Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Terpujilah Marcello Lippi dan Segala Warisannya
15 Juni 2017 12:56 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
"Maaf, Diego, tetapi kamu tidak masuk rencanaku untuk musim depan." - Antonio Conte
ADVERTISEMENT
Diego Costa baru saja menjalani salah satu musim terbaiknya sebagai pesepak bola. 20 gol dan tujuh assist yang dikemasnya sepanjang musim 2016/17 punya kontribusi yang tak kecil bagi keberhasilan Chelsea menjuarai Premier League. Secara matematis saja, hampir sepertiga gol The Blues pada musim lalu lahir berkat kontribusi penyerang berpaspor Spanyol itu.
Antonio Conte bukannya tidak paham atau tidak mau tahu soal itu. Bagaimana mungkin sang gaffer bisa menafikan kontribusi yang demikian hebat? Namun, ketika Conte sudah mengatakan bahwa musim depan tidak ada nama Diego Costa di dalam rencananya, artinya memang tidak ada nama Diego Costa di dalam rencananya. Conte menganggap bahwa apa yang bisa dilakukan Diego Costa sudah mentok dan manajer asal Italia itu menginginkan sosok yang lebih, atau lain, dari Costa.
ADVERTISEMENT
Apakah dengan begini artinya Conte adalah sosok yang tidak tahu terima kasih? Belum tentu. Akan tetapi, baginya tim memang berada di atas segalanya. Tidak ada sosok yang lebih besar daripada sebuah tim dan semua orang pasti tergantikan.
Dari Inggris, mari kita beralih ke Spanyol.
Jelang final Liga Champions 2017 lalu, pelatih Real Madrid, Zinedine Zidane, membuat satu keputusan yang cukup mengejutkan. Dalam daftar pemain yang dibawanya ke Cardiff, tidak ada nama James Rodriguez. Padahal, gelandang serang asal Kolombia ini tidak mengalami masalah apa-apa.
Sebagai catatan, James memang bukan pemain inti di Real Madrid. Keberadaan Toni Kroos dan Luka Modric di lini tengah serta kebangkitan Isco Alarcon membuat mantan penggawan Porto dan Monaco itu harus rela menjadi pemanas bangku cadangan.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, ketika diberi kepercayaan, James selalu mampu tampil apik. Gambarannya begini. Dari 17 kali tampil sebagai starter di La Liga dan Liga Champions, dia mampu membukukan delapan gol dan delapan assist. Ini belum termasuk tiga golnya hanya dari satu laga di Copa del Rey. Hanya Real Madrid klub yang punya pemain pelapis sekelas James.
Lalu, apa sebenarnya yang dipikirkan Zidane? Mengapa dia lebih memilih untuk membawa Gareth Bale yang kondisinya belum benar-benar fit serta putranya sendiri, Enzo Fernandez, yang belum teruji? Entah. Tetapi, indikasinya jelas: James kemungkinan besar bakal didepak oleh Zizou karena kontribusinya dirasa sudah mentok.
Apa yang dilakukan Conte dan Zidane ini tidak datang dengan sendirinya. Pasalnya, ketika masih aktif bermain dulu, mereka berdua melihat dengan mata kepala mereka sendiri bagaimana pelatih mereka memperlakukan beberapa pemain bintang dengan cara serupa. Nama pelatih itu Marcello Lippi.
ADVERTISEMENT
Lahir di Viareggio, sebuah kota di pelataran Laut Tirenia, 12 April 1948, kapabilitas Lippi sebagai seorang pelatih sudah tidak bisa diragukan lagi. Jika trofi boleh (dan memang sudah selayaknya) dijadikan patokan, maka lima scudetti, satu gelar Liga Champions, dan satu trofi Piala Dunia seharusnya sudah cukup untuk menjelaskan seperti apa Lippi sebagai pelatih.
