Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Panchina d'Oro, Penghargaan yang Tak Melulu Mendewakan Hasil
13 Juni 2017 15:20 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
"Mereka masih memanggil saya 'Mister'. Mister Panico," kata Patrizia Panico dalam sebuah wawancara dengan BBC. Panico, tentu saja, adalah seorang perempuan.
ADVERTISEMENT
Kini, Panico adalah pelatih Tim Nasional U-16 Italia. Setelah berkarier selama 23 tahun di level klub dan 20 tahun bersama Timnas Perempuan Italia, Panico memutuskan untuk pensiun pada 2016 lalu. Baru tahun ini dia mulai menangani Timnas U-16 dan menjadi perempuan pertama di Italia yang melatih tim laki-laki.
Sapaan "Mister" untuk Panico itu memang agak kurang sedap didengar. Akan tetapi, sebutan itu memang sudah telanjur identik dengan calcio. Siapa saja yang melatih sebuah tim, maka dia akan dipanggil "Mister".
Hal ini bisa dilacak dari awal keberadaan sepak bola di Italia. Olahraga satu ini memang datang ke negeri semenanjung itu dengan dibawa oleh orang-orang Inggris. Mereka yang dulu melatih orang-orang Italia pun secara otomatis orang-orang Inggris juga dan itulah mengapa, sapaan "Mister" ini kemudian jadi mendarah daging.
ADVERTISEMENT
Sapaan "Mister" ini sendiri sebenarnya merupakan sebuah bentuk penghormatan. Ia digunakan untuk menunjukkan perbedaan kelas antara si pemanggil dan orang yang dipanggil. Dia yang dipanggil dengan sebutan ini secara otomatis merupakan sosok yang dituakan, dihormati, dan dipatuhi.
Di Italia sana, ada sebuah penghargaan yang merupakan sebuah bentuk penghormatan bagi para pelatih terbaik. Namanya Panchina d'Oro alias Bangku Emas.
Ide awalnya datang dari Massimo Moratti yang pada musim 1990/91 mengepalai Sektor Teknik Federasi Sepak Bola Italia (FIGC). Moratti ingin memberi penghargaan kepada para pelatih terbaik di Eropa dan mereka yang punya wewenang untuk menentukan pemenang adalah para jurnalis. Namun, format ini hanya bertahan dua tahun di mana Raymond Goethals (Belgia/Olympique Marseille) dan Fabio Capello (Italia/Milan) jadi pemenang pada musim 1990/91 dan 1991/92.
ADVERTISEMENT
Setelah absen memberi penghargaan pada 1992/93, Panchina d'Oro hadir kembali pada 1993/94 dengan format baru. Sampai pada musim 2005/06, penghargaan Panchina d'Oro ini diperuntukkan bagi para pelatih terbaik dari Serie A maupun Serie B. Baru mulai 2006/07 hingga sekarang, penghargaan ini hanya diperuntukkan bagi pelatih Serie A saja. Selain itu, mereka yang berhak memilih pemenang adalah sesama pelatih saja.
Jika kita melihat siapa-siapa yang pernah menjadi pemenang penghargaan Panchina d'Oro ini, ada satu tren yang langsung terlihat: Tidak semua pelatih yang memenangi penghargaan ini adalah pelatih yang membawa timnya menjadi juara. Contoh paling mutakhir tentunya Maurizio Sarri yang pada Maret 2017 lalu menerima penghargaan atas prestasinya di musim 2015/16.
Pada musim tersebut, Sarri yang baru saja ditunjuk menjadi pelatih Napoli berhasil finis di urutan kedua klasemen akhir Serie A. Lebih dari itu, gaya bermain timnya yang atraktif dan ofensif menjadi nilai plus tersendiri bagi mantan juru taktik Empoli ini. Gaya Sarri dianggap segar dan berbeda oleh para kolega yang memilihnya.
ADVERTISEMENT
Selain Sarri, Massimiliano Allegri pun pernah menerima penghargaan ini ketika membesut tim non-juara, yakni pada 2010 silam untuk prestasinya bersama Cagliari. Ketika itu, Allegri berhasil membawa Cagliari mengakhiri musim di peringkat kesembilan. Padahal, sebelumnya tim asal Sardinia itu merupakan langganan papan bawah. Prestasi di Cagliari itulah yang akhirnya membawa Allegri ke Milan.
Lalu, ada pula nama Francesco Guidolin yang mendapat Panchina d'Oro atas prestasinya bersama Udinese pada 2010/11. Sosok yang gagal di Swansea City ini pada waktu itu berhasil mengantarkan Udinese kembali ke Liga Champions sejak 2004/05. Istimewanya, sosok yang mengantarkan Udinese ke Liga Champions pada musim 2004/05 itu, Luciano Spalletti, juga diganjar Panchina d'Oro untuk pencapaiannya.
Total, dari 23 kali penghargaan ini diberikan untuk pelatih-pelatih di Italia saja, 11 di antaranya jatuh kepada sosok pelatih non-juara. Hal ini, secara tidak langsung, juga merupakan bentuk kritik balik dari para pelatih itu kepada publik yang begitu mendewakan hasil. Adapun, penghargaan untuk pelatih yang timnya meraih posisi terendah adalah penghargaan untuk Alberto Cavasin pada tahun 2000 silam.
ADVERTISEMENT
Ketika itu, Cavasin diganjar Panchina d'Oro untuk prestasinya menyelamatkan Lecce dari degradasi serta mempromosikan pemain-pemain muda macam Mirko Vucinic, Cristiano Lucarelli, dan Javier Chevanton. Pada musim 1999/2000, Cavasin mengantarkan Lecce finis di urutan ke-13. Perlu dicatat bahwa saat itu Serie A terdiri dari 18 klub dan empat klub terbawah akan terdegradasi ke Serie B.
[Baca Juga: Spalletti dan Hal-hal yang Bisa Dibawanya ke Inter ]
Gengsi dari penghargaan Panchina d'Oro ini memang tinggi, mengingat para pelatih sendirilah yang berwenang untuk menentukan pilihan. Jika menang, seorang pelatih tidak akan hanya mendapat penghargaan tetapi juga mendapat pengakuan tersendiri dari para koleganya.
Selain Cavasin dan dua one hit wonder lain, Luigi Delneri (Chievo) dan Luigi Simoni (Inter), para pemenang Panchina d'Oro biasanya memiliki karier yang panjang dan sukses. Spalletti, misalnya, meski tak pernah menjadi juara Serie A, pernah berjaya di tanah Rusia bersama Zenit St. Petersburg. Kemudian, ada pula Cesare Prandelli yang mampu membawa Italia ke final Euro 2012.
ADVERTISEMENT
Setiap tahun, biasanya pada musim semi, para pelatih di Italia berkumpul di Coverciano untuk memberi penghargaan pada kolega mereka yang terbaik. Jika kita menganggap tempat itu sebagai sebuah universitas, maka Panchina d'Oro ini bisa dilihat sebagai gelar honoris causa yang diberikan pada tokoh-tokoh terbaik di dunia kepelatihan.
Hmm, lalu jika melihat bagaimana Serie A musim lalu, kira-kira siapa yang bakal memenangi Panchina d'Oro berikutnya? Allegri lagi? Sarri lagi? Spalletti lagi? Atau kini justru giliran Simone Inzaghi?