Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Lillywhite, Bisnis “Usang” CD, dan Digitalisasi Musik
5 April 2017 18:31 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, masyarakat Indonesia masih akrab dengan CD sebagai media untuk menikmati musik. Salah satu restoran waralaba ayam goreng terkemuka, Kentucky Fried Chicken (KFC), bahkan ikut menawarkan paket CD musik di samping menu ayam goreng andalannya.
ADVERTISEMENT
PT Fast Food Indonesia sebagai pemegang hak merk KFC tidak main-main dengan lini bisnisnya di industri musik. Lewat Jagonya Musik, KFC ikut terlibat dalam industri label, mengembangkan jauh keterlibatannya dari industri makanan hingga industri musik Indonesia. Jagonya Musik mengontrak beberapa artis, memproduseri karya, dan menjual albumnya. Penjualan album CD di setiap gerai KFC di seluruh Indonesia adalah skema pemasaran andalan mereka.
KFC benar-benar serius untuk menggarap Jagonya Musik. Sampai-sampai, KFC Indonesia merekrut nama besar Steve Lillywhite, produser yang pernah menangani band sekaliber U2, The Rolling Stones, dan 30 Seconds to Mars dengan 6 titel Grammy Award.
ADVERTISEMENT
Meski menjual CD, Lillywhite tetap digelayuti optimisme dalam mengelola penjualan CD di KFC. Sebanyak 500 ribu keping CD berhasil dijual oleh Jagonya Musik setiap tahunnya. “CD masih mencapai menduduki peringkat 1 untuk mengakses musik di Indonesia,” ujar Lillywhite kepada New York Times .
Dia kemudian melanjutkan, hanya segelintir orang di Indonesia yang memiliki kartu kredit dan koneksi internet cepat sehingga mampu mengakses layanan streaming musik.
Namun begitu, di negara tempat Lillywhite menemukan kebesarannya yaitu Amerika Serikat, CD sedang terporosok ke jurang kepunahan. Berdasarkan laporan Asosiasi Industri Rekaman Amerika Serikat (RIAA), layanan streaming terus tumbuh secara signifikan dan mulai merusak kedigdayaan CD.
Tahun 2015 menjadi titik baliknya. Cara manusia menghormati musik tidak hanya terbatas pada medium CD. Ragam pilihan akses musik di dunia digital menawarkan berbagai pilihan yang lebih menggiurkan ke masyarakat.
ADVERTISEMENT
Download lagu di iTunes, streaming video klip musik di Youtube, hingga aplikasi streaming musik seperti Spotify dan Joox memotong rantai kerepotan penggemar musik yang harus berburu CD untuk menikmati musik.
RIAA melansir sebuah penelitian yang menunjukkan betapa streaming mengambil alih pasar industri musik tahun 2015. Streaming menduduki posisi pertama dengan angka 34,3 persen, sedikit lebih besar dari musik download sebesar 30 persen. Sedangkan, akses musik lewat media fisik hanya mencapai angka 28,8 persen.
Nyata bahwa cara menikmati musik lewat media fisik sudah mulai ditinggalkan. Laporan McKinsey berjudul The Beat of Progress: The Rise of Music Streaming in Asia, menyebutkan bahwa ada tren global industri musik yang membuat streaming melompat ke posisi pertama akses musik.
ADVERTISEMENT
Streaming tumbuh 8,2 persen dalam kurun waktu 2011 sampai 2015. Sedangkan angka fisik terus turun sebanyak 7,9 persen. Tren berbanding terbalik ini menjadi bukti pergeseran kebiasaan pasar dalam menikmati musik.
Streaming jadi primadona baru. Dalam laporan Nielsen berujudul 2016 Year End Music Report, layanan streaming juga mencetak rekor secara global. Sebanyak 27 musisi berhasil mencapai angka 200 juta permintaan pada tahun 2016, jauh melampaui angka tahun 2015 yang hanya menempatkan 2 musisi.
Asia ikut menyongsong masa depan industri musik yang bersandar di dunia digital. McKinsey menyebutkan bahwa meski pengguna musik digital di Asia baru 13 persen dari konsumen keseluruhan di dunia pada tahun 2016, namun penetrasi internet dan ponsel pintar menjanjikan pertumbuhan layanan streaming di masa depannya. Pengguna layanan streaming di Asia akan tumbuh 15 persen setiap tahun dari 2014 hingga 2020.
ADVERTISEMENT
Potensi di Indonesia sendiri tak kalah menggiurkan untuk layanan streaming. Penelitian yang sama memprediksi potensi pasar layanan streaming di Indonesia bisa mencapai 25 juta dolar AS. Pertumbuhan pengguna juga menjajikan, yaitu mencapai 7,5 persen dari jumlah tahun sebelumnya.
Perdebatan menyeruak menanggapi apakah bisnis model yang menggabungkan restoran dan penjualan musik masih akan bertahan di Indonesia. Seorang praktisi industri musik asal AS, Larry Kartz, menyebut model bisnis yang diterapkan Lillywhite memang usang namun memiliki catatan bisnis yang baik.
“Menjual CD di restoran mengingatkan kenangan pada aktivitas penjualan CD musik di restoran cepat saji yang pernah dilakukan di AS,” ucap Larry Kartz kepada New York Times. Katz merupakan mantan petinggi EMI Records, perusahaan label rekaman yang pernah menjalani kontrak dengan McDonald. Kerjasama itu mampu menghasilkan performa penjualan 40 juta album CD di pertengahan 1990 di seluruh AS.
ADVERTISEMENT
“Menjual CD di restoran cepat saji merupakan masa lalu. Namun tidak mengejutkan jika model bisnis ini tetap bekerja di belahan dunia lainnya,” ujar Katz.
Keberhasilan konsep model bisnis ini juga diakui oleh praktisi lain. Presiden Concord Records John Burk --perusahaan yang pernah bereksperimen dengan menempatkan CD mereka di Starbucks-- mengungkapkan eksperimennya berhasil. Namun menyebutkan musik digital sebagai penantang utama saat ini.
Namun, Lillywhite yakin ada nilai lebih dari strategi menjual CD musik di gerai KFC. Lillywhite menyebut KFC “...lebih terlihat seperti Hard Rock Cafe dibanding restoran cepat saji.”
Kehadiran CD di kasir KFC terbukti ikut menggoda para pelanggan. “Mereka datang untuk makan ayam goreng, lalu ketika melihat CD mereka langsung berkata, ‘Ooh, saya ingin memiliki CD nya!’” ujar dia.
ADVERTISEMENT
Lagi-lagi, Lillywhite adalah seorang begawan dalam industri musik. Tangan dinginnya melahirkan karya musik. Penjualan CD di KFC hanyalah salah satu cara untuk meningkatkan pamor Jagonya Musik. Dia mengungkap bahwa Jagonya Musik tetap akan masuk ke pasar streaming, dengan sebuah aplikasi di telepon pintar yang akan dirilis pada 2017.