Sebagai pemain, Lippi banyak menghabiskan karier profesionalnya bersama Sampdoria. Bersama klub dari kota Genoa itu, Lippi sebenarnya mampu tampil sebagai salah satu pemain paling diandalkan pada kurun waktu 1969-1979. Hanya saja, Lippi si pemain memang tidak pernah cukup bagus untuk memperkuat Tim Nasional Italia di level senior. Hanya dua kali Lippi mengenakan seragam Gli Azzurri untuk level U-23.
ADVERTISEMENT
Jika menilik nama Mister Lippi sekarang pun, sulit untuk mengira bahwa awal karier kepelatihan pria berambut perak ini kerap berakhir dengan kegagalan. Setelah melatih tim junior Sampdoria pada 1982-1985, Lippi mencoba peruntungannya di klub-klub divisi bawah Italia seperti Siena, Pistoiese, dan Lucchese.
Nama Lippi sebagai pelatih baru benar-benar terdengar nyaring saat dia dipercaya untuk menangani Napoli untuk musim 1993/94. Kala itu, Partenopei masih kesulitan untuk melepas bayang-bayang Diego Maradona dan prestasinya kian melorot sejak memenangi scudetto musim 1989/90. Lippi kala itu ditunjuk untuk menggantikan Ottavio Bianchi yang gagal di era kepelatihan keduanya.
Di akhir musim 1993/94 itu, Lippi sukses mengantarkan Napoli kembali ke Piala UEFA. Namun, bukan itu kesuksesan sang mister yang sesungguhnya karena setelah musim berakhir, hadiah sesungguhnya berupa telepon dari Vittorio Chiusano baru datang.
ADVERTISEMENT
Chiusano adalah presiden Juventus yang ketika itu sedang benar-benar putus asa. Bagaimana tidak? Di bawah kendalinya, "Si Nyonya Tua" sedang mengalami packelik gelar terburuk sejak Perang Dunia II. Sejak Giovanni Trapattoni mundur pada 1986 untuk digantikan Rino Marchesi, Juventus mengalami penurunan. Bahkan, Trapattoni yang akhirnya kembali pada tahun 1991-1994 pun gagal mengangkat kembali muruah Sang Nyonya.
Pada musim 1994/95, Lippi datang, dan sisanya adalah sejarah. Juventus kembali mampu menegaskan dominasi domestiknya. Selain itu, mereka pun mampu menjadi kekuatan yang ditakuti di Eropa dengan penampilan yang luar biasa konsisten di Liga Champions. Pendek kata, Lippi adalah sosok yang membuat Juventus menjadi Juventus kembali.
Lalu, apa yang membuat Lippi menjadi sosok yang tepat untuk Juventus?
ADVERTISEMENT
Jawabannya adalah segalanya.
Sir Alex Ferguson suatu kali pernah berkata bahwa dia ingin agar tim Manchester United-nya bermain seperti Juventus-nya Lippi. "Jangan lihat taktik atau tekniknya," kata Sir Alex. "Tetapi lihat bagaimana hasrat mereka untuk meraih kemenangan."
Usia Sir Alex tujuh tahun lebih tua dibanding Lippi. Namun baginya, Lippi (bersama Ottmar Hitzfeld) adalah sosok yang benar-benar diidolainya. Di sepanjang dekade 1990-an, Fergie benar-benar ingin menjadi seperti Lippi. Saking kagumnya, Fergie suatu kali pernah bertutur begini: "Waktu itu saya sedang di Turin dan Signor Lippi sedang duduk di bangku cadangan. Dia mengenakan mantel kulit dan mengisap cerutu kecil dengan begitu tenang. Sedangkan saya tampak seperti seorang buruh yang megap-megap kehujanan."
ADVERTISEMENT
Ya, segalanya. Lippi memang punya segalanya untuk menjadi pasangan sejati Sang Nyonya. Hasrat untuk menang, kecerdasan, kekejaman, dan seperti yang Fergie tuturkan, keanggunan.
Ketika masih bermain, Lippi adalah seorang libero. Gaya bermainnya mirip-mirip dengan Gaetano Scirea dan Franco Baresi yang selalu melakukan segala-galanya dengan terukur lagi anggun. Secara natural, keanggunan itu memang sudah ada dalam diri Lippi. Namun, itu hanyalah sebuah faktor X yang secara kebetulan membuat dirinya benar-benar serasi dengan klub macam Juventus.
