Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Minggu, 10 November 2019, menjadi momen istimewa buat Tika. Ia akhirnya bisa bertemu dengan sang idola, Arashi. Idol group asal Jepang tersebut baru kali itu datang ke Indonesia sepanjang 20 tahun kariernya. Tika tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Ia, di antara ratusan penggemar J-Pop lain, dengan sigap mengabadikan momen kedatangan Arashi di Jakarta dalam sejumlah foto.
“Gue masih nggak percaya bisa punya gambar sama video mereka di handphone gue ini,” ujar Tika memandangi potret di layar handphone-nya. Meski telah lewat beberapa hari, Tika seolah masuk ke alam mimpi tiap kali mengingat perjumpaannya dengan Arashi. Ia tersenyum hingga menitikkan air mata saking bahagia bisa bersemuka dengan sang idola.
Tika menggemari idol group yang beranggotakan Satoshi Ohno, Sho Sakurai, Masaki Aiba, Kazunari Ninomiya, dan Jun Matsumoto itu sejak SMP. Kesukaannya terhadap Arashi dimulai setelah ia mendengar lagu mereka berjudul Love So Sweet yang jadi soundtrack serial drama Hana Yori Dango 2 (Boys Over Flower), dorama yang begitu populer di tahun 2007.
Tak cuma menyanyikan soundtrack, salah satu anggota Arashi, Jun Matsumoto, bahkan menjadi pemeran utama dorama tersebut. Popularitas Arashi pun melejit, ia menjadi salah satu idol group terpopuler di Jepang bahkan Asia. Hingga September 2019, ikon J-Pop ini menjadi salah satu idol group dengan penjualan album tertinggi sebanyak 54 juta keping di Asia.
Bagi para fans, kedatangan Arashi merupakan hal yang dinanti-nanti. Tapi bagi kebanyakan orang, kemunculan Arashi yang merupakan idol group paling berpengaruh di Jepang cukup membuat heran. Bukan saja baru kembali menggelar tur di luar Jepang setelah 13 tahun, Arashi yang telah malang melintang sejak 1999 ini juga baru memiliki akun resmi YouTube bulan lalu.
Selama dua hari tur ke Jakarta, Bangkok, Singapura, dan Taipei ini dilakukan Arashi bukan untuk mempromosikan konser, melainkan memperkenalkan lima social networking service (SNS) dan platform musik digital yang baru saja mereka miliki. Ya, baru mereka miliki setelah 20 tahun berkarier. Padahal bagi para idol group asal Korea Selatan, memiliki akun resmi media sosial menjadi keharusan sedari awal.
Di tanah air, keberadaan J-Pop hampir tak pernah muncul di layar-layar hiburan kita baik di televisi, radio, ataupun media daring. Selain JKT48 yang merupakan sister group dari AKB48, dendang lagu J-Pop nyaris tak terdengar. Padahal, J-Pop lebih dulu lahir dan menjadi patokan awal kemunculan idol K-Pop.
Terminologi J-Pop dipopulerkan oleh Komuro Tetsuya—penyanyi, penulis lagu, juga produser musik kenamaan di Jepang—pada awal 1990-an. Pengertian J-Pop mulanya merujuk pada jenis musik bertempo cepat hasil fusi komposisi Jepang dan elemen Barat. Namun kemudian istilah ini digunakan untuk semua musik populer yang menduduki tangga lagu Jepang, Oricon Chart, termasuk idol-pop, R&B, hip hop, soft rock, bahkan folk.
Pada awal dekade ‘90-an itu, J-Pop tumbuh pesat dan digandrungi anak muda di banyak negara Asia seperti Hongkong, China, Taiwan, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, termasuk Indonesia. Kita sempat mengenal Ayumi Hamasaki (Ayu) si Ratu Pop Jepang yang menyanyikan soundtrack Inuyasha ; idol group besutan Johnny’s & Associates (disebut juga Johnny’s Entertainment, JE) sebelum Arashi, SMAP; salah satu idol group perempuan generasi pertama yang paling sukses, Speed; hingga Utada Hikaru yang terkenal dengan lagu First Love-nya.
Popularitas J-Pop pada masa itu bukan cuma karena musiknya yang menggabungkan elemen Barat dengan sentuhan Jepang, tapi juga image dari sang idol. Sebelum memulai debut, para calon idol tak hanya dilatih bernyanyi tapi juga menari, akting, berbicara, hingga soal fesyen. Alhasil mereka bisa tampil di berbagai event, mulai acara musik, berakting di dorama, atau ikut dalam reality show.
“Hal tersebut tak terjadi sebelumnya sampai Johnny Kitagawa, pendiri Johnny’s Entertainment, mempromosikan banyak idol group di tahun 1988 seperti SMAP. Sistem idol tersebut kemudian diterapkan secara resmi sebagai model bisnis yang kemudian mengubah wajah industri musik Asia Timur,” tulis Sarah Brand dalam tesisnya, Marketing K-Pop and J-Pop in 21st Century.
Keberhasilan sistem idol yang menjual suara, tampang rupawan, dan citra sebagai sosok ‘sempurna’ namun bisa digapai oleh para fans di awal tahun ‘90an inilah yang kemudian membawa J-Pop hampir merajai pangsa musik Asia. Sembari mempopulerkan musiknya melalui dorama atau anime, industri hiburan Jepang juga mengadakan ajang pencarian bakat untuk menjadi idol Jepang melalui program Asia Bagus atau Star Tanjou.
Japan idol boom tak bertahan lama. Menurut Sarah Brand, mulai 1997 banyak perusahaan musik besar Jepang kembali fokus ke pasar domestiknya alih-alih memperkuat pengaruh di Asia atau global. Alasannya adalah persoalan hak cipta dan profit.
