Golput Mengintai Kantong Suara Jokowi

13 Agustus 2018 9:51 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
comment
27
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Konten Eksklusif: Duel Kedua Jokowi Prabowo. Foto: Basith Subastian/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Konten Eksklusif: Duel Kedua Jokowi Prabowo. Foto: Basith Subastian/kumparan
ADVERTISEMENT
Kontestasi di Pemilu Presiden 2019 kembali diikuti oleh dua orang calon presiden yang sama seperti pertarungan pada 2014 lalu: Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Tampak tak ada yang mengejutkan selain dari drama dan intrik politik yang terjadi dalam penentuan nama masing-masing calon wakil presiden.
ADVERTISEMENT
Jokowi, sebagai petahana dengan elektabilitas yang cukup tinggi nyatanya harus bertekuk lutut di hadapan sembilan parpol pengusungnya. Dominasi elit parpol memaksa Jokowi menghempaskan cawapres pilihannya, Mohammad Mahfud MD.
Ia berpaling ke tokoh Islam konservatif, KH Ma’ruf Amin, Rais A’am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sekaligus Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Keputusan mengejutkan Jokowi di jam terakhir itu dipengaruhi oleh manuver politik yang dilakukan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar.
Informasi yang diterima dari sumber kumparan menyebutkan Cak Imin, nama sapaan Muhaimin Iskandar, mencoba mengubah keputusan petahana lewat lobi-lobi kepada putri Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Puan Maharani, dan Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto.
ADVERTISEMENT
Alhasil, berkat sokongan dua partai besar tersebut, nama Mahfud MD sebagai calon wakil presiden dicoret di menit terakhir.
Cawapres Jokowi di Menit Akhir (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Pilihan Jokowi ini tak cuma membuat kelompok pendukung Mahfud MD--yang dekat dengan kalangan Gusdurian--kecewa, api juga kian meluruhkan kepercayaan masyarakat akan kepemimpinan Jokowi.
Sebab, meski sebagai petahana dengan elektabilitas yang cukup tinggi, Jokowi seolah tak berdaulat dalam memilih sosok yang akan mendampinginya. Belum lagi, tiket cawapresnya itu jatuh ke tangan tokoh yang dinilai justru merupakan antitesis brand diri Jokowi di antara kalangan basis pemilih pluralis.
Mengancam Petahana
Empat tahun lalu, Jokowi muncul membawa harapan Baru. Seperti yang ditulis oleh pakar Indonesia, Marcus Mietzner, dalam bukunya Reinventing Indonesian Populism: Jokowi's Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menurut Mietzner, Jokowi hadir di tengah situasi ketika cengkeraman oligarki dan politik kartel makin kencang. Situasi yang dianggap tidak akomodatif memunculkan figur baru sebagai pemimpin menurut banyak intelektual.
“Dengan kata lain, prospek seorang walikota dari kota kecil dengan sumber daya dan koneksi politik terbatas untuk muncul sebagai pemimpin nasional sangat kecil,” tulis Mietzner
Meski demikian, melesatnya popularitas Jokowi membuat PDIP mau tidak mau tetap mengusungnya sebagai calon presiden. Namun menurut Mietzner, mesin politik PDIP dalam kampanye pemenangan Jokowi tidak berjalan optimal. Sebab, elite partai masih menganggap mantan Gubernur DKI Jakarta itu belum pantas melenggang di kontestasi nasional.
Alhasil, tulang punggung kampanye Jokowi kala itu sangat bergantung pada gerakan relawan akar rumput.
Jokowi di tengah massa pada kampanye Pemilu 2014. (Foto: AFP Photo/Agus Suparto)
Dalam jurnal yang ditulis Marcus Mietzner dan Edward Aspinall berjudul Indonesia’s 2014: How Jokowi Won and Democracy Survived, penggerak kemenangan mantan Walikota Solo ini adalah aktivisme dan voluntarisme dari para relawan pendukungnya. Mereka di antaranya adalah jaringan para aktivis, intelektual, kelas menengah, hingga kalangan muda yang bersemangat mengkampanyekan Jokowi sebagai agen perubahan.
ADVERTISEMENT
Namun saat ini, citra Jokowi sebagai “bagian dari kita” perlahan mulai luntur. Terpilihnya KH Ma’ruf Amin sebagai cawapres menempatkan Jokowi dalam posisi yang dilematis.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wasisto Raharjo Jati, mengungkap terpilihnya Ma’ruf Amin ibarat pedang bermata dua. Sebab, meski berpotensi memecah suara oposisi, profil dan pandangan politik Ma’ruf Amin berseberangan dengan pemilih Jokowi. Hal ini bisa saja membuat para pemilih Jokowi yang berasal dari segmen nasionalis atau muslim moderat memutuskan untuk golput.
“Apalagi jika Jokowi tidak mampu merangkul kembali lagi barisan kecewa ini, barisan golput akan terus naik,” jelas Wasisto kepada kumparan, Minggu (12/8).
Joko Widodo bersalaman dengan Ma'ruf Amin di dampingi sembilan Ketum Parpol Koalisi Indonesia Kerja di Gedung Joang 45, Jumat (10/8/2018). (Foto: Reuters/Darren Whiteside)
Ia menambahkan, meyakinkan pemilih dari segmen tersebut menjadi pekerjaan besar bagi pasangan petahana. Jika tidak, maka keputusan memilih Ma’ruf Amin akan menjadi blunder bagi Jokowi. Terlebih, Ma’ruf juga kurang populer di mata pemilih milenial.
