Baduy: Menjalani Tradisi di Tengah Pandemi

21 Juni 2020 14:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah warga Baduy Dalam berjalan kaki di Leuwidamar menuju kota Rangkasbitung untuk mengikuti tradisi Seba Baduy di Lebak, Banten, Sabtu (4/ Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah warga Baduy Dalam berjalan kaki di Leuwidamar menuju kota Rangkasbitung untuk mengikuti tradisi Seba Baduy di Lebak, Banten, Sabtu (4/ Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas
Gugung teu meunang dilebur, Lebak teu meunang dirusak
(Gunung tak boleh dilebur, Lembah tak boleh dirusak)
Lebak teu meunang dirusak, Larangan teu meunang ditempak
(Lembah tak boleh dirusak, Larangan tak boleh dilanggar)
Buyut teu meunang dirobah, Lojor teu meunang dipotong
(Buyut tak boleh diubah, Panjang tak boleh dipotong)
Pondok teu meunang disambung, Nu lain kudu dilainkeun
(Pendek tak boleh disambung, Yang bukan harus ditiadakan)
Nu ulah kudu diulahken, Nu enya kudu dienyakeun
(Yang lain harus dipandang lain, Yang benar harus dibenarkan)
Penggalan pikukuh (aturan adat) itu membuat urang jero, orang Baduy Dalam, menjejalkan padi dan sayuran hasil bumi ke dalam kain yang disangkutkan di pundak. Pakaian, ikat kepala putih, dan masker sudah lengkap dikenakan. Seba, seserahan hasil bumi, masyarakat adat pada tahun ini digelar kecil-kecilan karena pandemi Corona.
Empat urang dalam itu adalah perwakilan dari suku Baduy dalam dan menjalani adat tahunan pasca panen. Mereka berjalan kaki dari Desa Kanekes, tempat tinggal orang Baduy, menuju Pendopo Kabupaten Lebak di Kapugeran, Rangkasbitung Barat sejauh 48 km untuk menyerahkan hasil bumi kepada Penggede--Ibu Gede (Bupati Lebak), dan Bapak Gede (Gubernur Banten). Baduy Dalam masih mengharamkan penggunaan kendaraan bermotor.
Jaro-- kepala desa-- Saija memilih menyusul memakai mobil bersama delapan orang Baduy Luar. Ia kini tinggal di Baduy luar, boleh memakai kendaraan bermotor.
Biasanya Seba besar digelar dan diikuti oleh sekitar 5.000 orang Baduy. Acara yang digelar sebagai lebaran bagi Suku Baduy itu harus menyesuaikan kondisi pandemi.
Seba Baduy. Foto: Antara/Asep Fathulrahman
Tak ada penyambutan ketika rombongan sampai di Jembatang Keong, Sungai Ciujung, Rangkasbitung. Tabuhan Rampak Bedug yang biasanya mengiringi langkah kaki mereka menuju Pendopo sama sekali tak terdengar. Kondisi pandemi corona membuat perayaan Seba tahun ini jauh lebih sepi dibandingkan tahun sebelumnya.
Namun wabah tak menghambat pelaksanaan Seba, ritual tahunan ini merupakan amanat dari para Kokolot (leluhur). Gelarnya pun hanya sederhana diikuti oleh tetua-tetua adat saja.
Rangkaian ritual adat Seba, diawali dengan Ngawalu atau berpuasa selama tiga bulan dan Ngalaksa yakni membawa padi hasil panen menuju lumbung sebagai rasa syukur kepada yang maha kuasa setelah panen huma. Tanggal pelaksanaan Seba biasanya dilakukan di Bulan Safar hasil musyawarah Lembaga Adat Tangtu Tilu Jaro Tujuh Desa Kanekes.
Tetua masyarakat Baduy, Jaro Saija menjelaskan ritual Seba tidak bisa ditunda karena dikhawatirkan bisa berdampak buruk bagi masyarakat Suku Baduy. Oleh karenanya, pada Seba tahun ini, mereka menjalankannya dengan sederhana dan mengikuti protokol kesehatan--salah satunya dengan mengenakan masker sepanjang perjalanan.
