Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Vaksin MR: Apa Bedanya Mengandung dan Menggunakan Bahan dari Babi?
23 Agustus 2018 18:53 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
ADVERTISEMENT
"Penggunaan vaksin MR produk dari serum SII hukumnya haram karena dalam proses produksi menggunakan bahan dari babi," kata Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Hasanuddin, di Gedung MUI, Jakarta, Senin (20/8). Meski begitu, MUI masih memperbolehkan penggunaan vaksin MR bagi umat muslim. Mengingat, sampai saat ini belum ada vaksin MR yang halal.
ADVERTISEMENT
"Penggunaan vaksin MR produk dari SII pada saat ini dibolehkan atau mubah hukumnya karena ada kondisi keterpaksaan (darurat syariah) dan belum ditemukan vaksin MR halal dan suci," imbuh Hasanuddin.
Koalisi Dokter Muslim Peduli Imunisasi, turut menyambut baik fatwa ini dan untuk itu sengaja menulis bersama sebuah rilis pada Selasa (21/8) lalu. Koalisi ini terdiri dari sembilan orang dokter yaitu, dr. Piprim Yanuarso Sp.A(K), dr. Siti Aisyah Binti Ismail, MARS, dr. Arifianto Sp.A, dr. M. Saifuddin Hakim, M.Sc, dr. Annisa Karnadi, IBCLC, dr. Any Safarodiyah Yasin, M.Gz, dr. Ika Fajarwati, MARS, dr. Farian Sakinah M.Sc dan dr. Raehanul Bahraen.
Dalam rilisnya, kesembilan orang dokter antara lain menyampaikan rasa syukur atas adanya fatwa dan arahan MUI yang membolehkan penggunaan vaksin MR produk dari serum SII untuk anak-anak. Hal ini tentunya bisa menghilangkan keraguan masyarakat. Menurut koalisi ini, BPOM juga telah menyatakan produk akhir vaksin MR tidak mengandung babi.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana dengan pernyataan MUI bahwa proses produksi menggunakan bahan dari babi? Apa maksudnya? Adakah perbedaan antara penggunaan bahan babi dalam proses pembuatan vaksin dengan ada tidaknya kandungan babi dalam vaksin?
Inilah yang mereka jelaskan dalam rilis tersebut, Moms. Pada Fatwa MUI memang tertulis "dalam proses menggunakan" dan bukan "mengandung babi". Jadi hal ini memang berbeda.
Untuk dapat memahaminya, para dokter memberi contoh vaksin polio injeksi/suntik atau Injection polio vaccine (IPV) yang dalam proses pembuatannya juga masih menggunakan enzim tripsin babi sbagai katalisator, namun di hasil akhir vaksin enzim tersebut sudah tidak ada. Sifat katalisator memang ikut berproses, tetatpi di akhir ia tidak bersenyawa. Dengan kata lain, produk akhir menjadi bersih dari katalisator.
ADVERTISEMENT
Namun memang, melalui rilisnya para dokter menjelaskan, dalam hal ini ada perbedaan pendapat ulama mengenai konsep istihalah dan istihlak. Beberapa ulama memfatwakan membolehkan karena sudah tidak mengandung babi dengan kaidah istihalah dan istihlak.
Misalnya fatwa, Majma’ Fiqih Al-Islami, dengan judul "بيان للتشجيع على التطعيم ضد شلل الأطفال" atau “Penjelasan untuk Memotivasi Gerakan Imunisasi Memberantas Penyakit Polio" yang dapat dibaca di laman Fiqh Academy. Lembaga ini nama resminya adalah Majma’ Al-Fiqihi Al-Islami dan ada di bawah naungan Rabithah Al-‘Alam Al-Islami atau Liga Muslim Sedunia.
Rabithah Al-‘Alam Al-Islami adalah organisasi Islam Internasional terbesar yang berdiri di Makkah Al-Mukarramah pada 14 Zulhijjah 1381 H atau bulai Mei 1962 M oleh 22 Negara Islam. Perlu diketahui bahwa negara-negara Islam juga memakai memakai produk vaksin polio dan mewajibkan vaksin bagi penduduknya seperti Saudi Arabia dan negara Islam lainnya.
ADVERTISEMENT
Nah, dalam fatwa ini, MUI mengakui bahwa vaksin adalah satu-satunyanya metode imunisasi. Adapun metode lain yang diklaim bisa menggantikan vaksin, ternyata oleh MUI tidak dianggap bisa menggantikan vaksin.
Inilah mengapa pemberian vaksinasi dianggap darurat. Apabila ada yang bisa menggantikan, tentu tidak ada istilah darurat syariyyah. Termasuk juga mengenai vaksin MR yang sedang ramai dibahas masyarakat kini.
Karena itu kesembilan dokter ini juga memberi pesan agar masyarakat tidak mudah percaya bila ada pihak-pihak yang mengatakan bahwa vaksin tidak dibutuhkan dan mengklaim bahwa mereka memiliki alternatif vaksinasi. Apalagi bila yang mengatakan hal tersebut bukan ahli vaksin atau ahli agama.
Lebih baik, percaya saja pada ahlinya, Moms! Sebagaimana arahan MUI: "Ada keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi dan belum adanya vaksin yang halal."
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana dengan rilis resmi terkait Fatwa MUI dan vaksin MR dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)? dr.Dr. Piprim B. Yanuarso, Sp.A(K) yang juga menjabat sebagai Ketua Satgas Bencana, Keadaan Luar Biasa, dan Masalah Kemasyarakatan IDAI pada kumparanMOM mengatakan, "Nanti ada rilis resmi dari IDAI."