ADVERTISEMENT
Kubu Jokowi bukanya tidak sadar dengan ancaman golput itu. Menko Kemaritiman Luhut Panjaitan segera buka suara. Ia mengklaim Basuki Tjahaja Purnama--mantan Gubernur DKI Jakarta yang dipenjara karena dituduh menistakan agama--akan berkampanye mendukung Jokowi-Ma'ruf Amin selepas keluar dari bui.
"Ada yang bilang ke saya Pak Ahok marah (karena Jokowi pilih Ma'ruf Amin), kemarin beliau tulis surat ke saya bilang tetap dukung Jokowi,” kata Luhut.
Ma’ruf Amin memang punya rekam jejak sebagai seorang ulama konservatif yang tidak ramah terhadap kelompok minoritas.
Menukil laporan Human Rights Watch, mantan Ketua Komisi Fatwa MUI tersebut, berperan dalam dikeluarkannya berbagai fatwa yang menyudutkan, kalau bukan memicu persekusi terhadap kelompok sosial minoritas.
ADVERTISEMENT
Pada 2016, MUI, organisasi yang dipimpinnya mengeluarkan fatwa bahwa Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama telah melakukan penistaan agama terhadap Agama Islam. Fatwa yang menjadi landasan moral terbentuknya Gerakan Aksi Bela Islam 212.
Setahun sebelumnya, di bawah kepemimpin Ma’ruf, MUI mengeluarkan fatwa bahwa LGBT dapat dijadikan delik pidana dan dihukum cambuk, sampai dengan hukuman mati. Fatwa ini juga menyatakan bahwa LGBT merupakan penyakit yang dapat disembuhkan.
Yang paling kontroversial, ketika masih menjabat sebagai Ketua Komisi Fatwa, Ma'ruf mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa ajaran Ahmadiyah merupakan aliran sesat pada 2005. Fatwa ini dijadikan landasan bagi kelompok intoleran untuk mempersekusi anggota Ahmadiyah di seantero Indonesia.
Konferensi pers KH Ma'ruf Amin usai ditunjuk sebagai cawapres mendampingin Jokowi, Kamis (9/8/2018). (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Potensi golput di kalangan pendukung Jokowi juga diprediksi oleh Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya. Menurutnya, hilangnya dukungan dari aktivis maupun intelektual bisa mempengaruhi suara Jokowi. “Mereka social influencer yang bisa bersuara, yang bisa berpengaruh, yang didengar oleh orang sesuai dengan expertise masing-masing,” terang Yunarto.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, Jokowi dan Ma’ruf Amin punya tugas tidak mudah untuk merasionalisasi duet mereka, antara nasionalis abangan dengan Islam konservatif.
Poros Golput
Di tengah pilihan politik tanpa kebaruan dan kekecewaan pendukung petahana, muncul wacana alternatif untuk membentuk poros ketiga yaitu: poros golput dan Coblos Samping. Kedua hal tersebut punya tujuan yang sama, meski secara praktik punya perbedaan yang krusial.
Inisiator dari gerakan Coblos Samping ialah pegiat Hak Asasi Manusia, Haris Azhar. Satu di antara sekian banyak aktivis yang kecewa dengan kondisi politik yang berlangsung saat ini. Menurut Direktur Lokataru itu--lembaga advokasi dan HAM, setidaknya ada empat faktor yang melatarbelakangi gerakan Coblos Samping.
ADVERTISEMENT
Pertama, tidak ada satupun calon yang punya kapasitas menyelesaikan persoalan bangsa yang meliputi persoalan sosial, hukum, Hak Asasi Manusia, dan lingkungan hidup. Menurutnya selama satu periode kepemimpinan Jokowi, pemerintah abai terhadap persoalan tersebut.
“Masalah-masalah itu nggak ada yang direspons sama pemerintah,” ujarnya kepada kumparan, Sabtu (11/8).
Kedua, alih-alih menyelesaikan, kedua calon malah punya reputasi yang buruk terkait isu-isu tersebut. Menurutnya, era pemerintahan Joko Widodo, yang ditampilkan ke permukaan hanya gimmick-gimmick, sementara hal-hal prinsipil justru dikesampingkan. “Contohnya Kasus Kendeng. Pemerintah tidak melakukan apa-apa terkait kasus itu.”
Ketiga, terpilihnya figur KH Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi. Ketua MUI itu, menurut Haris, punya reputasi buruk terhadap kelompok sosial minoritas.
Jokowi menggandeng Ma'ruf Amin usai berpidato di Gedung Joang '45, Menteng, Jakarta. (Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
Di tengah minimnya pilihan politik yang tersedia, mantan Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) itu mewacanakan dimulainya gerakan ‘2019 Coblos Samping’.
ADVERTISEMENT
Gerakan ini punya perbedaan yang esensial dengan golput. Bila menjadi golput seseorang sama sekali menolak mencoblos dengan tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), maka gerakan coblos Samping justru melakukan hal sebaliknya.
Dalam gerakan ini, para pemilih yang kecewa terhadap pilihan yang ada dianjurkan datang ke TPS hanya untuk mencoblos bagian samping di luar kotak pilihan kedua calon. Hal tersebut menurut Haris dilakukan, “Untuk menghindari suara kami dimanipulasi atau dicurangi.”
Bila gerakan ini kemudian membesar dan punya suara signifikan, ia mengharapkan siapapun yang terpilih nanti akan mempertimbangkan bahwa sebagian masyarakat kecewa dan tidak terima dengan situasi politik yang ada saat ini.
“Saya berharap dalam waktu dekat gerakan 2019 Coblos Samping akan bergulir cukup serius dan menggelembung besar sehingga bisa menjadi alat penekan siapapun yang terpilih,” tegasnya.
ADVERTISEMENT
Simak selengkapnya dalam tautan di bawah ini: