Eks Napi Korupsi Bisa Ikut Pilkada, PPP Akan Selektif Jaring Calon

10 Desember 2019 15:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua KPU dan Komisioner KPU dalam Rapat Konsolidasi Nasional Pilkada Serentak 2020. Foto: Fadjar Hadi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua KPU dan Komisioner KPU dalam Rapat Konsolidasi Nasional Pilkada Serentak 2020. Foto: Fadjar Hadi/kumparan
ADVERTISEMENT
Mantan napi korupsi tetap bisa mencalonkan diri di Pilkada Serentak 2020 menyusul pengesahan PKPU Nomor 18 Tahun 2019. PPP menyatakan akan sangat selektif dalam proses penyaringan calon kepala daerah di pilkada.
ADVERTISEMENT
Sekjen PPP Arsul Sani mengatakan, partainya sudah membuat syarat agar calon yang diusung bukan eks napi korupsi.
"Kalau kami PPP, saya kira kita akan selektif sekali soal itu. Kami juga waktu itu dipersoalkan juga ketika Bupati Kudus yang kemudian berulang, ini enggak mungkin terjadi lagi," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (10/12).
Terlebih, lanjut Arsul, di dalam Pileg 2019, PPP juga telah mengeluarkan larangan bahwa mantan napi korupsi tak boleh ikut nyaleg. Arsul mengatakan, ketentuan ini akan dilanjutkan menjadi syarat dalam Pilkada Serentak 2020.
Arsul Sani saat diwawancara di Gedung DPR. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
"Sebetulnya kami ketika pencalegan untuk jadi caleg DPRD saja kita keluarkan instruksi larangan. Tetapi kan kemudian kebobolan karena ada yang rekam jejaknya tidak terdeteksi ternyata," ucap Wakil Ketua MPR itu
ADVERTISEMENT
"Tapi secara partai ya kami tidak ingin lah seperti itu. Kalau kasus korupsinya kasus korupsi yang berat dan itu merupakan perbuatan yang terulang, kita tidak ingin lah. Kan calon kepala daerah yang lain itu yang baik saja masih banyak," sambung Arsul.
Mengenai kemungkinan merevisi UU Pilkada agar payung hukum larangan bagi eks napi korupsi ikut pilkada lebih kuat, Arsul menyebut proses tersebut masih perlu pengkajian. Namun, anggota Komisi III ini menyatakan, DPR terbuka dengan adanya revisi UU Pilkada asalkan sesuai dengan keinginan masyarakat.
"Ini perdebatan yang harus kita lihat dulu mayoritas masyarakat (mau) yang seperti apa. Sehingga payung hukum kita termasuk juga yang terdapat dalam UU harus juga melihat apa yang menjadi kemauan dari mayoritas masyarakat," pungkasnya.
ADVERTISEMENT