Lipsus Sertifikasi Pranikah, Square

Bimbingan Pranikah itu Penting, Asal…

29 November 2019 14:28 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bimbingan perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA) Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Bimbingan perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA) Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
"Misalnya yang jadi istri ya… Kamu, Neng. Inget nih, Bapak bilangin dari sekarang... kalau suami pulang, tanya dulu, ‘Bang capek atau enggak?’ Sediain kek barang teh. Kagak punya teh, seenggak-enggaknya aer. Jangan dibanting nih, disodorin baek-baek. Tanya, ‘Bang mau mandi?’ Ada kagak aernya? Udah diisi apa belom? Jangan ujug-ujug langsung ditanya bawa duit berapa!"
Penggalan kalimat itu melekat jelas di benak Imesh Sugiri. Ia mengingat jelas bagaimana materi Kursus Calon Pengantin (Suscatin) yang diikutinya 10 tahun lalu itu dibawakan: selama 2 jam si pemateri berceramah sambil duduk menyilangkan kaki dan merokok.
“Jadi buat gue itu istilah kasur-sumur-dapur buat cewek masih kenceng waktu itu. Patriarkinya masih kenceng banget,” ucapnya mengingat kesan kuat yang ia tangkap ketika mengikuti agenda tersebut di KUA Beji Depok. “Jadinya ya nasihat umum supaya berumah tangga baik, nggak main gebuk-gebukan. Soal duit, istri juga jangan bawel, laki pulang masih capek udah langsung bawel, terus nyebut ‘Capek kan denger bini kayak gitu’. Ketawa seruangan,” paparnya kepada kumparan, pada Kamis (21/11).
Sembilan tahun berlalu, hal yang sama dialami oleh Bardjan Triarti saat daftar menikah di KUA Bogor Barat pada 2018. Petugas KUA di sana menekankan betapa ia dan calon suaminya harus mengikuti agenda bimbingan terlebih dulu. “Dia menekankan harus ikut bimbingan, makanya jadi ‘Wah apakah se-mandatory itu?’ Makanya meluangkan waktu untuk ikut,” ucapnya.
Dalam bimbingan yang berlangsung selama hampir 3 jam di hari Selasa itu, materi yang diberikan lebih banyak soal pembagian peran serta hak kewajiban suami-istri. “Ada soal suami tuh harus nafkahin, wajib. Misalnya kalau udah 3 bulan (tidak menafkahi), itu udah talak-able. Cuma yang bermasalah bagi gue adalah cara penyampaian dari dianya.”
Dari sekian jam pemberian materi, guyonan seksis dan penekanan wajibnya istri melayani suami mendominasi isi ceramah itu. Salah satu nasihat yang dilontarkan fasilitator dari KUA adalah calon istri tidak boleh menolak permintaan suami untuk berhubungan seks. “Karena itu akan dilaknat sampai pagi atau shubuh, lupa. Gue bisa aja nanya, kalau ceweknya yang mau tapi ditolak gimana? Tapi gak jadi karena dia menunjukkan diri sebagai orang yang paling mengerti,” ujar Bardjan.
Cover Lipsus Sertifikasi Pranikah. Foto: Maulana Saputra/kumparan
Di tahun itu Kementerian Agama tengah merevitalisasi program Suscatin yang telah berlangsung puluhan tahun. “Di KUA-KUA sebenarnya sudah ada pendidikan pranikah, tapi kan itu sangat terbatas karena waktunya ya hanya dua jam begitu. Kemudian materinya yaa lebih normatif dan metodenya juga ceramah, kita nilai ini kurang memadai untuk merespons kenyataan perceraian tinggi, KDRT tinggi, child abuse, konflik relasi pasangan suami istri, dan seterusnya,” papar mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin saat dihubungi kumparan.
Maka sejak akhir 2016, ketika masih menjabat sebagai Menteri Agama, ia beserta jajarannya dengan mengundang berbagai lembaga menyusun program bimbingan untuk calon pengantin yang lebih terstruktur, sistematis, memiliki standar kurikulum bimbingan pranikah, dan fasilitator yang telah berlisensi. Sebab, baginya ketahanan keluarga menjadi sesuatu yang sangat strategis dalam menyikapi berbagai masalah sosial kemasyarakatan.
