Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Belum sempat Sekretaris Jenderal PSSI Ratu Tisha Destria membacakan tata tertib pemilihan ketua umum PSSI periode 2019-2023 lima menit setelah kongres dibuka, keributan pecah di dalam Ballroom Hotel Shangri-La, Jakarta Pusat, Sabtu (2/11/2019). Sambil membawa map berwarna cokelat, Fary Djemy Francis, Vijaya Fitriasa, dan Yesayas Oktavianus, berupaya mendekati delegasi FIFA dan AFC yang duduk di kursi kehormatan.
Langkah tiga calon ketua umum PSSI itu terhenti tatkala beberapa petugas keamanan kongres menghalangi. Ketiganya bersikukuh ingin memberikan map berisi surat yang menerangkan bahwa Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI dengan agenda pemilihan ketua umum, wakil ketua umum, dan anggota komite eksekutif (Exco) melanggar Statuta PSSI.
Sementara petugas menghalangi ketiganya, caketum PSSI lainnya, Benny Erwin, Sarman El Hakim, dan Aven Hinelo juga berusaha mendekati delegasi FIFA dan AFC. Langkah mereka juga kandas di tangan petugas keamanan.
Situasi memanas. Fary dan Yesayas yang tersulut emosi sempat adu dorong dengan petugas keamanan. Melihat keadaan yang tidak kondusif, Tisha, dari meja pimpinan, mengusir calon ketua umum yang tidak bisa menerima agenda kongres. Para voters yang berjumlah 86 orang—terdiri dari terdiri dari 34 Asosiasi Provinsi (Asprov) PSSI, 18 klub Liga 1, 16 tim Liga 2, 16 tim Liga 3, Asosiasi Futsal Indonesia dan Asosiasi Sepak Bola Wanita—mengamini ucapan Tisha dan meminta enam kandidat itu untuk keluar.
“Apabila para kandidat tidak dapat duduk maka dipersilakan untuk meninggalkan ruangan,” kata Tisha. “Keluarin aja itu, kita harus tegas. Bikin ribut saja!” teriak Manajer Persib Bandung, Umuh Muchtar, menyambut peringatan Tisha.
Petugas keamanan lantas menggiring Fary, Vijaya, dan Yesayas keluar arena kongres. Benny, Sarman, dan Aven juga diusir keluar ruangan. Yesayas menuding KLB telah diatur untuk memenangkan salah satu calon. Kecurigaan Yesayas bertambah setelah KLB PSSI digelar secara tertutup, tak ada satu pun media yang diizinkan meliput suasana di dalam ruangan kongres.
“Ada petugas keamanan yang mengambil posisi sekitar 10 orang di samping kami. Ini ada apa? Tiga tahun lalu kongres bersih dan steril dari security,” ucapnya.
Vijaya, yang juga pemilik klub Liga 2 Persis Solo, menjelaskan bahwa sebenarnya keenam caketum tidak ingin walk out. Akan tetapi setelah mendengar usiran dari Tisha, mereka kompak untuk meninggalkan ruangan. “Security meminta keluar, saya juga ditarik keluar.”
“Apa gunanya kita di dalam karena suara kita sudah tidak didengar, aspirasi kita tidak didengar? PSSI bersikap seperti yang kita duga,” imbuhnya.
Seorang sumber kumparan menjelaskan, skema chaos memang sudah disiapkan oleh Vijaya dan kawan-kawan beberapa hari sebelum kongres. Mereka, sembilan caketum PSSI yang kecewa terhadap proses kongres dan tergabung dalam kelompok bernama PSSI Baru, menilai KLB 2019 banyak kejanggalan. Adapun aksi chaos tersebut bertujuan mendelegitimasi KLB agar perwakilan FIFA dan AFC walk out dan memberikan catatan terhadap KLB PSSI.
“Kalau misalnya FIFA dan AFC enggak walk out mereka akan terus ribut sampai (FIFA) walk out,” ujar sumber tersebut. “Setelah FIFA dan AFC walk out, baru mereka juga akan walk out.”
Sumber tersebut menjelaskan apabila FIFA dan AFC walk out, maka siapapun ketua umum terpilih dinilai tidak sah karena tidak disaksikan langsung oleh delegasi FIFA dan AFC. Hal itu bisa menjadi dasar untuk menggugat kepengurusan baru PSSI periode 2019-2023. Tapi sayang, skema tersebut tak berjalan sesuai rencana karena perwakilan FIFA dan AFC tak meninggalkan ruangan.
Dalam konferensi pers di FX Sudirman, Jakarta Pusat, Jumat (1/11), Fary bersama delapan caketum lainnya menyatakan beberapa poin yang menjadi keresahan. Mereka mengeluhkan ketiadaan tata cara pemilihan saat proses KLB dan tidak adanya medium antara calon Ketua Umum dengan para voters untuk menyampaikan visi misi.
