Dewas KPK Jawab Laporan ICW, Firli Bahuri Tak Langgar Etik Terkait OTT UNJ

13 November 2020 20:02 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua KPK Firli Bahuri menggelar konferensi pers di Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (7/1).  Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua KPK Firli Bahuri menggelar konferensi pers di Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (7/1). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Dewan Pengawas (Dewas) KPK menjawab laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) atas dugaan pelanggaran etik Ketua KPK, Komjen Firli Bahuri dan Deputi Penindakan KPK, Irjen Karyoto, terkait OTT pejabat Universitas Negeri Jakarta (UNJ) di Kemendikbud pada Mei lalu.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya ICW melaporkan Firli dan Karyoto ke Dewas pada 26 Oktober. Laporan tersebut dibalas Dewas pada 9 November. Dewas menyatakan Firli dan Karyoto tidak melanggar etik terkait OTT tersebut.
"Pada 9 November 2020, Dewan Pengawas mengirimkan surat kepada ICW yang pada intinya menyebutkan bahwa Firli Bahuri dan Karyoto tidak terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku dalam penanganan perkara OTT UNJ," ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, dalam keterangannya pada Jumat (13/11).
Kurnia menyatakan dalam surat tersebut, Dewas membeberkan 4 poin yang membuat Firli dan Karyoto tak melanggar etik. Berikut poin-poinnya:
Dewan Pengawas KPK. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
"Dalam surat tersebut Dewan Pengawas juga mengakui terdapat kelemahan-kelemahan dalam penanganan kasus tangkap tangan atas dugaan tindak pidana korupsi di Kemendikbud," ucap Kurnia.
Kurnia Ramadhana, peneliti ICW di diskusi terkait RUU KPK di kantor ICW, Jakarta, Jumat (20/9/2019). Foto: Nugroho Sejati/kumparan

Tanggapan ICW

Atas surat balasan Dewas, Kurnia memberikan tanggapan. Pertama, Kurnia menyatakan argumentasi Dewas melenceng dari substansi putusan etik yang sebelumnya dijatuhkan terhadap mantan Direktur Pengaduan Masyarakat KPK, Aprizal.
Kurnia menyatakan putusan Dewas justru memuat percakapan antara Aprizal dan Firli. Kurnia menilai dalam percakapan tersebut, Firli memaksakan agar perkara yang awalnya ditangani Inspektorat Kemendikbud diambil alih KPK.
"Padahal, saat itu Apz (Aprizal) sudah menyebutkan bahwa perkara itu tidak melibatkan penyelenggara negara, namun Firli mengabaikan informasi tersebut," kata Kurnia.
Sehingga Kurnia berpendapat sebenarnya Firli melanggar kode etik, yakni Pasal 5 ayat (1) huruf c, Pasal 5 ayat (2) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf c Peraturan Dewas Nomor 2 Tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Kedua, kata Kurnia, Dewas seakan membenarkan pelanggaran prosedur penanganan perkara OTT UNJ. Kurnia merujuk pertimbangan putusan Dewas bahwa keputusan KPK menangani perkara OTT UNJ dilakukan dengan media komunikasi online atau WhatsApp.
"Tentu hal ini tidak lazim, sebab, bagaimana pun keputusan krusial, terlebih pada bagian penindakan, mestinya dilakukan dengan forum gelar perkara yang mempertemukan pimpinan dengan jajaran Kedeputian Penindakan, disertai Tim Pengaduan Masyarakat," kata Kurnia.
"Untuk itu, koordinasi melalui media komunikasi tentu tidak dapat dibenarkan," lanjutnya.
Ketiga, kata Kurnia, Dewas mengingkari prosedur pelimpahan perkara ke instansi penegak hukum lain. Ia menilai terdapat 2 hal yang janggal dalam pertimbangan Dewas terkait mekanisme pelimpahan perkara.
"Pertama, Dewas tidak merincikan situasi apa yang membuat adanya pengecualian prosedur pelimpahan perkara. Sebab, dalam proses pelimpahan perkara OTT UNJ, menurut pandangan ICW, tidak ada situasi khusus yang dapat membenarkan tindakan KPK kecuali dengan melakukan gelar perkara," kata Kurnia.
ADVERTISEMENT
"Kedua, Dewas tidak menjelaskan perihal 'berdasarkan kebijakan Pimpinan KPK”' Pertanyaan lebih lanjut: apa yang dimaksud dengan kebijakan Pimpinan KPK? Pimpinan KPK yang dimaksud oleh Dewan Pengawas merujuk kepada lima orang atau hanya beberapa orang saja? Jika hanya disepakati satu atau beberapa orang saja maka hal itu tidak dapat dibenarkan. Sebab, Pasal 21 ayat (4) UU KPK menyebutkan bahwa Pimpinan KPK bersifat kolektif dan kolegial," sambung Kurnia.
Dewan Pengawas KPK. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Terakhir, Kurnia menilai Dewas kerap tidak profesional dalam menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK. Kurnia menyatakan pihaknya tidak kaget membaca surat balasan Dewas bahwa Firli dan Karyoto tak melanggar etik.
"Sebab, sejak dilantik, praktis Dewas kerap kali abai dalam menegakkan kode etik di internal KPK. Mulai dari tindakan pimpinan tatkala memulangkan paksa penyidik Kompol Rossa Purbo Bekti, simpang siur informasi izin penggeledahan kantor DPP PDIP, sampai pada putusan yang semestinya masuk pada kategori berat namun hanya diberikan teguran terhadap Firli Bahuri," ucapnya.
ADVERTISEMENT
"Ini membuktikan bahwa sebenarnya keberadaan Dewan Pengawas gagal memberikan kontribusi bagi penguatan kelembagaan KPK," tutup Kurnia.
Ilustrasi KPK. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Diketahui dalam kasus OTT UNJ, Dewas KPK menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran lisan terhadap Aprizal. Ia dinilai melanggar etik dan pedoman perilaku yang menimbulkan suasana tegang yang tak kondusif dan harmonis.
Adapun dalam kasus itu, KPK mengakui tidak ada unsur penyelenggara negara dalam perkara tersebut. KPK melimpahkannya ke Polda Metro Jaya.
Namun, pada akhirnya, Polda Metro Jaya menghentikan perkara tersebut karena dinilai tidak cukup bukti.