Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Aria Bima: Kalau Bilang Mrongos Itu Baru Serangan Pribadi
25 Februari 2019 12:58 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:03 WIB
Di grup WhatsApp keluarga, di sela nasi warteg makan siang, di balik asap rokok di warung-warung kopi, di antara sinetron murahan televisi, sampai di perbincangan kumuh media sosial kedua pendukung lanjut bertukar klaim dan tuduhan.
Keduanya mengklaim sama-sama unggul—satu karena penguasaan data dan topik yang memadai, yang lain memuji sikap santun dan jentel yang berbeda dengan impresi publik selama ini. Junjungan mereka sama-sama menang dan lawan sama-sama kalah.
Kubu 02, tak seperti Prabowo Subianto yang adem-ayem kala debat, justru kelewat panas di luar panggung debat. Mereka mengkritisi Jokowi yang dinilai menyerang pribadi jagoannya karena menyebut Prabowo memiliki 340 ribu hektare lahan di Kalimantan Timur dan Aceh.
Sudirman Said, beberapa hari usai debat, ‘membuka’ pertemuan rahasia Jokowi dengan bos Freeport. Eggi Sudjana, mantan pengacara Rizieq Shihab dan politisi PAN, melaporkan Joko Widodo ke Bawaslu. Selain itu, isu konspiratif macam earpiece tersembunyi dan pulpen ala James Bond didengungkan kubu nomor 02.
Demi membaca respons kubu Jokowi, kumparan duduk bersama Aria Bima, Direktur Program Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, di Posko Cemara, Menteng, Jakarta Pusat pada Kamis (21/2) malam.
Di situ, Aria menjelaskan sikap Jokowi yang garang saat debat, keributan yang terlihat dalam video yang viral, sampai tanggapannya pada serangan kubu 02 yang tetap ramai seminggu penuh setelah debat.
Jawaban Jokowi saat menyebut tanah Prabowo di Kalimantan dan Aceh sempat menjadi biang keributan antara kedua kubu. Anda sudah berharap jawaban Jokowi menggebrak seperti itu?
Enggak, Pak Jokowi enggak gebrak. Pak Jokowi hanya merespons atas kritik Pak Prabowo terhadap program Pak Jokowi.
Jadi, Pak Jokowi mengatakan bahwa Reforma Agraria yang sekarang dilaksanakan itu masalah redistribusi aset. Termasuk bagaimana memastikan hal yang terkait dengan kepemilikan tanah.
Selama Pak Jokowi menjabat, pengurusan hak tanah dalam pengertian sertifikat atau legalisasi kepemilikan tanah ini merupakan persoalan yang benar-benar ditunggu oleh rakyat. Pengurusannya dulu bisa bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun bahkan.
Kalau semua diproses dengan cara yang seperti sebelumnya, tanpa ada satu kekhususan seperti program milik Pak Jokowi, total selesainya 160 tahun. Jadi pada saat Pak Jokowi melakukan program itu, itu adalah salah satu step bagaimana aspek legalisasi kepemilikan dilakukan oleh pemerintahan Pak Jokowi. Itu yang pertama.
Yang kedua, terkait dengan program kedaulatan pangan. Di mana cakupan luas lahan itu harus sebanding dengan arah swasembada dalam konsep kedaulatan—upsus pajale (Upaya Khusus Padi, Jagung, Kedelai). Maka perlu penambahan lahan, empowering lahan kering dengan embungisasi (pembangunan waduk kecil tadah hujan), perluasan lahan pertanian, dan membuka hutan sosial untuk dijadikan lahan garap hak pakai oleh rakyat.
Jawaban-jawaban itu spontanitas saja?
Oh, disiapkan. Jadi kan ada kebijakan, ada program, ada kegiatan.
Nah, saat Pak Prabowo mengkritisi pembagian lahan ke rakyat untuk mencapai target yang harus dilakukan dalam proses pengadaan pangan nasional dan penciptaan lapangan kerja. Waktu itu Pak Jokowi roadmap-nya sudah tidak lagi membuka lahan perkebunan, tapi lebih membuka lahan pertanian.