Merujuk jadwal yang sudah dibuat Komite Pemilihan KLB pimpinan Syarif Bastaman, dua hari sebelum KLB seharusnya diadakan debat terbuka antara calon Ketum PSSI yang dilakukan di hadapan voters dan disaksikan masyarakat lewat stasiun televisi nasional. Akan tetapi agenda tersebut dibatalkan.
Anggota Komite Pemilihan Mahfudin Nigara berdalih bahwa pembatalan debat didasari naiknya tensi jelang kongres. Dua calon ketum lainnya yakni Bernhard Limbong dan La Nyalla Mattaliti disebut bertanggung jawab atas naiknya tensi itu. Sebab keduanya menyatakan keberatan atas kongres yang diselenggarakan pada 2 November tersebut.
Bernhard dan La Nyalla juga menyebut kongres cacat hukum dan tidak sesuai dengan arahan FIFA. La Nyalla berkeyakinan bahwa FIFA meminta kongres digelar pada 20 Januari 2020, bertepatan dengan purnatugas pengurus PSSI periode 2016-2019. Namun, PSSI membantah keyakinan La Nyalla itu.
Pada akhirnya, La Nyalla memilih menarik diri dari pencalonan sebagai caketum PSSI dan tidak menghadiri kongres. Sementara Bernhard mengundurkan diri sesaat sebelum kongres dibuka dengan alasan sibuk.
Kejanggalan rangkaian KLB juga terlihat dengan ditiadakannya rapat komite eksekutif sehari sebelum kongres. Semestinya, rapat tersebut berlangsung dengan agenda konsolidasi sebelum KLB dilakukan. Acara gala dinner yang seharusnya menjadi agenda rutin interaksi antara calon kandidat dan voters juga tidak ada. Padahal baik pada KLB maupun Kongres Biasa (KB) sebelumnya, dua agenda tersebut selalu ada.
Dengan mundurnya delapan caketum, praktis pertarungan memperebutkan kursi Ketum PSSI hanya menyisakan Komisaris Jenderal Polisi Mochamad Iriawan alias Iwan Bule , Mantan Manajer Pelita Jaya Rahim Soekasah, dan CEO perusahan media Nine Sport Inc. Arif Putra Wicaksono.
Mundurnya delapan orang tersebut menguntungkan Iwan Bule, selaku calon terkuat dalam pemilihan Ketum PSSI tahun ini. Sebab pesaingnya semakin sedikit. Alhasil saat penghitungan suara dilakukan, Iwan Bule menang mutlak setelah memperoleh 82 suara dari 86 voters.
Sementara itu tiga voters abstain dan satu lainnya, yakni Persis Solo, tidak mengikuti kongres karena walk out. Dengan hasil tersebut, Iwan Bule menjadi Ketua Umum PSSI pertama dalam sejarah yang mendapatkan kemenangan mutlak mencapai angka 100 persen. Sepanjang sejarah PSSI, belum pernah ada Ketum terpilih yang mampu meraup suara lebih dari 90 persen.
Saat KLB tahun 2016, Eddy Rahmayadi mendapatkan 76 suara berbanding 23 suara untuk Moeldoko. Tahun 2015, La Nyalla Mattaliti menang dengan skor 92 berbanding 15 suara; tahun 2011, Djohar Arifin Hussein terpilih dengan skor 60 berbanding 38 suara; tahun 2003, Nurdin Halid menang dengan skor 183 berbanding 167 suara.
Kemenangan mutlak Iwan Bule tak lepas dari lihainya konsolidasi jenderal berbintang tiga itu ke berbagai voters di beberapa daerah. Sejak mendaftar menjadi Caketum PSSI, Iwan Bule tercatat melakukan roadshow menyampaikan visi misi ke empat provinsi besar yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Pada pertengahan Agustus 2019, melalui akun Instagram resminya, Iwan Bule mengumumkan sebanyak 61 voters telah memberikan dukungan kepadanya. Rinciannya, 12 klub Liga 1, 13 klub Liga 2, 7 klub Liga 3, dan 28 Asosiasi Provinsi (Asprov), dan satu voters dari Asosiasi Sepak Bola Wanita.
Dalam perjalanannya, Iwan Bule menggaet tim K-85 sebagai tim pemenangan. Tim K-85 merupakan kumpulan voters yang memperjuangkan terpilihnya Edy Rahmayadi menjadi Ketum PSSI pada tahun 2016. K-85 ini diduplikasi menjadi tim sukses Iwan Bule yang sekitar 80 persen komposisinya sama seperti saat memenangkan Edy Rahmayadi.
