Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Caleg harus ‘dermawan’ saat kampanye. Jutaan uang diumbar untuk belanja spanduk caleg, relawan, atau pengumpulan warga.
Pemilu adalah pesta rakyat, setidaknya itulah yang dirasakan oleh Mamat ketika musim kampanye tiba. Ia memanen duit dari para caleg, upah membantu menggaet konstituen.
“Tahun pemilu buat saya tahunnya duit,” aku Mamat—bukan nama sebenarnya—kepada kumparan pada Kamis malam (7/3).
Sejak September 2018 lalu ia beberapa kali kelayapan menembus malam di Jakarta Selatan. Seorang rekan membantunya memeluk lima spanduk bergambar salah seorang caleg. Mata mereka jelalatan mencari titik yang pas untuk memasangnya.
Jasa pemasangan spanduk ini tak dilakukan karena kerelaan. Jerih payah memasang spanduk biasanya tergantung kedermawanan caleg, tapi rata-rata ia menerima upah Rp 100 ribu. Upah itu belum ditambah dengan ongkos bensin, rokok, dan kopi, senilai Rp 250 ribu.
“Mereka pasti sudah nanya ke yang lain juga berapa sih biaya pasang spanduk. Untuk sekarang dipukul rata Rp 100 ribu per spanduk,” jelasnya.
Pekerjaan ini tak didapatnya dengan sembarangan. Mamat duduk sebagai koordinator kelurahan di jajaran relawan dari caleg untuk DPRD DKI Jakarta yang spanduknya ia pasang. Ia mendapat jatah pemasangan spanduk di satu kelurahan.
Paling tidak dengan jatah ini ia dapat memasang 10 spanduk di wilayah kelurahannya dengan tenggat pemasangan 10 hari. Mamat dapat meraup duit Rp 1 juta dari jasa pemasangan spanduk.
Pada pileg 2019 kali ini, Mamat tak hanya bergabung dalam satu relawan caleg saja. Ia mengaku duduk sebagai relawan empat caleg dari dua parpol berbeda. Artinya dari jasa pemasangan spanduk saja ia dapat meraup Rp 4 juta.
Rezekinya masih bertambah jika spanduk yang dipasangnya rusak dan caleg tersebut minta pasang ulang. Upah pemasangan ulang tetap Rp 100 ribu.
Mamat pun punya akal untuk menjaga caleg agar tetap ‘dermawan’. Ia tak bakal menyelesaikan pemasangan spanduk sebelum sebagian upah dibayar. Biasanya ia memasang lima spanduk lebih dulu, selebihnya baru dipasang sesudah dibayar.
“Saya memasang sampai jam 2.30 dini hari. Untungnya saya enggak pasang semua. Kalau saya pasang semua, saya yang makan hati,” imbuh ayah dua orang anak ini.
Namun semarak rezeki pemilu yang dinikmati Mamat ini tak dirasakan sama oleh pengusaha percetakan spanduk. Effendi, pemilik percetakan CV. Effendi, mengaku kenaikan omzet percetakannya meningkat tetapi tak semelonjak ketika pilkada atau pemilu sebelumnya.
Saat hari biasa, omzet Effendi sekitar Rp 200-500 juta sebulan. Ketika pemilu 2014 dan Pilkada perputaran uang di percetakannyanya mencapai Rp 2-5 miliar. Namun pada pemilu 2019 kali ini perputaran uang itu hanya sekitar Rp 700 juta.
“Kalau sekarang nggak menyentuh Rp 1 miliar, paling banyak Rp 700 juta. Menurunnya begitu,” aku Effendi ketika ditemui pada Kamis (7/3).
Ia mengaku dulu karyawannya sampai harus kerja siang-malam. Sekarang saat pemilu serentak tak ada pesanan yang menggunung.
Pelanggannya pun tak hanya berasal dari Jakarta saja. Daerah di luar Pulau Jawa banyak yang memesan alat peraga kampanye pada perusahaannya seperti dari Papua, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Beberapa pelanggan pun masih ada yang mengutang, seperti kliennya dari Sulawesi. Tetapi ia tetap melayani permintaan mereka karena sudah langganan.
