Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Analisis Reza Indragiri Soal Sumbangan Rp 2 T Palsu Keluarga Akidi Tio
2 Agustus 2021 17:02 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
ADVERTISEMENT
Donasi Rp 2 triliun untuk penanganan corona di Sumatera Selatan yang sempat menghebohkan masyarakat Indonesia berujung antiklimaks. Haryanti, anak bungsu Akidi Tio-yang disebut-sebut sebagai donatur-, ditangkap Polda Sumatera Selatan atas kasus dugaan penipuan.
ADVERTISEMENT
Indikasi sumbangan tersebut palsu alias hoaks besar adanya. Namun hal tersebut tidak mengherankan, karena pada dasarnya manusia memang makhluk pendusta alias natural liars.
"Setiap orang faktanya juga mengutarakan kebohongan setiap harinya. Rerata 1,65 kali per hari. Itu temuan riset. Alhasil, secara alami, manusia memang makhluk pendusta alias natural liars (NL)," ujar ahli psikologi forensik, Reza Indragiri, dalam keterangan tertulis, Senin (2/8).
Ia mencontohkan kasus Akidi Tio ini dengan beberapa kasus yang pernah terjadi selama masa pandemi. Korupsi dana bansos contohnya.
"Bahwa si tersangka (keluarga Akidi Tio) bikin kegemparan dengan berbohong di masa pandemi. Terdakwa tipikor yang notabene mantan Mensos juga melakukan hal serupa," jelas Reza memberi contoh.
Bedanya, ada dua jenis kebohongan yang dapat dibedakan, yakni yang tak merugikan dan yang menciptakan kerugian besar bagi korbannya.
ADVERTISEMENT
"Kebohongan yang umum dilakukan itu tidaklah menganiaya pihak lain. Di sinilah beda antara natural liar (NL) dan psychopatic liar (PL). Pembohong psikopat memang merancang tipu muslihatnya demi keuntungan (besar) dirinya dan kerugian (besar) sasarannya," papar Reza.
Natural Liars, kata Reza, masih punya perasaan bersalah dan takut akan konsekuensi yang harus ia tanggung jika kebohongannya terbongkar. Sementara Psychopatic Liars tidak peduli pada itu semua. Mereka tidak takut ditangkap, bahkan justru tertantang untuk mengelabui pihak atau otoritas yang kerap dianggap tak terkelabui.
Tapi kejadian memalukan ini semestinya tidak membuat pejabat merasa terlalu dipermalukan. Toh studi juga temukan, mereka yang bekerja di bidang pendeteksi kebohongan seperti polisi, punya tingkat akurasi yang sama dengan orang biasa, contohnya mahasiswa, yaitu 55 persen.
Lantas, bagaimana prospek hukum si tersangka?
ADVERTISEMENT
"Kalau dia skizofrenia, apa boleh buat, Pasal 44 KUHP. Kalau dia dikenai pasal penipuan, maksimal 4 tahun penjara. Iming-iming dua triliunnya tak berbeda dengan lima ratus perak," ucap Reza.
Namun apabila kebohongan ini disetarakan dengan penganiayaan ringan karena dianggap telah mengelabui publik di masa pandemi, kemungkinan Haryanti dapat dihukum 3 tahun hingga 2 tahun 8 bulan penjara.
"Ringan? Memang. Toh, tidak ada ketentuan bahwa warga sipil yang mengelabui pejabat daerah dan aparat penegak hukum bisa dikenai pemberatan sanksi," tutupnya.