Kita ingin Indonesia menjadi lumbung pangan dunia, tidak lagi dalam roadmap sebagai lumbung tanaman perkebunan. Itu dikritisi Pak Prabowo.
Pak Prabowo tidak setuju adanya pembagian lahan itu, karena (menurutnya) kalau itu diteruskan maka lahannya akan habis, karena penduduk bertambah. Enggak ngerti, ini logika apa.
Nah, kemudian dijawab, riilnya kan maksimal perorangan hanya 2 hektar. Dan Pak Jokowi tidak pernah membagi—selama dia ada—lahan perkebunan ke privat, baik nasional maupun luar. (Pembagian tanah besar-besaran) ini semua prosesnya sebelum Pak Jokowi.
Yang lebih fatal lagi menurut saya, kenapa dia menyampaikan itu terkait dengan cara pandang konstitusi UUD ‘45 pasal 33? Di mana rasa keadilan? Kalau seorang dibagi dengan dua hektar—itupun hak pakai, ya kan, bukan HGU (Hak Guna Usaha) maupun HGB (Hak Guna Bangunan)—kok dikatakan itu program yang tidak benar atau tidak tepat?
Jadi pada saat dia merespons, ‘Loh kenapa? Toh Pak Prabowo juga punya lahan yang luas. Jangan dong yang hanya terima dua hektar disalahkan,’ kan ngono.
Jokowi menekankan bahwa pembagian lahan itu tidak terjadi di masa pemerintahannya...
Kalau itu maknanya luas. Dia (kubu 02) selalu mengatakan tanah ini hanya dikuasai satu persen penduduk Indonesia, bahkan oleh asing, ya kan? Itu kan narasi 02, tim kampanye Pak Prabowo. Seolah-olah Jokowilah yang memprivatisasi aset perkebunan untuk asing.
Sama sekali ternyata belum pernah dilakukan oleh pemerintahan Jokowi, karena apa? Karena roadmap-nya jelas: stop untuk perluasan lahan perkebunan. Kita akan menjadi lumbung pangan dunia, maka perluasannya ke lahan pertanian. Ini saya tahu persis.
Nah makanya yang saya lihat, kok kemudian dianggap menyerang pribadi? Enggak.
Yang namanya hak kepemilikan itu—menyangkut hak kepemilikan pribadi, HGU, HGB—itu bisa diagunkan, itu bisa diwariskan.
Kalau Pak Prabowo ngomong, ‘Benar saya memang punya lahan segitu tapi kalau negara membutuhkan akan saya berikan,’ Itu bukan Pak Prabowo. Itu UU Pertanahan.
Bukan hanya HGU HGB, hak pribadi pun, kalau negara membutuhkan, menurut UU Pertanahan ya harus menyerahkan tanahnya. Itu bukan sikap Prabowo, itu memang keputusan UU.
Nah jadi saya tidak melihat ada hal yang menyerang pribadi. Pribadi bagaimana? Apa yang disampaikan Pak Jokowi kepada Pak Prabowo itu sudah ada di LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara) laporan Pak Prabowo.
Publik mempunyai hak untuk mengerti dan mengetahui hal yang menyangkut kepemilikan aset (pejabat negara). Kan Pak Prabowo melaporkan, wong itu prasyarat kok, sebagai calon presiden, sebagai calon legislatif.
Silakan Prabowo mengkritisi Jokowi. Dikatakan toh pendukung Pak Jokowi banyak yang juga punya lahan-lahan. Loh, silakan dia jadikan capres. Luhut, misalkan, jadikan capres aja. Apa Luhut enggak malaporkan? Melaporkan dong, wong dia menteri.
Jadi jawaban Jokowi biasa saja ya?
Saya tidak melihat ada sesuatu yang perlu terlalu dibesar-besarkan. Saat kubu 02 menyampaikan, ‘Itu wilayah pribadi maka Bawaslu harus menghentikan debat’ dan sebagian lari ke moderator untuk diproses lebih dulu.
Saya ngomong, ‘Kalau di debat, yang jawab salah atau kamu tidak bisa menerima jawaban itu, ya didebat saja. Kamu sekarang ke Pak Prabowo kasih feeding untuk menjawab.’ Bukan menghentikan debat. Debat (kalau) salah didebat.