Selain itu, ada hal-hal yang benar-benar membuatnya memang layak untuk dilabeli sebagai salah satu pelatih sepak bola terbaik dan paling berpengaruh sepanjang masa, yakni hasrat, kecerdasan, serta kekejamannya tadi. Itulah yang selalu dibawanya ke mana pun, termasuk ke Timnas Italia saat menjadi juara dunia pada 2006 lalu.
ADVERTISEMENT
Lippi adalah orang yang tak pernah berhenti mengamati dan sangat doyan melatih. Setelah Juventus mengalahkan River Plate pada perebutan Piala Interkontinental tahun 1996 silam, Lippi pernah berujar bahwa dia tidak suka melakukan selebrasi. Alih-alih selebrasi, dia lebih suka mempersiapkan tim untuk laga final.
Mentalitas Lippi ini memang sangat, sangat dipengaruhi oleh spirit dari Coverciano di mana segalanya merupakan persiapan untuk menatap masa depan. Renzo Ulivieri, kepada Scuola Allenatori di Centro Tecnico Coverciano, selalu menegaskan bahwa satu-satunya yang konstan dalam sepak bola adalah perubahan dan satu-satunya cara untuk menghadapi itu adalah dengan memprediksi serta beradaptasi.
Lippi adalah ahli dalam hal ini. Ketika dia menangani Juventus, satu-satunya konstanta di tim adalah perubahan itu sendiri. Selain dari pihak manajemen, perubahan yang hampir selalu terjadi di kubu Juventus ini juga dilakukan oleh Lippi sendiri. Contoh kasusnya, Christian Vieri dan Roberto Baggio. Jika Vieri dijual karena memang bakal menguntungkan, Baggio ditendang Lippi karena menolak menjadi mata-mata.
ADVERTISEMENT
Entah apa yang sebenarnya terjadi dengan Conte dan Costa di Chelsea serta Zidane dan James di Madrid, tetapi mereka melakukan apa yang pernah dilakukan Lippi, sang mentor, di Juventus dulu. Baik Conte maupun Zidane paham betul bahwa yang namanya sebuah tim sepak bola pasti mengalami dinamika.
Sebagai pelatih, Marcello Lippi dikenal pula atas pendekatan individualnya. Namun, yang terpenting adalah bagaimana membuat mereka bisa menjadi bagian dari sebuah mesin raksasa yang utuh. Individu-individu itu didekati secara personal supaya kontribusi mereka terhadap tim bisa optimal.
Dalam pendekatan individual itu, Lippi memang mengedepankan diskusi. Lagi-lagi spirit Coverciano yang memang selalu berada dalam suasana diskursus dibawa Lippi ke dalam aktivitas sehari-harinya. Menurut Lippi, dengan berdiskusi dengan para pemain, dia sendiri bisa belajar banyak.
ADVERTISEMENT
Yang tak disadari Lippi kala itu, dari situ pula muncul keinginan dari para anak asuhnya untuk menjadi pelatih. Conte dan Zidane adalah contoh paling terlihat. Selain dua sosok itu, ada pula nama-nama lain Paulo Sousa, Didier Deschamps, Gianluca Vialli, Ciro Ferrara, dan Massimo Carrera. Hal ini menjadi semacam bukti bahwa bermain bersama Lippi adalah semacam pendidikan dasar kepelatihan.
Selain gelar yang melimpah, inilah yang kemudian menjadi warisan besar Marcello Lippi lainnya. Dia menanamkan sebuah kultur yang sulit dilepaskan dari individu-individu yang pernah disentuhnya. Di usianya yang sudah hampir 70 tahun, Lippi mungkin tidak akan lama lagi melatih. Akan tetapi, semua ilmu dan semangat yang pernah menjadi bahan bakar Lippi di masa silam bakal terus bisa kita saksikan dalam diri murid-muridnya itu.
ADVERTISEMENT