Meski digandrungi di berbagai negara di Asia, lebih dari 70 persen keuntungan industri musik Jepang berasal dari pasar domestik mereka sendiri.
Hal tersebut diamini oleh Hiroaki Kato, musikus Jepang yang kini berkarier di Indonesia. “Alasannya sangat sederhana dan ini satu-satunya alasan, yaitu karena artis Jepang bisa hidup dari market dalam negerinya yang sudah besar,” ucapnya kepada kumparan usai acara konferensi pers Arashi. Penjualan CD, DVD, dan format fisik lainnya masih digandrungi di Jepang. Menurut Hiroaki, hal tersebut diyakini sebagai bentuk apresiasi dan dukungan nyata penggemar untuk para idola mereka.
Laba J-Pop dari pasar Asia itu dianggap tak sepadan dengan energi yang dikeluarkan untuk menghindari pembajakan dan melindungi hak cipta para artis. Sebab berbeda dengan negara lain, Jepang sangat anti-pembajakan dan fokus terhadap perlindungan hak cipta.
Upaya menegakkan aturan ini cukup sulit, mahal, dan menyedot energi besar untuk dilakukan di negara lain di luar Jepang. Dalam menjalankan bisnisnya itu, perusahaan rekaman Jepang kemudian berusaha mengambil kendali atas proses produksi musik di negara-negara lain.
Meski negara-negara lain juga memiliki aturan soal hak cipta dan pembajakan, namun tak ada yang seaktif Jepang dalam menegakkan aturan tersebut. Pembajakan musik makin mudah dan marak setelah format CD mulai dikenal, disusul kemudian tren internet yang sulit dikontrol.
Di sisi lain, industri musik Korea Selatan justru mengikuti model bisnis Johnny’s Entertainment dan mulai melahirkan idol group seperti H.O.T, Sech Kies, G.O.D, Fin.K.L, dan Baby Vox.
Tak seperti Jepang, industri musik Korea lebih santai dalam menanggapi persoalan hak cipta dan pembajakan. Mereka justru melihat internet, cover lagu, dan cover tarian sebagai jalan untuk mengenalkan dan membaurkan musik mereka di mana-mana.
Industri musik Korea Selatan bahkan jauh lebih dalam memanfaatkan YouTube, media sosial, dan kanal-kanal digital untuk semakin mendekatkan idol terhadap para penggemarnya. Para penggemar K-Pop di mana pun bisa dengan mudah menonton idola mereka, memberi komentar di akun media sosial, dan beragam interaksi lainnya yang memanfaatkan teknologi digital (digintimacy).
Dosen Sastra Korea Universitas Indonesia, Zaini, mengatakan K-Pop lahir pada saat yang tepat. “Korea Selatan memunculkan K-Pop saat globalisasi. Mereka harus bisa bersaing di kancah internasional. Lewat Youtube, media sosial, mereka memang diuntungkan, sehingga bisa tampil dan akhirnya dikenal,” ujarnya saat berbincang dengan kumparan, Jumat (8/11).
Pemanfaatan internet memang bukan sesuatu yang menguntungkan dalam jangka pendek, membuat distributor musik J-Pop justru menjaga jarak dengan teknologi digital. Lihat saja berapa banyak idol group atau artis J-Pop yang aktif bermedia sosial, memiliki akun YouTube resmi, dan sebagainya. Tapi bagi perusahaan hiburan Korea Selatan, internet adalah alat pemasaran gratis nan efektif.
Tak cuma ketatnya upaya melindungi hak cipta dan cenderung menghindari dunia internet yang tak terkontrol, secara tak kasat mata Jepang memiliki latar sejarah yang pelik. Pada masa Perang Dunia II, Jepang dikenal sebagai salah satu negeri penjajah di Asia. Hal tersebut membuat beberapa negara, seperti Korea Selatan, sempat mengeluarkan larangan terhadap berbagai produk budaya Jepang hingga pertengahan dekade 1990an.
Menyadari hal tersebut, pemerintah Jepang cenderung tak ingin ikut campur dalam persoalan industri hiburan dan budaya. “Ketidakterlibatan pemerintah Jepang dalam mendorong industri musiknya membuat perusahaan sulit menggapai keuntungan di luar pasar domestik,” tulis Brand.
Latar sejarah pelik itu tak dimiliki oleh Korea Selatan sehingga pemerintah Korea Selatan bisa dengan leluasa mendorong industri hiburannya sekuat tenaga. Mereka tak memiliki beban sejarah seperti yang dihadapi pemerintah Jepang.
“Kami sendiri tidak akan membandingkan antara J-pop dan K-Pop. Tapi kami sendiri mau mengajukan dan menunjukkan daya tariknya J-Pop untuk dunia,” kata Sakurai, anggota Arashi, menjawab soal tren K-Pop yang merajalela.
Sementara rekannya, Matsumoto, menilai musik K-Pop tampak ditujukan untuk pasar global daripada Asia. “K-Pop itu lebih western market daripada Asia. Tapi J-Pop memiliki daya tarik sendiri. Ini juga tantangan buat kami untuk menunjukkan J-Pop ke dunia,” ujarnya.
Meski datang dengan berita bahagia rilis single terbaru dan kehadirannya di media sosial, Arashi juga membawa kabar duka rencana hiatus mereka per Desember 2020.
Lalu, apakah kehadiran Arashi boleh dibilang terlambat untuk kembali memperkenalkan J-Pop ke dunia di tengah K-Pop yang sudah merajalela?
We got that something, your guilty pleasure
With pockets full of funky beats to drop
We bring the party, let’s get it started
We got it going, yeah, we’re turning up with the J-Pop