Saat ada ribut itu ya?
Ini (debat) biar tetap berlangsung, kamu jangan menghentikan, kasih amunisi aja Pak Prabowo untuk mendebat. Salah atau benar, di situ ada moderator, di situ ada panelis, silakan aja.
Ini mekanisme debat. Memang hak rakyat untuk mengetahui semua hal yang berkaitan dengan calon para kandidat yang dia akan pilih.
Yang tidak boleh adalah fitnah, yang tidak boleh adalah mendelegitimasi, atau character assasination yang sebenarnya tidak terjadi.
Yang personal?
Personal, misalnya mau kawin mau enggak, mau cerai, bukan urusan. Itu tidak etis, bukan tidak boleh, tidak etis. Hal yang menyangkut pribadi-pribadi, misalnya mrongos (tonggos), cacat, buta, ya itu enggak boleh.
Tidak ada sedikitpun hal salah yang disampaikan Pak Jokowi. Kalau ada data yang tidak logis, palsu, ya silakan saja disanggah, didebat. Lah ini kok malah dituntut?
Jadi saya melihat dramatisasi dari debat kemarin 02 tidak tepat, baik saat debat maupun setelah pelaporan ke Bawaslu. Kalau Pak Jokowi ngomong soal jalan desa yang keliru, soal ekspor, didebat saja saat itu. Nyatanya nggak.
Kubu 02 lalu melakukan serangan balik, misalnya konspirasi earphone, kampanye Pilgub dibantu Rp 70 M, dan pernyataan seperti pertemuan rahasia sama Freeport. Itu bagaimana?
Silakan. Ya biasa itu, boleh saja. Itu semua boleh membuka hal yang menyangkut kompetensi seorang capres. Silakan Sudirman Said (SS) buka saja. Yang penting sekarang produknya itu kita menguasai sebagian besar saham Freeport. Kita menang kok, titik.
Pemimpin tidak dilihat dari omongannya. Kayak gitu nggak etis. Siapa yang mau percaya sama SS, Prabowo pun nggak percaya. SS yang integritasnya saya pertanyakan, untuk apa dia ngomong begitu? Hasilnya sekarang 51 persen kita kok.
Pemimpin itu dilihat keputusannya. Kamu ngomong apa terserah, wong politisi. Yang penting track record keputusannya. Kalau blok Mahakam kayak gini, kalau blok Rokan kayak gini, kalau pengelolaan dari kontrak karya semua kembali ke kita, mau apa? (Blok Mahakam dan Blok Rokan adalah lokasi tambang migas yang kini dikuasai Pertamina)
Wong hasilnya Jokowi bisa menegosiasikan yang dalam hitungan bisnis negara diuntungkan. Mau ngomong apa, silakan, nggak ada urusan.
Di antara hari-hari itu, ada laporan Egi Sudjana ke Bawaslu. Tanggapannya?
Nggak ada, itu hanya pengalihan isu. Kelemahan dari tim BPN yang mem-feeding itu lemah, membiarkan Prabowo tidak mempunyai hal yang cukup akurat untuk menghadapi debat kemarin.
Lu mau bikin bunyi-bunyian silakan saja. Itu menunjukkan malunya SS, malunya Egi, malunya Ferdinand (Hutahean) yang tidak bisa memberikan feeding saat debat.
Tak ada antisipasi khusus soal pelaporan ini?
Nggak ada. Saya tidak melihat persoalan hukum, hanya persoalan opini.
Hasil pergerakan pascadebat, bagaimana posisi swing voters?
Kita merasa dalam debat Pak Jokowi leading. Bangunan opininya, substansi, narasi besar, sampai program, dan kegiatan semua dibicarakan.
Bahwa ada data yang salah, wah, itu biasa namanya data. Tapi bukan bakal bohong. Bohong itu kalau ngomong tidak-tidak-tidak pada korupsi, tapi yang ngomong itu korupsi.
Debat ini memenuhi target tidak? Cukup meyakinkankah buat TKN?
Meyakinkan, beberapa swingvoters Prabowo lari ke kita. Minimal para penerima sertifikat pembagian lahan itu tahu bahwa Prabowo nggak setuju (pembagian sertifikat tanah).