"Itu ketentuan dari lembaga adat. Soalnya sebelum ada nagara sudah dilaksanakan Seba. Kalau disini (Seba) untuk menjaga dan mengikis jangan sampai (wabah penyakit) masuk ke wilayah Baduy. Itu harapan para Kokolot," kata Jaro Saija kepada kumparan, Selasa (16/6).
Setidaknya ada tiga tempat yang wajib mereka datangi dalam melakukan ritual Seba. Pertama mereka akan bertemu Bupati Kabupaten Lebak, di Pendopo, Kabupaten Lebak. Keesokan harinya mereka akan menuju Kantor Gubernur di Pandeglang, dan terakhir menuju Museum Banten di Serang. Prosesi itu akan mereka selesaikan dalam waktu empat hari.
Jaro Saidi Putra (kiri) menyerahkan hasil bumi kepada Bupati Lebak Iti Octavia saat acara Seba Baduy di Pendopo Bupati Lebak, Banten, Sabtu (4/5). Foto: ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman
Saat bertemu Penggede, Pu'un atau tetua adat akan memberikan titipan amanat tentang kondisi yang akan terjadi dalam jangka waktu ke depan. Titipan amanat tersebut biasanya dilakukan ketika berdialog dengan Bupati dan Gubernur sehingga bisa diaplikasikan saat mengambil kebijakan.
"Ada titipan seperti kalau orang Baduy yang sudah mencintai tanah dan alam itu semuanya dari alam dan jangan ada yang merusak. Yang disebutkan titipan kepada negara itu batinnya harus membantu, harus mendukung, harus melaksanakan Seba untuk menjaga penyakit," ujar Jaro Saija.
Adapun Seba tahun ini mereka tidak bisa bertemu dengan Bupati Lebak dan Gubernur Banten karena dikhawatirkan bisa memicu penyebaran virus corona. Sebagai gantinya, mereka diterima oleh Kasi Pengembangan Usaha Ekonomi Kreatif dan Kabid Budaya Pemerintah Kabupaten Lebak.
Meskipun tak bisa bertemu dengan Penggede, hal itu bukanlah persoalan. Masyarakat Baduy tak pernah mempermasalahkan harus bertemu dengan tokoh tertinggi pemerintahan. Bahkan jika hanya ada masyarakat biasa yang menerima seserahan tersebut, ritual Seba sudah bisa dilaksanakan.
Menyitat data info corona Provinsi Banten, per Sabtu (19/6), angka positif penularan virus corona di Banten terus mengalami peningkatan mencapai 1.201 orang. Khusus di Kabupaten Lebak, saat ini pasien positif sebanyak 19 orang, Pasien Dalam Pengawasan (PDP) 42 orang, dan Orang Dalam Pemantauan (ODP) sebanyak 578 orang.
Festival Seba Baduy 2019. Foto: Kemenparekraf
Dengan catatan itu, berbeda dari tahun sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Lebak juga tidak menggelar festival bertajuk Exciting Banten On Seba Baduy. Alasannya, semakin meluasnya angka penularan virus corona di Provinsi Banten membuat Pemkab Lebak enggan membuat acara yang dapat dihadiri oleh ribuan orang.
Berkaca dari tahun sebelumnya, pada perayaan Seba Baduy 2019, sebanyak dua ribu lebih masyarakat Baduy dari total 13.600 jiwa, turun gunung untuk melakukan ritual Seba. Angka itu belum termasuk jumlah undangan yang mencapai seribu orang dan puluhan ribu wisatawan yang ingin melihat acara adat tersebut.
Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Lebak tidak mengeluarkan rekomendasi gelaran tradisi adat Seba Baduy akibat Pandemi Corona. Keputusan peniadaan Seba Baduy tahun 2020 tertuang dalam Surat No. 556/179-Dispar, yang ditandatangani oleh Bupati Kabupaten Lebak Iti Octavia Jayabaya.
Menurut Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Lebak, Imam Rismahayadin, sebenarnya pemerintah telah menganggarkan sebanyak Rp 1 miliar rupiah untuk melaksanakan festival Seba tahun 2020. Sayangnya, kondisi pandemi corona membuat seluruh rencana tersebut ditunda hingga waktu yang tidak bisa ditentukan.
