Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Semua orang yang bergerak menumbangkan Orde Baru pada 1998 pasti tahu Wiji Thukul. Banyak aktivis era itu, ketika dilanda ketakutan saat berhadapan dengan kokangan Orde Baru, menggumamkan bait-bait sajaknya untuk membulatkan tekad, menggenapkan nyali.
ADVERTISEMENT
Thukul tumbuh bersama gerakan mahasiswa yang meruntuhkan rezim Soeharto --penguasa mutlak Republik Indonesia selama 32 tahun.
Lelaki kerempeng itu bukan pahlawan kesiangan yang mendadak muncul. Dia ikut membangun sel prodemokrasi pada awal 1990-an. Di Surakarta, dia telah terbiasa berkutat dengan tetek bengek perlawanan.
Sejumlah orang pernah berada dekat dengan Thukul. Salah satunya Nezar Patria, pegiat pers yang waktu itu masih berkuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Dia salah satu mahasiswa di pusat gerakan prodemokrasi, menjabat Sekretaris Eksekutif Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) --organisasi mahasiswa paling ditakuti jelang Reformasi.
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!
ADVERTISEMENT
Menggulingkan Orde Baru bukan membalik telapak tangan. Perlu kerja keras tak singkat. Pergerakan bawah tanah dibangun dari rapat ke rapat, orasi ke orasi, dan aksi ke aksi.
Itulah yang menyatukan kelompok mahasiswa prodemokrasi dan Wiji Thukul sebagai buruh dan seniman.
Nezar pertama kali kenal Thukul pada satu aksi demonstrasi mahasiswa di Bundaran UGM tahun 1993. Unjuk rasa tersebut menyuarakan isu yang hangat saat itu, yakni soal tanah.
“Di tengah Bundaran UGM, Thukul membacakan puisi protes,” kata Nezar kepada kumparan, Selasa (17/1).
Ketika itu, kesadaran untuk bergerak bersama mulai terbangun. Kerja aktivis prodemokrasi pada periode ini amat penting, lebih krusial dari demo besar-besaran yang berhasil menduduki Gedung MPR/DPR RI pada Mei 1998.
ADVERTISEMENT
Pada fase tersebut, Thukul bergerak di dunia advokasi dan agitasi.
“Kebetulan SMID sering melakukan aksi dan advokasi terhadap orang yang terkena dampak ketidakadilan pembangunan, dan di aksi-aksi itu kami sering bertemu Thukul,” ujar Nezar, membuka lagi ingatannya.
Di masa itu, puisi Thukul tidak melulu dibacakan di UGM. Nezar melihat Thukul aktif membaca puisi dari kampus ke kampus.
“Ada pembacaan puisi khusus oleh Wiji Thukul di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta yang disambut meriah oleh penonton,” kata Nezar.
Simpul gerakan antarmahasiswa terikat oleh rangkaian kata dalam puisi Thukul. Seketika Thukul menjadi panutan baru.
“Pada Thukul, mahasiswa menemukan kejujuran. Orang biasa yang protes terhadap keadaan. Thukul bukan seorang yang berjarak dengan praktik ketidakadilan,” ujar Nezar.
ADVERTISEMENT
Lanjutnya, “Thukul bukan seseorang yang tangannya tidak pernah kotor untuk bekerja, tidak pernah merasakan upah tak layak untuk bisa menghidupi keluarga.
Semua penderitaan itu dilakoni Thukul, sehingga puisi-puisinya itu terasa jujur.”
kita tidak sendirian
kita satu jalan
tujuan kita satu ibu: pembebasan!
kutundukkan kepalaku
kepada semua kalian para korban
sebab hanya kepadamu kepalaku tunduk
kepada penindas
tak pernah aku membungkuk
aku selalu tegak
Berawal dari peristiwa penyerangan markas Partai Demokrasi Indonesia pada 27 Juli 1996, Nezar dan beberapa aktivis prodemokrasi masuk dalam daftar buron. Begitu pula Thukul menjadi buron. Gerakan prodemokrasi dituding sebagai pemicu kerusuhan.
Thukul tergabung dalam organisasi Jaringan Kerja (Jakker) yang dekat dengan SMID dan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Demikianlah Nezar dan Thukul dipertemukan nasib, bernaung dalam organisasi-organisasi yang paling dibenci Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Pada masa gawat itu, Nezar dan kawan-kawan mahasiswa lain berada di Jakarta, sedangkan Thukul mengasingkan diri ke Pontianak. Hingga mereka bertemu lagi akhir 1997.
“Saya kemudian tinggal serumah dengan Thukul di daerah Kemayoran. Kurang lebih dua bulanan,” ujar Nezar.
Tinggal di tengah buruan aparat, Nezar mengenal lebih jauh soal Thukul. Di matanya, Thukul selalu mau belajar, rajin mengajak diskusi, dan tertarik dengan hal-hal baru.
“Suatu ketika di tengah pelarian,” cerita Nezar, “Thukul mengajak saya menonton film di Festival Kebudayaan Perancis di Jakarta.”
Tentu saja ada ketakutan. Bisa jadi ketika asyik menonton, intel ABRI datang menyergap.
“Saya sudah bilang kepada Thukul bahwa ini berbahaya, sebab kita sedang dicari.”
Tapi Thukul tetap berkeras. “Aku hanya ingin menonton film itu,” kata dia pada Nezar.
ADVERTISEMENT
Bahkan Thukul sempat bergurau, “Saya kira para intel tidak suka acara kebudayaan yang tinggi seperti Festival Film Perancis ini.”
Eskalasi ketegangan terjadi di Republik ini pasca-Sidang Umum MPR, Maret 1998, karena Soeharto diangkat lagi sebagai presiden.
Tapi saat itu, Nezar dan sejumlah aktivis SMID tak sempat ikut dalam demo besar-besaran. Mereka diculik dua hari setelah Sidang Umum MPR.
Mugiyanto adalah nama lain anggota SMID yang ikut diculik. Dia tinggal bersama Nezar di Rumah Susun Klender. Mugi, Nezar, dan seorang lagi kawan mereka, Aan Rusdianto, diseret dari Rusun Klender pada 13 Maret 1998.
Mereka disekap dan disiksa.
“Ketika saya sedang disekap, saya ditanyai di mana keberadaan Thukul,” ujar Mugi ketika ditemui kumparan di Jakarta Selatan, Senin (16/1).
ADVERTISEMENT
Jelas di mata penguasa, Thukul bukan orang sembarangan.
Meski keberadaan Thukul tak diketahui saat demonstrasi besar berlangsung untuk menjungkalkan Soeharto, bait-bait syairnya diteriakkan oleh hampir seluruh organ mahasiswa dan aktivis prodemokrasi.
jika kami bunga
engkau adalah tembok
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan: engkau harus hancur!
di dalam keyakinan kami
di manapun -- tirani harus tumbang!
“Puisi Wiji Thukul dibaca di mana-mana, meskipun orangnya entah di mana,” cerita Nezar.
Jiwa Thukul merasuk bersama untaian kata-katanya, menyalakan api keberanian di dada para mahasiswa.
Mereka bergerak dalam suasana batin yang sama, untuk segera mengakhiri otoritarianisme Orde Baru.
“Thukul mempertajam gerakan dan memberikan kekuatan, semangat yang kemudian menjadi mantra untuk melawan kediktatoran. Lewat puisinya ‘hanya ada satu kata: lawan!’”
ADVERTISEMENT
Sampai di situ, takdir memisahkan Thukul.
Nezar kembali bersama Mugi dan Aan setelah beberapa bulan ditahan. Sementara Thukul lenyap tak berbekas.
Ini tahun ke-19 Thukul belum kembali. Setelah Orde Baru tumbang berkat pahatan kata-katanya yang bak peluru.
Maka Wiji Thukul adalah sang peluru yang menembus urat nadi Orde Baru.
Kepadanya, kita berutang mencarikan jalan pulang.
Kenali Wiji Thukul lebih dalam