Ada dua wilayah yang menjadi penyumbang voters terbanyak yakni dari Sumatera dan Jawa Timur. Pada awal September 2019, Iwan Bule mendeklarasikan mendapatkan 20 voters se-Sumatera.
Jalan Iwan Bule menjadi Ketua Umum PSSI mulai menemui jalan terjal ketika La Nyalla Mattaliti kembali mencalonkan sebagai Caketum PSSI di detik-detik akhir pendaftaran. La Nyalla merupakan Ketum PSSI periode 2015-2019. Akan tetapi baru tiga bulan menjabat, PSSI di bawah kepemimpinannya dibekukan FIFA karena terjadi perseteruan antara PSSI dengan Pemerintah—dalam hal ini Kemenpora.
Ketua DPD RI itu disebut masih memiliki pengaruh besar dan loyalis voters terutama dari Jawa Timur yang satu suara mendukungnya pada pemilihan Ketum PSSI periode 2015. Sejak masuknya La Nyalla, kubu Iwan Bule disebut mulai gentar karena peta suara voters sedikit berubah.
Wakil Ketua Umum PSSI terpilih Mayjen Cucu Sumantri yang sejak awal menjadi pasangan Iwan Bule secara tidak langsung mengakui hadirnya orang baru seperti La Nyalla mengubah peta voters. “Ya, bisa saja kalau dia bisa memengaruhi. Menarik visi-misinya, pendekatan pada voters ‘kan mereka lihat,” kata Cucu kepada kumparan, di sela-sela kongres, di Hotel Shangri-La, Sabtu (2/11).
Aroma skema paket ketua umum dan wakil ketua umum yang telah dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum kongres pun menyeruak ke permukaan. Tiga sumber kumparan yang mengetahui skema tersebut menjelaskan bahwa paket Ketua Umum PSSI Iwan Bule dan Wakil Ketua Umum Cucu Sumantri dan Iwan Budianto memang sudah dipersiapkan sejak empat bulan sebelum kongres.
Cucu Sumantri sendiri pernah menjadi pembina klub PSDS Deli Serdang dan PSMS Medan ketika menjabat sebagai Pangdam 1 Bukit Barisan. Kini Cucu menjabat Tenaga Ahli Pengkaji Bidang Geografi Lemhanas, di mana Iwan Bule juga menjabat di sana sebagai Sekretaris Utama. Sementara Iwan Budianto dipilih karena dianggap memiliki jaringan voters yang besar sekaligus pencetus tim K-85.
Sama halnya dengan Iwan Bule, Cucu dan Iwan Budianto juga mendapatkan suara mutlak. Cucu menjadi Wakil Ketua Umum I dengan perolehan 81 suara. Sementara Iwan Budianto menyusul di belakangnya dengan raihan 74 suara. Sementara delapan suara lainnya menjadi milik lima calon berbeda dan dua suara lainnya tidak sah.
Sejak paket tersebut dibentuk, Iwan Bule dan Cucu seringkali pergi bersama ketika melakukan sosialisasi visi-misi ke beberapa daerah seperti Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Adapun Cucu dan Iwan Budianto pernah bersosialisasi bersama ketika mengumpulkan voters Indonesia Timur di Jakarta.
Meskipun tidak pernah secara langsung bersosialisasi bertiga, Iwan Budianto dan timnya juga mensosialisasikan paket tersebut ke berbagai voters. Ketua Umum Asprov Sulawesi Selatan Andi Erwin Hatta menyebut bahwa paket tersebut sudah disiapkan sejak empat bulan terakhir. Ia juga hadir ketika Iwan Budianto dan Cucu bersosialisasi di Jakarta.
General Manager Arema FC, Rudi Widodo, juga mengamini bahwa paket tersebut memang benar ada. “Sepertinya begitu (paket), ya. (Sudah) lama, ya, mungkin pertengahan tahun (dibentuknya),” ujarnya kepada kumparan, Sabtu (2/11).
Namun, Iwan Bule membantah bahwa dirinya telah menyiapkan paket ketua dan wakil ketua umum PSSI kepada voters. Menurutnya hasil mutlak ini karena dirinya sudah mensosialisasikan program sejak jauh-jauh hari. Lagipula, menurut Iwan Bule, keputusan akhir adalah hak sepenuhnya dari voters.
“Yang milih ‘kan voters, bagaimana mau dipaket-paket?” kata Iwan Bule kepada kumparan setelah KLB berlangsung. “Kalau mereka memilih saya (karena) ada chemistry, hubungan emosional. Saya bilang ke mereka kalau you percaya sama saya silakan pilih, kalau enggak juga enggak apa-apa. Mungkin mereka melihat saya serius.”
Senada, Cucu dan Iwan Budianto juga membantah bahwa ada paket yang telah disiapkan. “Enggak ada. ‘Kan itu prosesnya sendiri-sendiri, ketua dipilih sendiri, wakil ketua dipilih sendiri, Exco sendiri,” ujar Iwan Budianto yang juga mantan CEO Arema FC tersebut.
Terpilihnya kembali Iwan Budianto menjadi pengurus PSSI juga menuai sorotan. Iwan Budianto merupakan orang lama di PSSI. Terakhir, dia menjabat sebagai Plt. Ketua Umum PSSI setelah Joko Driyono dijebloskan ke penjara akibat kasus perusakan barang bukti pengaturan pertandingan.
Iwan Budianto memang sudah bertahun-tahun berkecimpung di sepak bola nasional. Ia memulai petualangannya sebagai manajer PS Arema pada Ligina tahun 1998-1999. Di tahun yang sama ia dirayu oleh mertuanya untuk menjadi manajer Persik Kediri. Selama menjadi manajer Persik, Iwan Budianto tercatat memberikan beberapa gelar liga untuk tim ‘Macan Putih’.
Bersama Iwan Budianto, Persik menjuarai Liga Indonesia tahun 2006 setelah mengandaskan PSIS Semarang di Stadion Manahan, Solo. Karier Iwan Budianto di kepengurusan PSSI sendiri menuai pro dan kontra. Terakhir, Iwan dilaporkan ke Satgas Anti Mafia Bola dengan tuduhan meminta uang setoran Rp 140 juta ke Perseba Bangkalan agar bisa jadi tuan rumah 8 besar Piala Soeratin 2009.
Iwan Budianto dilaporkan oleh mantan manajer tim Perseba Bangkalan, Imron Abdul Fattah, pada awal Januari 2019. Pada 2009, Iwan Budianto menjabat sebagai Ketua Badan Liga Amatir Indonesia (BLAI). Saat ini, kasus tersebut masih dalam proses penyidikan.
Sederet permasalahan dan stigma buruk itu membuat Iwan Budianto menjadi sorotan ketika terpilih kembali menjadi Wakil Ketua Umum PSSI. Hal itu pula yang menjadikan voters belum satu suara untuk memilih Iwan Budianto.
Akan tetapi hal itu berubah ketika Iwan Budianto membacakan laporan keuangan PSSI Periode 2016-2019. Dalam pembacaan laporan itu, ia mengungkapkan bahwa kepengurusan PSSI saat ini meninggalkan kas sebesar Rp 30 miliar. Pembacaan laporan keuangan ini merupakan kali pertama dilakukan. Pada kongres sebelumnya, PSSI tidak pernah sama sekali membacakan laporan keuangan.
Mendengar laporan keuangan tersebut, para voters di dalam arena kongres langsung berkonsolidasi dan saling meyakinkan satu sama lain untuk memilih Iwan Budianto sebagai wakil ketua umum. Mereka menilai, Iwan Budianto sudah memiliki iktikad baik dalam kepengurusannya di PSSI.
Ketua Asprov Jawa Tengah Edy Sayudi menilai bahwa langkah Iwan Budianto membacakan laporan keuangan PSSI merupakan hal positif. Menurutnya, dengan kemajuan teknologi hari ini, siapapun yang mengambil langkah tanpa mengedepankan transparansi akan menjadi masalah.
“Artinya, ketika dia paham dengan itu, menurut saya dengan waktu dua tahun, Pak Iwan Budianto sudah melangkah yang positif,” kata Edy kepada kumparan, Sabtu (2/11).
Edy juga menilai selama memimpin PSSI, Iwan Budianto juga memiliki catatan apik. Soal kasus hukum yang menjeratnya, Edy tidak ingin ambil pusing dan menyerahkan seluruhnya ke pihak penegak hukum.
“Itu ‘kan proses. Biarkan hukum itu proses, biarkan aja. Toh nanti ‘kan semua akan ada yang dibuktikan. Kalau kena, ya, sudah, dia tanggung jawabnya sendiri. Tapi, yang kita lihat ‘kan ada kemauan untuk melakukan transparansi,” imbuhnya.
Setelah melalui drama panjang bernama Kongres Luar Biasa PSSI, kepengurusan PSSI memasuki babak baru. Senyum semringah Iwan Bule dan kepalan tangan bersama dua wakil ketua umum serta 12 anggota komite eksekutif menutup rangkaian melelahkan drama ini.
Di akhir kongres, dengan jargon ‘PSSI Jaya’, mereka semua mengemban amanat jutaan pecinta sepak bola Indonesia.