"Kalau nggak ada COVID-19 banyak acara untuk wisatawan dan juga warga Baduy yang melaksanakan Seba. Biasanya ada kesenian rutin buat mereka yakni pagelaran wayang golek. Biasanya event akan dilakukan satu minggu sebelum Seba," ujar Imam kepada kumparan melalui sambungan telepon, Jumat (19/6).
Lebih lanjut, sejak masuk dalam 100 Calendar of Events (CoE) Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Seba Baduy terbukti mampu menyedot wisatawan baik lokal maupun mancanegara untuk datang ke Banten. Untuk itu, Imam berharap festival Seba Baduy bisa kembali digelar pada tahun 2021 mendatang.
Kini ritual adat Seba Baduy telah berhasil dilaksanakan meskipun dengan cara sederhana. Kedua belas orang Suku Baduy yang pergi ke kota telah kembali ke Desa Kanekes dengan selamat. Tak ada satupun dari mereka yang terpapar virus corona saat melaksanakan prosesi Seba.
Masyarakat suku Baduy yang tak memakai alas kaki di dalam perjalanan. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Meski tidak signifikan, menurut Jaro Saija, pandemi corona memang memberikan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat Baduy. Meskipun tingkat literasi masyarakat Baduy bisa dibilang rendah, akan tetapi untuk pandemi corona mereka memiliki tingkat kewaspadaan yang tinggi terhadap masuknya virus corona ke wilayah pemukiman mereka.
Alasannya, akses kesehatan yang susah ke kota membuat mereka takut terpapar virus corona. Tetua adat membuat peraturan untuk sementara masyarakat Baduy tidak boleh meninggalkan desa untuk berjualan ke Kota. Pun, para orang tua yang sadar akan ganasnya virus corona, melarang anaknya untuk bepergian keluar.
"Manusia harus berusaha. Caranya gimana? harus menjaga. Menjaga seperti ketertiban, keamanan, keselamatan, jangan sampai wabah corona itu masuk. RT/RW melakukan peringatan untuk masyarakat," ujarnya. "Nu Badag Moncor Nu Lembut Nyangsang."
Untuk melindungi masyarakat dari paparan corona, Kokolot Baduy Dalam mengeluarkan himbauan agar setiap rumah diberi mantra-mantra, doa, dan membakar kemenyan agar dijauhkan dari mara bahaya. Ritual itu sifatnya sukarela dan tidak ada paksaan keharusan. "Untuk penjaga dan pengikis."
Jaro Saija menuturkan masyarakat Baduy yang terdampak virus corona adalah mereka menggeluti dari sektor wisata. Ditutupnya akses wisata ke Baduy membuat dagangan mereka tidak laku terjual.
Apalagi menurut sektor wisata Baduy biasanya ramai dikunjungi setelah Seba digelar. Desa Baduy Dalam boleh dikunjungi pada masa itu. Walaupun masih ada peraturan yang mengikat seperti tidak boleh mengambil gambar dan menginap lebih dari satu malam.
Akan tetapi untuk kebutuhan bahan makanan pokok, masyarakat Baduy tak pernah pusing dan kesusahan. Sejauh ini mereka mampu bertahan hidup jauh lebih mandiri dari masyarakat kota. Musababnya, aturan leluhur yang mewajibkan mereka bertani sejak dini membuat stok pangan mereka melimpah.
"Orang Baduy untuk makan itu sebenarnya sudah cukup karena orang-orang Baduy biasanya bertani dan itu berjalan (seperti biasa)," ujar Jaro Saija.
Senada, Mulyono, warga Baduy Luar, menuturkan sejauh ini kebutuhan sehari-hari masyarakat Baduy memang cenderung melimpah. Hal itu sejalan dengan ajaran leluhur yang mengharuskan masyarakat Baduy menyimpan beras di dalam leuit atau lumbung. Terlebih ajaran itu melarang masyarakat Baduy untuk menjual beras.
Menurut Mulyono, masyarakat Baduy yang telah berkeluarga diwajibkan untuk menanam padi paling sedikit luasnya 1/4 hektare. Khusus, masyarakat Baduy Luar, mereka diperkenankan untuk bertani di lahan di luar desa. Meskipun begitu, jika panen tiba, padi tersebut harus dibawa masuk ke dalam desa.