Suscatin pun berganti nama menjadi Bimbingan Pranikah yang dilangsungkan selama dua hari dengan tujuh materi. “Kalau dulu Suscatin itu hanya dua jam, metodenya ceramah, materinya hanya fikih munakahat (fikih pernikahan). Dengan bimbingan perkawinan calon pengantin ini hampir semua yang dibutuhkan catin disediakan. Dari aspek agamanya, aspek psikologisnya, aspek kesehatannya, dan pendidikan anaknya,” ujar Kasubdit Keluarga Sakinah Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam, Muhammad Adib Machrus.
Materi yang diberikan dalam program ini mulai dari Keluarga sakinah, Dinamika keluarga, Memenuhi kebutuhan keluarga, Menjaga kesehatan reproduksi, Menyiapkan generasi berkualitas, serta Mengelola konflik dan membangun ketahanan keluarga. Menurut Lukman, hal-hal seperti hakikat keluarga, psikologi keluarga, dan relasi pasangan suami istri agar jangan sampai ada dominasi satu kepada yang lain amat perlu ditekankan.
“Selain itu juga pengelolaan konflik, kesehatan reproduksi, sampai perencanaan keuangan keluarga itu penting. Tidak hanya hal-hal yang menyangkut keagamaan,” ujarnya.
Setelah dua tahun lebih berjalan, program bimbingan pranikah ini diakui Adib belum berjalan secara merata di semua KUA. “Fasilitator kita belum mencapai 2000, masih 1.900-an. Sementara KUA yang ada itu 5.954, jadi masih jauh… idealnya kan satu KUA punya satu fasilitator,” ucap Adib. Bukan cuma persoalan jumlah fasilitator yang belum memadai, kualitas dan jam terbang fasilitator pun masih menjadi PR yang harus diselesaikan.
Adib tak mau banyak berkomentar terkait wacana pemerintah yang akan mewajibkan program ini untuk semua calon pengantin. Menurutnya sifat wajib itu berlaku untuk pemerintah bukan warganya. “Pemerintah wajib menyediakan layanan itu, begitu cara bacanya. Sampai kapan pun susah mewajibkan program ini karena konsekuensinya berat dan sudah pasti akan ada pro kontra.”
Sertifikasi atau Bimbingan Perkawinan Foto: Kiagoos Aulianshah
Berbeda halnya dengan KUA sebagai bagian dari lembaga negara, institusi gereja baik itu di Katolik maupun Protestan mewajibkan bimbingan pranikah kepada setiap pasangan calon pengantin. Meskipun berbeda untuk setiap gereja atau masing-masing keuskupan, tapi pada umumnya pendidikan pranikah harus diikuti paling tidak tiga atau enam bulan sebelum pernikahan berlangsung.
Melisa Lolindu dan Renaldy Taroreh misalnya, pasangan ini merasa pendidikan pranikah yang diselenggarakan gerejanya amat sangat berguna. Mereka dengan senang hati menghadiri program kelas pranikah bernama Preparing Together yang berlangsung setiap Senin malam selama tujuh pekan berturut-turut di Jakarta Praise Community Church.
“Ketika melalui kelas demi kelas, kita jadi semakin tahu, semakin dibekali. Tadinya kita bingung soal keuangan tapi lalu jadi ngerti, semakin diingetin soal pembagian peran suami istri,” ucap Melisa saat ditemui kumparan di Grand Indonesia, Jakarta Pusat, pada Senin (25/11).
Sebab dalam kelas ini dipastikan betul masing-masing sudah siap menghadapi pernikahan. Materi yang diberikan mulai dari kesepadanan baik dalam hal visi pernikahan, mental dan kerohanian, juga identifikasi personal. Mulai dari menentukan tujuan pernikahan hingga pembagian tugas pengasuhan, pembagian kerja rumah tangga, bahkan soal belanja bulanan turut dibahas. Selain itu juga persoalan kesehatan dan hubungan seksual hingga finansial keluarga menjadi materi pokok yang diberikan.
Pasangan calon pengantin Melisa dan Renaldy. Foto: Dok. Istimewa
“Di kelas itu disampaikan yang harus dipersiapkan dalam hal keuangan, kebutuhan jangka pendek, kebutuhan jangka panjang, nabungnya berapa, untuk kesehariannya berapa, gajinya mau dipisah atau digabungin,” papar Renaldy. Pasangan ini merasa kelas itu benar-benar membuat mereka terbuka dengan segala kemungkinan yang ada di masa depan, seperti perbedaan penghasilan suami dan istri serta rencana jumlah anak, serta bagaimana persiapan keuangannya.
