Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
“Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan bahwa prinsip kelima daripada negara ini ialah ke-Tuhanan yang berkebudayaan, ke-Tuhanan yang berbudi pekerti luhur, ke-Tuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain.”
ADVERTISEMENT
Begitulah bunyi pidato Sukarno ketika menyampaikan prinsip terakhir dari lima dasar negara dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni 1945. Prinsip kelima itu kini menjadi sila pertama Pancasila.
Empat prinsip lainnya yang dikemukakan Sukarno adalah kebangsaan, perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, dan kesejahteraan sosial. Bagi Sukarno, urut-urutan kelima prinsip itu bukanlah urutan prioritas, namun sequential, berdasar urutan logika.
Kesemua prinsip itu pada dasarnya telah dikemukakan, baik secara keseluruhan ataupun terpisah-pisah, oleh para anggota BPUPKI sejak hari pertama sidang, 29 Mei 1945.
Kita tahu Muhammad Yamin mengusulkan peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat. Namun di samping itu, Yamin juga berbicara soal pembelaan negara, budi pekerti, susunan negara, bahkan hak tanah.
ADVERTISEMENT
Sementara Soepomo menyampaikan perihal persatuan, kekeluargaan, keseimbangan lahir dan batin, musyawarah, dan keadilan rakyat.
Pentingnya nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial juga dikemukakan oleh anggota sidang lainnya seperti, Wiranatakoesoema, Soerio, Soesanto Tirtoprodjo, Dasaad, Agus Salim, Muhammad Hatta, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Woerjaningrat, Radjiman Wediodiningrat, hingga Liem Koen Hian.
Meski demikiran, prinsip-prinsip yang diajukan semula masih serabutan. Kategorisasi prinsip-prinsip yang diajukan pun masih simpang siur dengan konsep “asas”, “paham”, atau “aliran pikiran”.
Setelah Sukarno menyampaikan pidatonya pada 1 Juni dengan begitu heroik, simpatik, dan empatik, pembahasan philosofische grondslag atau dasar falsafah menemukan titik terang. Pada tanggal itulah nama Pancasila lahir dengan kelima prinsip yang dikemukakan Sukarno.
ADVERTISEMENT
Ketuhanan menjadi prinsip yang diusulkan oleh hampir semua anggota BPUPKI yang beragam, khususnya golongan agama. Namun sila ketuhanan ini mengandung sejarah perdebatan yang cukup panjang.
Golongan Islam tentu saja menawarkan konsep ketuhanan yang lebih konkret dan spesifik, yakni ketuhanan dan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
Lalu dari mana asal konsep ketuhanan yang dikemukakan Sukarno?
Berdasarkan sejarah, terdapat cerita bahwa konsep ketuhanan yang dikemukakan oleh Sukarno terinspirasi dari pergaulannya dengan banyak ulama.
Sukarno, sejak muda dekat dengan Sarekat Islam dan para ulama di dalamnya. Hingga ketika ia dibuang ke Ende, Flores, pun, Sukarno tetap rajin berkorespondensi dengan ulama, salah satunya pendiri Persatuan Islam (Persis) Ahmad Hassan.
ADVERTISEMENT
Ketika berada di Padang, Sumatera Barat, pada Februari 1942 hingga Juli 1942, Sukarno juga banyak bergaul dengan ulama besar di sana.
Ia pernah berkunjung ke Perguruan Darul Funun el Abbasiyah (DFA) di Puncakbakuang, Padang Japang, yang didirikan oleh Syekh Abbas Abdullan Padang Japang .
Syekh Abbas bukan sekadar ulama, tapi juga Panglima Jihad Sumatera Tengah. Selain mendirikan sekolah madrasah, Syekh Abbas memiliki pasukan jihad sebagai basis perjuangan melawan Belanda.
Suatu hari, sekitar pukul satu siang, Sukarno sempat datang mengunjungi Syeikh Abbas. Meski saat itu masih masa-masa transisi dari era Belanda ke Jepang, Sukarno ingin membicarakan perihal dasar negara.
Ketika Sukarno bertanya perihal apa yang terbaik jika kelak bangsa Indonesia ini merdeka, ulama yang kala itu berusia 59 tahun itu menjawab, “Negara yang akan didirikan kelak haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
ADVERTISEMENT
Bagi Syeikh Abbas, jika hal tersebut diabaikan, maka revolusi tidak akan membawa hasil yang diharapkan.
Percakapan itu cukup singkat, dan Sukarno pulang sore harinya.
Namun kunjungan Sukarno itu menjadi ingatan kolektif masyarakat Padang Japang. Perisitwa itu tercatat dalam Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat yang diterbitkan oleh Islamic Centre Sumatera Barat pada 1981.
Barangkali pertemuan singkat menjadi salah satu inspirasi bagi Sukarno tiga tahun kemudian ketika berpidato di depan majelis sidang BPUPKI.
Prinsip ketuhanan ini makin menguat ketika suatu malam menjelang tanggal 1 Juni 1945, Sukarno berbincang-bincang bersama Muhammad Yamin, K.H Masjkur, Wahid Hasyim, Kahar Mudzakir di tempat Yamin.
Berikut kira-kira transkrip percakapan mereka yang tercatat dalam Arsip Nasional.
ADVERTISEMENT
Sukarno: “Ada apa?”
K.H. Masjkur: “Kita ini ingin dasar Islam, tetapi kalau dasar Islam, negara ini pecah. Bagaimana kira-kira umat Islam bisa bela tanah air, tapi tidak pecah.”
Sukarno: “Coba kita tanya Yamin dulu, bagaimana Yamin dulu, tanah Jawa, tanah Indonesia ini.”
Yamin: “Zaman dulu, orang Jawa punya kebiasaan. Apa kebiasaannya? Pergi di pinggir sungai, di pohon besar, semedi, menyekar, untuk minta sama Tuhan, minta keselamatan, minta apa gitu.”
Sukarno: “Nah ini mencari Tuhan namanya. Jadi orang Indonesia dulu sudah mencari Tuhan. Cuma tidak tahu di mana Tuhan dan siapa Tuhan itu. Pergi di pohon besar, pergi di kayu besar, pergi di batu-batu nyekar, itu mencari Tuhan. Kalau begitu, negara kita dari dulu sudah ketuhanan. Sudah ketuhanan zaman Jawa itu, zaman Jawa itu zaman Ketuhanan. Ketuhanan. Bagaimana Islam? Ketuhanan. Kalau bangsa Indonesia bangsa Ketuhanan. Tulis. Tulis Ketuhanan. Lalu bagaimana selanjutnya bangsa Indonesia?”
ADVERTISEMENT
Perbincangan pun berlanjut membicarakan persatuan, kemanusiaan hingga keadilan sosial.
Dari percakapan itu terlihat bahwa nilai ketuhanan yang sedari awal diajukan adalah ketuhanan yang berasal dan menyatukan semua golongan.
Nilai ketuhanan dalam lintasan sejarah Nusantara memang berkembang sejalan dengan nasionalisme yang juga semakin tumbuh.
Meski terjadi perdebatan terkait 7 kata --dengan menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya-- yang diusulkan untuk dilekatkan pada prinsip Ketuhanan, namun akhirnya terpilihlah redaksional “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama.
Konsensus itu, tentu saja, lahir demi menjaga persatuan bangsa.
ADVERTISEMENT