"Kalau kita masih punya stok padi di lumbung jadi nanti bisa numbuk. Jadi kita simpan di leuit dan dari padi yang kita simpan di lumbung itu untuk mengatasi hal-hal krisis seperti sekarang," ujar Mulyono, Jumat (19/6).
Sementara untuk urusan lauk pauk, masyarakat Baduy bisa mengandalkan berbagai jenis sayuran yang bisa mereka olah dari kebun. Juli, warga Baduy Luar, menjelaskan saat ini masyarakat Baduy sedang menyiapkan pembukaan lahan pertanian. Untuk proses pertama masyarakat Baduy akan menanam padi, kencur, dan jahe.
Jahe dan kencur selain saat panen akan dijual, masyarakat Baduy sering memakainya sebagai obat-obatan herbal untuk menaikan stamina dan menjaga daya tahan tubuh selepas dari ladang. Rata-rata masyarakat Baduy yang telah berusia 18 tahun setidaknya bisa mengerti 50 tanaman herbal yang bisa dijadikan obat.
Misalnya, saat terserang flu, masyarakat Baduy akan menggunakan daun honje untuk mandi. Setelah itu mereka akan merebus jahe, daun mahoni, daun kecapi, kulit kayu kecabrang, dan daun laja gowah. Hasil rebusan itu akan dicampur dengan madu atau gula aren dan diminum sebelum tidur.
"Sebelum ada pandemi ini kita sudah membiasakan diri menggunakan ramuan-ramuan kita sendiri seperti minum ramuan rempah-rempah dicampur madu," ujarnya.
Jaro Saija menambahkan sejak awal dilahirkan dan sampai dewasa, salah satu hal yang wajib dipelajari masyarakat Baduy adalah mantra, dan daun-daunan untuk pengobatan penyakit. "Biarpun tidak sekolah formal tapi non formal, belajar, berguru, itu diwajibkan. Itu untuk mengobati orang sakit."
Warga membawa batang pohon yang akan dijadikan kayu di Kampung Baduy Luar, Lebak, Banten. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Tokoh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Abdon Nababan menjelaskan sejauh ini masyarakat adat sangat sadar dan peduli adanya pandemi corona. Menurutnya, masyarakat adat termasuk Suku Baduy mafhum virus corona akan sulit mereka kendalikan karena kemampuan mereka untuk mengobati sangat kecil.
Dengan populasinya yang sedikit, masyarakat adat menilai dengan adanya penyakit baru dan sifatnya massal bisa memusnahkan mereka. Sehingga demi menjaga populasi yang kecil itu, mereka melakukan protokol kesehatan yang sudah inheren terhadap ketentuan adat. Terlebih pola kehidupan kolektif komunal membuat penyebaran penyakit sangat mudah terjadi.
"Kalau belum tersedia obat tradisional yang mereka kenal dan harus mengandalkan obat medis di kota dan untuk mencapai kota itu luar biasa susahnya," jelas Abdon kepada kumparan, Kamis (18/6).
Menurut Abdon, langkah pertama yang bisa dilakukan ketika masyarakat Adat mengetahui adanya ancaman adalah dengan menggelar ritual tolak bala. Ritual itu seperti early warning system atau membangun kewaspadaan sekaligus meminta kekuatan dan perlindungan kepada leluhur agar sama-sama bisa menghadapi ancaman.
Lebih lanjut, kondisi ekosistem Baduy yang sejauh ini masih terjaga membuat masyarakat Baduy bisa lebih tegar dan mandiri dalam melewati masa krisis pandemi corona. Sumber pangan yang melimpah membuat masyarakat Baduy relatif aman dibandingkan masyarakat adat lain yang wilayah adatnya sudah dimasuki konsesi yang merusak lahan pertanian.
"Jadi saya tidak begitu khawatir kalau misalnya ke Baduy tidak masuk wisatawan mereka akan makan saja dan sehat-sehat saja. Karena mereka memiliki lumbung padi selalu terisi, perkebunan, hampir kebutuhan dari luar kan kecil," tutupnya.
* * *
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
* * *
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.