“Bagusnya materi itu diberikan secara objektif. Di kelas itu disampaikan, yang ngatur keuangan yang penting yang lebih jago matematikanya, mau cewek atau cowok, yang penting siapa yang lebih bisa ngerem,” ujar Renaldy. Frasa ‘sesuai kesepakatan bersama’ menjadi hal penting yang ditekankan dalam program pendidikan pranikah itu.
Kelas yang berlangsung selama tujuh minggu itu diberikan oleh sepasang fasilitator, suami istri, yang telah mengarungi bahtera rumah tangga setidaknya 15 tahun. Tak cuma telah berpengalaman, para fasilitator ini biasanya memiliki landasan ilmu ekonomi atau psikologi. Masing-masing fasilitator akan mendampingi 3-4 pasangan calon pengantin saja.
Setiap kali sebelum mengikuti kelas tatap muka, para calon pengantin mengikuti kelas online dan wajib mengisi beberapa pertanyaan yang diajukan. “Salah satu pertanyaannya rencana kalian lima tahun ke depan apa, rencana 10 tahun ke depan apa, rencana punya anak berapa, dan ada pertanyaan gimana kalau nggak punya anak,” tutur Melisa.
Ia membayangkan jika dirinya dan Renaldy belum pernah membahas segala kemungkinan itu barangkali ia akan bingung dan terkejut dalam menjawab berbagai tanya itu. “Jadi kayak mereka nunjukin kemungkinan-kemungkinan paling pahitnya di depan, jadi harus bener-bener siap. Bukan cuma karena aku cinta kamu dan kita punya uang untuk menikah, tapi bener-bener siap mentalnya.”
Dalam proses bimbingan ini, pasangan yang dinilai belum siap atau belum bersepakat mengenai hal-hal tertentu kerap disarankan untuk menunda atau bahkan membatalkan pernikahannya. “Dia mengukur kedalaman hubungan itu, jangan cuma karena mabuk cinta lalu menikah. Karena kan tujuannya menekan angka perceraian,” ucap Melisa.
Selama mengikuti kelas itu, setiap pasangan akan diberikan buku panduan yang juga sekaligus menjadi buku catatan. Buku itulah yang menjadi tanda bahwa pasangan tersebut telah melalui proses bimbingan pranikah.
12 modul program Membina Rumah Tangga (MRT) Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Foto: Tio Ridwan/kumparan
Hal serupa juga dilakukan oleh Keuskupan Agung Jakarta. Program persiapan pranikah yang semula bernama Kursus Persiapan Perkawinan (KPP) berganti nama sejak 2017 menjadi Membangun Rumah Tangga (MRT).
“Dibacanya bukan em-ar-ti, tapi em-er-te,” canda Romo Alexander Erwin Santoso di Gedung Karya Pastoral Keuskupan Agung Jakarta, Selasa (26/11). Proses persiapan perkawinan di Katolik diatur di dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 yang kemudian diturunkan menjadi program dengan format yang mungkin berbeda di masing-masing keuskupan.
Kini KAJ tak lagi mengeluarkan sertifikat untuk para calon pengantin, tapi buku panduan yang sekaligus menjadi buku catatan selama mengikuti bimbingan pranikah. Buku tersebut diberikan masing-masing calon pengantin, baik calon suami maupun istri. Tidak hanya bahan ajar, buku itu juga memuat daftar tanya-jawab yang wajib diisi.
Dalam kelas pranikah yang berlangsung selama dua hari itu ada sekitar 12 topik yang disampaikan. Mulai dari Inilah Diriku, Keluarga Berbicara, Mewujudkan Pengharapan, Memahami Cinta, Perkawinan pada Umumnya, Perkawinan Sakramental, Tata Cara Upacara Perkawinan, Pengelolaan Keuangan, Mengolah Rohani, Menghadirkan Kristus di Rumah, Pengaturan Kelahiran, dan Kita dalam Misi.
Jika dulu KPP berbasis ceramah, maka MRT lebih menekankan keaktifan pasangan calon pengantin dalam menjawab berbagai pertanyaan dalam buku itu. Setiap jawaban atas pertanyaan di masing-masing tema menjadi bekal sang pastor untuk mewawancarai masing-masing pasangan secara terpisah.