Menurunnya permintaan cetak juga dirasakan oleh Pemilik CV Mitra Utama, Yulianto. Ia biasa melayani permintaan cetak baliho caleg dari luar pulau Jawa, seperti dari Gorontalo, Makassar, Manado, dan Aceh, juga memesan di perusahaannya.
Menurut Yulianto biasanya para caleg memesan dengan berbagai macam ukuran. Ada yang 60x90 cm, 1x2 meter, 1x3 meter, dan 1x5 meter. Untuk masalah bahan yang digunakan, Yulianto menjelaskan bahwa para caleg menggunakan bahan dengan harga termurah yakni Rp 13 ribu per meter.
Untuk masalah pembayaran, Yulianto menerapkan down payment (DP) 50 persen dari jumlah keseluruhan pesanan. Sementara sisa pembayarannya bisa dilunasi setelah seluruh pesanan selesai dicetak.
Akan tetapi menurut Yulianto khusus pemilu tahun ini para pegiat usaha percetakan spanduk sedikit mengalami penurunan pendapatan dibandingkan pemilu sebelumnya. Ia mafhum karena dulu alatnya masih sedikit, sekarang banyak pengusaha di daerah sudah memiliki alat cetak sendiri.
“Jadi kalau untuk kerjaan (mencetak spanduk) pileg dan pilpres itu range-nya variatif dari puluhan sampai ratusan (juta). Di atas tus-tus (ratusan juta-red) ada juga,” kata Yulianto kepada kumparan di tokonya, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Jumat (8/3).
Migrasi pemesanan cetak baliho dari Jakarta ke daerah memang dilakukan oleh beberapa caleg untuk DPR RI. Caleg Partai Demokrat, Jhoni Allen Marbun, mengaku pada 2014 lalu ia masih memesan alat peraga kampanye dari Jakarta. Kali ini ia sudah memesan di dapilnya, Sumatera Utara 2.
Namun soal belanja, kocek yang harus dirogoh dari kantongnya tetap besar yakni Rp 180 juta.
“Katakanlah yang 1 x 2 meter kali Rp 9 ribu, berapa Rp 18 ribu, kali 1000 aja anggap, cuma Rp 180 juta,” ucapnya.
Rekan separtai Jhoni, Roy Suryo, yang duduk sebagai caleg di DIY menyebutkan dirinya lebih mengutamakan pembuatan baliho besar dan billboard. Ia harus merogoh kocek sebesar Rp 700 ribu untuk baliho besar. Sementara untuk baliho yang ukurannya di bawah lima meter harganya sebesar Rp 500 ribu.
“Saya harus bilang terus terang saya hanya keluar biaya cetak. Ya kira-kira at least Rp 100 juta sampai Rp 150 jutaan untuk media luar ruang ini,” katanya.
Roy mencetak 12 spanduk raksasa dengan berbagai ukuran mulai dari 10 x 5 meter, 8 x 4 meter, dan 4 x 6 meter. Ke-12 spanduk besar tersebut tersebar di tiga tempat yakni di Bantul, Sleman, dan Kota Yogyakarta.
Besarnya pengeluaran pembuatan spanduk dan baliho juga dirasakan betul oleh Anggota Bidang Komunikasi Partai Gerindra Andre Rosiade. Andre yang baru pertama kali maju sebagai calon anggota legislatif dari dapil Sumatera Barat 1, sadar betul bahwa pembuatan APK perlu dilakukan untuk menaikan elektabilitas dirinya.
Tidak main-main, untuk biaya mencetak spanduk selama kampanye Pemilu 2019, Andre sudah menghabiskan biaya sebesar satu miliar rupiah. Jumlah itu belum dihitung dengan biaya pemasangan billboard dan baliho sebelum dirinya ditetapkan sebagai Daftar Caleg Tetap (DCT).
“Bayar baliho, billboard itu udah (sampai) Rp 3-4 miliar kali. Tapi (pemasangan itu) udah dua tahun (dan) tiap bulan bayar,” ujarnya di Mal Kota Kasablanka, Rabu (6/3).
