banyak untuk mendapatkan Wan-Bissaka. Ini menunjukkan bahwa United tidak memiliki alternatif dan ketiadaan alternatif itu disebabkan oleh minimnya perencanaan. Alhasil, transfer pun jadi berlarut-larut. Negosiasi Wan-Bissaka ini menunjukkan setidaknya tiga masalah utama Manchester United dalam menjalankan aktivitas transfer.
Hal seperti ini sudah terjadi sejak pertama kali Woodward diberi kewenangan untuk mewakili United dalam bernegosiasi dengan klub lain mengenai transfer pemain. Kepindahan Marouane Fellaini yang memalukan itu tentu saja jadi contoh yang sampai saat ini masih menggambarkan bobroknya sistem rekrutmen Manchester United.
ADVERTISEMENT
Fellaini didatangkan pada menit-menit akhir bursa transfer musim panas 2013. Kala itu Sir Alex Ferguson dan David Gill baru saja meninggalkan klub. Sebagai gantinya, ada sosok David Moyes sebagai manajer dan Woodward sebagai CEO. Kombinasi Moyes-Woodward itulah yang kemudian berujung malapetaka.
Ekspresi Marouane Fellaini Foto: Boris Grdanoski/AP Photo
Minimnya perencanaan terlihat sekali di sana. Moyes memang melakukan perubahan dengan merombak staf kepelatihan, tetapi skuat peninggalan Ferguson yang sudah usang itu dia biarkan saja. Moyes seperti tidak tahu harus berbuat apa dan, sebagai kompensasinya, mendatangkan Fellaini yang merupakan pemain andalannya di Everton.
United sebenarnya berpeluang mendapatkan Fellaini sebelum tenggat transfer, tetapi entah karena alasan apa negosiasi itu molor. Fellaini pun akhirnya didatangkan dengan harga lebih mahal ketimbang harga aslinya. Di kemudian hari, pemain asal Belgia itu pun menjadi pesakitan karena selalu dilihat sebagai simbol kejatuhan Manchester United.
ADVERTISEMENT
Minimnya perencanaan itu kemudian terwujud pula dalam proses rekrutmen pelatih. Setelah Moyes dipecat dan Ryan Giggs menggantikannya sebagai pelatih interim dalam pekan-pekan terakhir musim 2013/14, United menunjuk Louis van Gaal, pelatih yang punya filosofi jauh berbeda dibanding Moyes.
Di bawah Van Gaal, United punya niat untuk memainkan sepak bola yang lebih modern dan atraktif. Mereka pun mendatangkan pemain-pemain yang sekiranya cocok untuk bermain di sistem Van Gaal seperti Angel Di Maria dan Bastian Schweinsteiger. Akan tetapi, Manchester United lupa bahwa Van Gaal sendiri sudah tidak seperti dulu.
Van Gaal yang ditunjuk untuk menangani United itu adalah Van Gaal yang membawa Belanda jadi juara ketiga di Piala Dunia 2014 dengan permainan pragmatis. Namun, United justru menginginkan hal sebaliknya dari sang meneer. Alhasil, semuanya gagal total. United pun memainkan sepak bola yang menjemukan dengan maraknya umpan ke arah samping dan belakang.
ADVERTISEMENT
Van Gaal akhirnya memutuskan pensiun. Foto: Jordan Mansfield/Getty Images
Setelah itu Van Gaal dipecat dan digantikan oleh Jose Mourinho. Artinya, perubahan filosofi kembali terjadi. United yang didesain untuk bermain dengan basis penguasaan bola mendapatkan pelatih yang cuma tahu bagaimana caranya tidak kalah dan, syukur-syukur, menang.
Di sini pun United memilih untuk mendatangkan pemain-pemain yang sekiranya cocok dengan gaya main Mourinho seperti Nemanja Matic. Sampai pada titik itu, skuat United merupakan gabungan dari pemain-pemain Ferguson yang sudah layak buang, pemain-pemain Van Gaal yang gagal, dan pemain-pemain Mourinho. Jangan heran kalau United kemudian menjadi bahan olok-olokan.
Bagi Manchester United, merencanakan sesuatu seharusnya tidak perlu menjadi hal yang sulit. Mereka punya sumber daya (baca: uang) untuk merekrut seorang direktur olahraga (yang wajib diberi kewenangan besar) dan pelatih yang mampu membangun tim dengan baik. Namun, karena kebebalannya sendiri, semua ini jadi terlihat mustahil bagi mereka.
ADVERTISEMENT
Dari sinilah segala masalah berpangkal. Akibatnya pun bisa dirasakan di mana-mana. United menjadi sasaran pemerasan dan salah satu cara untuk melambungkan harga pemain adalah dengan membocorkan rencana transfer ke media. Ketika seorang pemain sudah dikaitkan dengan United, harganya pun melambung, seperti Wan-Bissaka sendiri atau Harry Maguire. Akibatnya, United harus merogoh kocek dalam-dalam untuk merampungkan pembelian.
Buruknya rencana itu juga terwujud dalam memilih pemain mana yang dipertahankan dan mana yang tidak. Keputusan United memperpanjang kontrak Chris Smalling dan Phil Jones bisa jadi contoh. Keputusan itu bisa dilihat sebagai tindakan preventif seandainya pemain incaran gagal didapat. Akan tetapi, langkah itu juga menyakiti United sendiri.
Chris Smalling, (masih) bek andalan Manchester United. Foto: Action Images via Reuters/Andrew Couldridge
Mengapa United tidak jual saja Jones dan Smalling? Mereka memang tidak cukup bagus untuk United tetapi tentu masih banyak klub Premier League yang bakal senang mendapatkan mereka. Uang hasil penjualan bisa digunakan untuk menutup biaya perekrutan pemain baru yang lebih berkualitas. Ini adalah praktik umum yang entah bagaimana tidak bisa dilakukan oleh The Red Devils.
ADVERTISEMENT
Kemudian, bicara perpanjangan kontrak, kasus Ander Herrera dan David de Gea juga bisa jadi contoh lain. Akibat buruknya perencanaan, Herrera dan De Gea melihat bahwa United bukan lagi tempat yang cocok untuk memburu gelar. Tak heran jika Herrera memutuskan untuk hengkang dan De Gea tak kunjung mau memperpanjang kontrak yang tinggal setahun itu.
Ada efek berkepanjangan yang muncul dari perencanaan yang buruk dan Manchester United kini tengah mengalaminya. Kini, mereka memang disebut-sebut tengah berupaya memulai segalanya dari nol. Dalam transfer James dan Wan-Bissaka ada benang merah yang bisa ditarik. Yakni, bahwa pelatih Ole Gunnar Solskjaer ingin membangun tim berisikan pemain muda Britania.
Langkah Solskjaer itu layak diapresiasi, tentu saja. Setidaknya, dia punya ide jelas. Namun, ide itu takkan berarti apa-apa tanpa eksekusi yang tepat. Manchester United sendiri masih membutuhkan tambahan kekuatan di pos bek tengah, gelandang tengah, dan sayap kanan. Jika transfer Wan-Bissaka saja bisa berlangsung berlarut-larut, jangan harap perombakan skuat United bakal kelar dalam waktu dekat.
ADVERTISEMENT