Ketua Komisi Kerasulan Keluarga (Kom-KK) KAJ, Romo Alexander Erwin Santoso. Foto: Tio Ridwan/kumparan
“Dengan bantuan melalui buku pegangan itu jadi akan sangat membantu para imam yang akan menyelidiki orang-orang yang akan menikah ini,” ujar Romo Erwin. Penyelidikan yang dimaksud untuk memastikan keyakinan dan kesiapan masing-masing pihak yang akan menikah.
Pengelolaan keuangan, hubungan seksual, dan persiapan kehamilan menjadi salah satu bahasan yang diulas khusus selain soal hakikat perkawinan, cinta, dan keluarga. Buku tersebut bahkan memuat tentang rencana anggaran pengeluaran bulanan hingga tabungan, selain itu juga soal alat kontrasepsi alami yang justru lebih dianjurkan gereja.
“Bagaimana gereja katolik memandang pengaturan kelahiran, misalnya seperti hanya menggunakan KB alami. KB alami artinya melihat kapan istri tidak subur. Karena di gereja katolik itu, tidak menganjurkan ada kondom, sterilisasi, IUD, dan sebagainya,” paparnya.
Menurut Romo Erwin, buku itu menjadi penting sebagai standar baku bimbingan perkawinan di lingkup Jakarta. “Dulu orang mengajar dengan bahan yang berbeda, sesuai masing-masing kemampuannya. Sekarang sudah distandardisasi.”
Tak cuma melalui buku, fasilitator bimbingan pernikahan pun memiliki kualifikasi khusus. “Pengajarnya harus ikut training di tempat kami, di Komisi Kerasulan Keluarga. Setelah ikut training itu ada sertifikatnya. Dan sertifikatnya itu will be expired in three years,” ucap Romo Erwin. Ia juga membatasi usia pengajar mulai dari 25-55 tahun karena mempertimbangan jarak masa antara fasilitator dengan calon pengantin agar masih relevan.
“Bayangin kalau yang ngasih materi umur 70 tahun, ini kejauhan sama mereka umur 25-30 tahun yang mau nikah. Nanti diajarinnya dulu begini-begini,” imbuhnya. Selain itu menurutnya pengabdian kepada gereja itu seharusnya tak dilakukan setelah pensiun. “Kalau mau memberikan pelayanan jangan sisa, jangan ketika you udah enggak diterima di tempat lain, you kasih di sini (gereja). Nanti adanya apa? Kekuasaan yang dilanjutkan.”
Romo Suherman Widjaja di BSD, Tangerang. Foto: Prabarini Kartika/kumparan
Berbeda dari Katolik dan Protestan, Buddha tidak menjadikan pelatihan pranikah sebagai syarat perkawinan. Menurut penuturan Romo Suherman Widjaja, wihara yang memiliki bimbingan perkawinan adalah wihara yang mampu membuat acara tersebut. Jika tidak mampu, maka tidak akan dipaksakan. Semua tergantung pilihan masing-masing.
Pelaksanaan bimbingan pranikah salah satunya diselenggarakan wihara di Kelapa Gading. Biasanya pelaksanaan bimbingan pranikah berlangsung selama tiga kali pertemuan dalam tiga pekan. Materi yang diberikan mulai dari aspek religi, aspek kesehatan, hingga aspek keuangan.
“Untuk aspek kesehatan, yang kasih materi background-nya dokter. Untuk materi fondasi keluarga Budhis, terkait aspek keagamaannya, diberikan oleh pasangan yang sudah pengalaman tapi dibawa juga ke aspek psikologisnya. Lalu aspek keuangan yang di realitanya seringkali memicu konflik,” paparnya saat ditemui kumparan di sekitar BSD.
Materi yang diberikan memang lebih bersifat universal sebab menurutnya mereka yang berumah tangga tidak selalu menjadi rohaniawan. “Kan yang berkeluarga bukan untuk jadi rohaniawan, tapi umat biasa. Ya umat kalau dibekalinya cuma religi, nanti nggak bisa makan,” kelakar Romo Suherman.
Maka, menurut Imesh, pro kontra yang muncul semenjak wacana mewajibkan program bimbingan pranikah bergulir barangkali bukan karena ide pendidikan pranikahnya melainkan isi materi dan cara penyampaiannya yang masih diragukan.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten