Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Di Balik Keputusan Erdogan “Bentengi” Qatar dari Saudi
11 Juni 2017 14:00 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
“Ada orang-orang yang tidak nyaman ketika kami berdiri dekat saudara laki-laki kami, Qatar, dan memberi mereka makanan. Saya minta maaf, kami akan terus memberi Qatar dukungan apapun. Sampai saat ini kami belum melihat Qatar mendukung teror.”
ADVERTISEMENT
Pernyataan itu keluar dari mulut Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dalam pidatonya pada acara buka puasa yang digelar Partai Keadilan dan Pembangunan di Ankara, Turki, Jumat (9/6).
Deretan kalimat tersebut sepintas terlihat begitu berani. Negeri berjarak 3.000-an kilometer dari Doha yang menjadi gerbang Asia-Eropa itu terkesan seperti menantang Aliansi Saudi yang kini mengisolasi Qatar dengan pemutusan hubungan diplomatik dan blokade darat, laut, serta udara.
Erdogan menyerukan agar pengucilan terhadap Qatar oleh negara-negara Arab segera dihentikan. Isolasi itu didasarkan pada tuduhan bahwa Qatar mensponsori kelompok ekstremis, teroris, dan sektarian sehingga mengancam stabilitas kawasan.
Ucapan Erdogan tak sekadar pepesan kosong. Reuters melansir, Erdogan telah meneken undang-undang yang mengatur pengerahan pasukan Turki ke Qatar.
ADVERTISEMENT
Proses pengesahan UU itu nyaris sekejap mata. Diajukan melalui parlemen hari Rabu (7/6), UU tersebut langsung ditandatangani oleh Erdogan dua hari kemudian, pada hari yang sama saat ia menyampaikan pidato “akan berdiri tegak di samping Qatar.”
Meski UU disahkan secepat kilat --dan memang dipercepat, sesungguhnya rancangan undang-undang itu telah lama digulirkan sebelum krisis Qatar-Saudi terjadi.
Pengiriman pasukan adalah bagian dari kesepakatan militer Turki-Qatar yang telah terjalin pada 2014, dan sudah sejak tahun lalu Turki berencana membangun pangkalan militer di Qatar --yang diperkirakan akan siap dihuni tahun depan.
Tujuan awal penyusunan UU yang mengatur tentang pengiriman pasukan Turki ke Qatar, sesungguhnya ialah untuk “mengadang” pengaruh Syiah Iran bersama negara-negara Arab Suni, termasuk Aliansi Saudi di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Namun tujuan tersebut tentu kini dipertanyakan menyusul perubahan drastis situasi di Timur Tengah, dengan Qatar menjadi “musuh bersama” negara-negara Teluk. Dan justru, selain Turki, Iranlah yang kini juga mengulurkan bantuan untuk Qatar.
[Baca juga: Iran Akan Pasok Makanan ke Qatar Lewat Laut ]
Surat kabar Turki, Hurriyet, melaporkan Turki akan menempatkan pasukan di sebuah pangkalan militer di Doha sebelum kemudian menyusul mengirimkan pesawat dan kapal perang mereka.
Dua bulan ke depan, Turki disebut akan mengawali penempatan pasukan dengan mengirim sekitar 200-300 tentara. Untuk itu delegasi Turki dikabarkan akan pergi ke Qatar dalam waktu dekat guna meninjau lokasi markas militer yang akan ditempati para tentaranya.
Dalam jangka panjang, Turki merencanakan pangkalan mereka di Qatar --yang memiliki misi utama menjalankan latihan militer gabungan-- akan dapat menampung 3.000-5.000 personel.
ADVERTISEMENT
[Baca juga: Al Jazeera Terhantam Krisis Qatar-Saudi ]
Hubungan Turki-Arab selama ini melewati masa-masa tak menentu. Fehim Tastekin --jurnalis dan analis kebijakan luar negeri Turki, Kaukasus, Timur Tengah, dan Uni Eropa-- dalam artikelnya di Al-Monitor mengatakan, Erdogan sesungguhnya telah berhasil meraih simpati para emir dan raja Teluk awal tahun ini, ketika ia menyatakan perlunya “mencegah ekspansi nasionalis Persia.”
“Nasionalis Persia” yang dimaksud Erdogan itu tak lain ialah Iran yang terletak di seberang Qatar, dan bersama Qatar mengelola ladang gas terbesar di dunia, South Pars/North Dome.
Ucapan Erdogan soal mencegah ekspansi nasionalis Persia itu dinilai banyak pengamat bagian dari pendekatan pragmatisnya agar tak kehilangan dukungan negara-negara Arab.
[Baca juga: Gas Alam Qatar, Sumber “Kedengkian” Arab Saudi ]
ADVERTISEMENT
Di awal krisis Qatar-Saudi merebak, Erdogan melakukan komunikasi telepon diplomatik dengan sejumlah kepala negara untuk mencoba meredakan ketegangan di kawasan.
Erdogan, menurut laporan media Turki Daily Sabah, bicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin serta pemimpin Qatar, Arab Saudi, dan Kuwait. Hari lainnya ia bertelepon dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron, Presiden Indonesia Joko Widodo, Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, Raja Bahrain Hamad bin Isa Al Khalifa, Raja Yordania Abdullah II, dan Perdana Menteri Lebanon Saad Hariri.
Dalam percakapan telepon antara kepala negara itu, Erdogan menyerukan penyelesaian masalah melalui dialog dan diplomasi. Ia juga menyatakan Turki siap memberikan segala jenis dukungan untuk mengurangi ketegangan.
Sejumlah pihak melihat upaya Erdogan itu ia dilakukan demi menghindari hal terburuk: memilih antara Qatar dan Saudi.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, Ankara memutuskan untuk “melindungi” Qatar.
Erdogan yakin, ada motif lain yang menjadi alasan pengucilan atas Qatar. Namun ia tak menjelaskan dengan gamblang kecurigaan apa yang ia maksud.
Namun, menurut Tastekin, tak butuh waktu lama bagi Erdogan untuk menyimpulkan: Turki amat mungkin menjadi target selanjutnya setelah Qatar.
Sama seperti Qatar, Turki selama ini berhubungan baik dengan Ikhwanul Muslimin (Muslim Brotherhood) --yang disebut Aliansi Saudi sebagai kelompok teror. Oleh sebab itu, semua tudingan yang dikemukakan Raja Saudi dan Presiden AS saat menyatakan Qatar sebagai “pendukung terorisme” dapat dengan mudah pula diterapkan pada Turki.
Februari 2017, dalam wawancara dengan media milik Saudi yang berbasis di Dubai, Al Arabiya, Erdogan membela Ikhwanul Muslimin --organisasi Islam terbesar di dunia yang tumbuh di Mesir dan memiliki misi menegakkan syariat Allah-- yang diincar AS untuk dimasukkan ke dalam daftar organisasi teroris.
ADVERTISEMENT
Erdogan dengan tegas mengatakan tak menganggap Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris karena ia “belum melihat aktivitas bersenjata dari mereka.”
“(Ikhwanul Muslimin) bukan kelompok bersenjata, tapi organisasi ideologis. Kami belum melihat ada tindakan mereka yang mengindikasikan (keterkaitan dengan terorisme). Jika mereka terkait terorisme, tentu tak akan ada toleransi untuk Ikhwanul Muslimin di Turki,” ujar Erdogan yang saat diwawancarai berada di Riyadh, Saudi, dalam rangka lawatan kenegaraannya ke negara-negara Teluk.
“Jika mereka diperlakukan sebagai teroris, saya yakin itu bukan hal yang tepat untuk dilakukan,” imbuh Erdogan.
Soal Ikhwanul Muslimin itulah yang ikut memengaruhi keputusan kritis Turki untuk membantu Qatar. Sebab, bukan tak mungkin di masa depan Turki pun akan ikut di-Qatar-kan oleh Aliansi Saudi yang didukung kuat Amerika Serikat --yang bisa berujung pada upaya untuk kembali menjungkalkan Erdogan.
ADVERTISEMENT
Tak mau diperlakukan serupa Qatar, Erdogan pun mempercepat pengiriman pasukan ke Qatar. Untuk jangka waktu panjang, nantinya bakal dibangun Markas Besar Divisi Taktis Turki-Qatar yang dikomandani oleh seorang jederal besar Qatar dan dibantu seorang brigadir jenderal Turki.
Markas Besar Divisi Taktis direncanakan diisi 500-600 tentara, angka yang amat tinggi dibanding jumlah personel militer Turki di Qatar yang kini hanya 95 orang.
Turki, berdasarkan UU pengiriman pasukan yang baru dsahkan, juga dapat melatih 4.000 orang polisi militer Qatar.
[Baca juga: Qatar vs Saudi: Semua yang Perlu Anda Tahu ]
Menurut sumber yang dekat dengan pemerintah Turki, meski Raja Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud mengembangkan hubungan dekat dengan Ankara, namun Qatar memiliki tempat khusus di hati Erdogan, dan Turki melihat Qatar sebagai sekutu terpentingnya di kawasan Teluk.
ADVERTISEMENT
“(Sikap Erdogan) menunjukkan bahwa Turki melihat ikatan pertahanannya dengan Qatar sebagai pilar penting bagi postur strategisnya di kawasan. Ini juga menunjukkan, Ankara tak akan mengubah drastis visi jangka panjangnya karena turbulensi regional,” kata Can Kasapoglu, analis pertahanan EDAM Turki, seperti dikutip dari Al Jazeera, Kamis (8/6).
Meski demikian, para analis menyatakan, keputusan Turki untuk mengirim pasukan ke Qatar tak bisa lantas diartikan bahwa Turki memilih berada di sisi Qatar dalam pertikaian yang mengguncang kawasan Teluk tersebut.
“Sementara Turki menghargai kemitraannya dengan Qatar dan tidak menyetujui kebijakan luar negeri Saudi terhadap Qatar, ia juga tak berniat --dan tak mampu-- untuk berkelahi dengan Saudi,” ujar Atilla Yesilada, analis politik Istanbul's Global Source Partners.
ADVERTISEMENT
Kasapoglu sepakat. “Turki masih memegang prinsip ‘tak ingin ada masalah di antara kebijakan dua teman baiknya.’”
Namun, imbuhnya, “Walau sikap Turki bukan anti-Saudi, ini jelas pro-Qatar. Ankara memprioritaskan perspektif geopolitiknya.”
Turki dan Qatar memiliki sejarah panjang berada di sisi sama dalam konflik regional. Mereka sama-sama mendukung Revolusi Mesir dan mengecam kudeta militer yang membawa Presiden Mesir saat ini, Abdul Fattah as-Sisi, naik ke tampuk kekuasaan.
Keduanya juga menolak Ikhwanul Muslimin dan Hamas dimasukkan dalam daftar organisasi teroris, serta sama-sama mendukung pemberontak Suriah yang berniat menggulingkan Presiden Bashar al-Assad.
Hubungan Turki-Qatar kian dekat ketika Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani menunjukkan dukungan kuat kepada Presiden Erdogan saat terjadi upaya kudeta Juli 2016 di Turki.
ADVERTISEMENT
Qatar dan Turki juga sama-sama menganut strategi “keseimbangan” dalam hubungan mereka dengan Iran, rival Saudi. Strategi tersebut jelas bertolak belakang dengan keinginan Saudi dan Uni Emirat Arab --yang dengan dukungan dan dorongan Presiden AS Donald Trump-- mencoba untuk membentuk satu front kokoh untuk mengisolasi Iran.
[Baca juga: Donald Trump, sang Berandal di Krisis Qatar-Saudi ]
Qatar, akibat penolakannya untuk ikut mengisolasi Iran, dinilai sebagai “rantai” terlemah dalam aliansi negara-negara Arab yang anti-Iran.
[Baca juga: Qatar Terjepit Kobar Api Perseteruan Saudi-Iran ]
Sementara Turki yang memiliki hubungan dagang kuat dengan Iran namun enggan berkonfrontasi dengan tetangga-tetangganya, mendukung pendekatan Doha terhadap Iran.
“Saudi memandang Iran sebagai ancaman eksistensial. Namun Qatar, seperti Turki, memiliki strategi kompleks dan berlapis menghadapi Iran,” kata Yesilada.
ADVERTISEMENT
Meski Turki berselisih dengan Iran di Irak dan Suriah, ia tetap menjaga hubungan dagangnya yang berkembang dengan Iran, dan hal ini membuat Saudi mempertanyakan kekuatan Turki dalam aliansi melawan Iran di Timur Tengah.
Sikap terhadap Iran itu, ujar Yesilada, sekali lagi menempatkan Qatar dan Turki di kubu yang sama.
Kasapgolu yakin, Turki akan melakukan segala cara untuk menolak tekanan AS dan Saudi guna mengubah persaingan historisnya dengan Iran menjadi permusuhan.
Kini setelah secara terbuka berada di sisi Qatar dalam krisis kawasan, Turki bisa jadi mesti merombak kartu-kartunya dalam hubungan regional. Misalnya, ujar Tastekin, “memanaskan” hubungannya dengan Iran, seperti yang juga dilakukan Qatar.
Hal itu amat mungkin sudah dimulai. Rabu (7/6), Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif muncul di Ankara. Ia mengatakan perlu berkonsultasi dengan Turki soal perkembangan berbagaya di kawasan.
ADVERTISEMENT
Tak ada yang pasti dalam politik, termasuk geopolitik. Dan situasi di jazirah Arab yang memanas mungkin berujung pergeseran peta politik.
Aliansi Saudi (dengan sokongan AS) yang semula hendak membentengi Timur Tengah dari pengaruh Iran, kini harus menghadapi konsekuensi yang tak kalah runyam akibat pilihan mereka memutus hubungan diplomatik dengan Qatar: mendekatnya Qatar dan Turki ke Iran (yang dekat dengan Rusia).
Namun pertarungan geopolitik hampir pasti tak sesederhana itu, dengan banyak faktor kejutan meletup di sana-sini.
Dr. Ali Faik Demir dari Departemen Hubungan Internasional Universitas Galatasaray mengingatkan pemerintah Turki atas risiko terburuk yang mungkin terjadi dengan mengirim pasukan ke Qatar.
ADVERTISEMENT
“Jika di sisi ini ada Qatar dan di sisi lain ada negara-negara Teluk, kita harus sangat hati-hati. Tidak ada negara yang cukup berani menantang Teluk dengan berada di sisi Qatar,” ujar Demir kepada VOA Turki.
Terlebih, kebijakan intervensionis Turki di Arab beberapa kali meracuni hubungan Turki dan negara-negara Timur Tengah.
Demir berpendapat, Turki mestinya mengambil posisi sebagai kunci perdamaian Timur Tengah dalam hubungan perimbangannya dengan AS dan Rusia, serta Iran, sehingga bisa menjadi kekuatan penting di dunia Islam.
Tapi relita, tentu saja, tak semudah teori.