Alat Peraga Kampanye memang dianggap alat kampanye mujarab bagi caleg baru. Caleg Partai Nasdem untuk DPR RI dari Dapil Sulawesi Tengah, Moh. Amin menghabiskan Rp 400 juta untuk memampang wajahnya di 13 Kabupaten/Kota Sulawesi Tengah.
Jumlah di atas belum termasuk dengan biaya pemasangan dan kayu yang digunakan sebagai pondasi baliho. “Satu baliho butuh tujuh batang kayu, satu batang Rp 100 ribu. (Total) antara Rp 25-35 juta, itu sudah dengan jasa (pemasangan),” ujar Amin.
Banjir uang di tahun politik
Kucuran rezeki dari caleg tak hanya selesai pada baliho saja. Mamat mengaku juga memberikan jasa pendataan warga yang akan memberikan hak suaranya kepada caleg tersebut. Selain itu Mamat juga mendapatkan upah Rp 150 ribu untuk mencarikan sejumlah saksi TPS bagi caleg tersebut saat hari pemilihan nanti.
“Itu uang lagi, beda sama pembayaran upah spanduk,” katanya.
Mengais rezeki pemilu bukan hanya dilakukan pertama kali oleh Mamat. Pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017, Mamat mendapatkan keuntungan bersih Rp 12 juta selama 2,5 bulan.
Meskipun APK merupakan salah satu faktor pengeluaran terbesar bagi caleg, nyatanya pengeluaran kampanye lainnya juga tak kalah besar jumlahnya. Sumber kumparan yang bekerja sebagai koordinator caleg tingkat kelurahan, setiap caleg bisa merogoh kocek cukup banyak setiap kali melakukan sosialisasi kepada warga.
Tiap caleg akan membuat tim di setiap daerah pemilihannya. Pembagian dibagi ke dalam beberapa kategori. Pertama koordinator kecamatan (korcam), koordinator kelurahan (korkel), dan koordinator RW (korwe).
Sama halnya dengan apa yang dilakukan Mamat, baik korcam, korkel, maupun korwe, turut membantu para calegnya memasang APK di setiap sudut wilayahnya. Selain itu, mereka juga membuat jadwal sosialisasi caleg kepada warga. Biasanya sosialisasi ini akan dilakukan ditingkat RW dengan memanggil masyarakat dari gabungan beberapa RT.
Dalam mempersiapkan sosialisasi tersebut tentu membutuhkan tenda, sound, pemasangan atribut kampanye, dan makanan. Biasanya dalam mempersiapkan acara sosialisasi itu, sumber kumparan mendapatkan upah sebesar Rp 1,5 juta per satu kali sosialisasi.
“Nah bisa dibilang keseluruhan kalau untuk satu acara itu ya hampir sekitar Rp 7 juta. Termasuk sama (upah) saya, kan saya korkel,” ceritanya.
Pengeluaran caleg terbilang sangat besar baik untuk bersosialisasi maupun membayar upah koordinator yang ia bentuk. Setidaknya setiap caleg harus bersosialisasi minimal satu kali di ⅔ dari wilayah pemilihannya.
Jika mengambil sampel untuk pemilihan DPRD Dapil 7 Jakarta yang mencakup lima kecamatan, 34 kelurahan, dan 297 RW, setiap caleg bisa mengeluarkan uang hingga Rp 1,4 miliar rupiah jika melakukan satu kali sosialisasi ditingkat RW di ⅔ wilayah pemilihan.
Andre Rosiade mengakui sosialisasi di masyarakat juga membutuhkan dana yang cukup banyak. “Masa kami ngumpulin masyarakat 100-200 orang masa makanannya nggak kami siapin? Tendanya, kursi, sound system, nggak kita siapin? Itukan butuh biaya.”
Banjir rezeki pemilu belum tuntas hingga kini. Gelar kampanye akbar dari 24 Maret-13 April 2019 diperkirakan bakal menggelontorkan beragam agenda. Tentu tak ada yang gratis dalam agenda itu, banjir rezeki pemilu terus berlanjut.
“Mulai pertengahan Maret akan mulai gede-gedean (uangnya),” pungkas Mamat seraya tergelak.