LIPSUS SUAP KPU, Hasto Kristiyanto, Krispi

Hasto Kristiyanto di Pusaran Suap Komisioner KPU

13 Januari 2020 12:50 WIB
comment
23
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hasto Kristiyanto. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Hasto Kristiyanto. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
Suap untuk Komisioner KPU Wahyu Setiawan diduga melibatkan Sekjen PIDP Hasto Kristiyanto. Duit disebut diberikan kepada kader PDIP melalui seorang staf di sebuah rumah di Jl. Sutan Syahrir, Menteng, yang biasa digunakan sebagai kantor Hasto Kristiyanto.
Pesta di Kelab Zen, Menara Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu malam (7/1) belum lagi lunas bagi tiga kawan lama. Tapi jam menunjukkan hari telah berganti dan pesanan sudah ditutup. Tiga sekawan itu pun melanjutkan langkah ke spot hiburan malam Golden Crown di Glodok, Jakarta Barat.
Ketiganya adalah Wahyu Setiawan, Donny Tri Istiqomah, dan seorang yang diduga politisi PDIP Arif Wibowo. Wahyu duduk sebagai Komisioner KPU, Donny merupakan pengacara perkara politik di PDIP, sedangkan Arif menjadi anggota legislatif dari Fraksi PDIP.
Mereka merupakan sejawat sebagai mantan pengurus Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI). Malam itu, mereka kembali saling sapa. Namun Arif tak menjawab pesan dan panggilan telepon ketika dimintai konfirmasi soal itu.
Pesta dini hari di Golden Crown bertambah meriah ketika beberapa orang lain datang. Salah satunya Saeful Bahri, caleg PDIP dari daerah pemilihan Riau II yang gagal melenggang ke Senayan.
Usai bersenang-senang, Wahyu merogoh kocek untuk menyelesaikan pembayaran, lalu menghubungi Agustiani Tio Fridelina, seorang politisi PDIP, untuk meminta uang. Rupanya duit Wahyu terkuras puluhan juta rupiah untuk pesta satu malam tersebut, dan dia ingin dana pengganti dari partai politik yang pernah ia bantu.
Namun, permintaan uang malam itu membawa celaka. KPK mencium aroma suap. Penyelidik menengarai uang tersebut terkait permintaan untuk meloloskan caleg PDIP dari dapil Sumatera Selatan I, Harun Masiku.
Agustiani Tio Fridelina (kiri) mengenakan rompi tahanan usai diperiksa KPK, Jumat dini hari (10/1). Foto: ANTARA/Dhemas Reviyanto
KPK lantas menangkap Agustiani, kader PDIP dan mantan anggota Bawaslu yang diduga menjadi perantara suap, di kediamannya di Depok, Jawa Barat. Dialah yang ditelepon Wahyu malam itu.
“Tim menemukan dan mengamankan barang bukti uang Rp 400 juta yang berada di tangan ATF (Agustiani) dalam bentuk Dolar Singapura,” ujar Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis malam (9/1).
Uang itu tak sempat berpindah tangan karena Agustiani dan Wahyu tak sempat bertemu. Kamis siang di hari itu, Wahyu punya agenda dinas ke Pulau Belitung. Namun kegiatan itu urung terlaksana.
Sesaat setelah duduk di bangku penumpang Batik Air, petugas mendatangi Wahyu dan menggelandangnya keluar. Padahal pesawat sudah hendak lepas landas.
Wahyu dicokok atas dugaan tindak pidana korupsi.
Penangkapan masih berlanjut. KPK mengamankan total delapan orang di empat tempat terpisah.
Tiga dari delapan orang yang diamankan—Agustiani, Saeful Bahri, dan Donny Tri Istiqomah—merupakan kader PDIP. Agustiani jadi tersangka karena berperan sebagai penerima uang yang kemudian diberikan pada Wahyu, Saeful sebagai pemberi suap, sedangkan tersangka pemberi suap bernama Harun Masuki masih buron.
Komisioner KPK Lili Pintauli (kiri) mendampingi penyidik membeberkan barang bukti operasi tangkap tangan terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan, Kamis (9/1). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
“Persekongkolan antara oknum penyelenggara pemilu dengan politisi dapat disebut sebagai pengkhianatan terhadap proses demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah dan dengan biaya sangat mahal,” ucap Komisioner KPK Lili Pintauli.
Kasus suap ini sudah menjadi perhatian KPK sejak Juli 2019. Kala itu PDIP mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung terhadap Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara. PDIP ingin agar suara yang diperoleh caleg yang lolos ke DPR tetapi kemudian meninggal, dapat dikelola sesuai keinginan partai.
Partai banteng hendak mengalihkan suara milik almarhum Nazarudin Kiemas, adik mendiang Taufiq Kiemas, kepada Harun Masiku. Nazarudin meninggal sebelum penghitungan suara Pemilu Legislatif 2019.
Masalahnya, Harun yang diinginkan PDIP mendapat limpahan suara Nazarudin, duduk di nomor urut enam daftar caleg PDIP Sumsel I. Perolehan Harun pun hanya 5.000 suara.
Harun sejatinya bukan kader asli PDIP. Ia maju Pileg 2014 dari dapil Sulawesi Selatan III lewat Partai Demokrat. Sementara pada Pileg 2019, ia baru masuk ke dapil Sumsel I via PDIP sebagai caleg pengganti setelah caleg sebelumnya, Astrayuda Bangun, diputus KPU tidak memenuhi syarat.
Harun Masiku. Foto: Dok. Infocaleg
PDIP ingin menggeser suara Nazarudin ke Harun berdasar hasil putusan MA Nomor 57/P/HUM/2019. Namun sesuai Peraturan KPU Nomor 3/2019 yang merupakan turunan UU Pemilu, suara pihak yang gugur dialihkan kepada caleg yang berada di urutan kedua.
Dewan Pimpinan Pusat PDIP lantas menempuh langkah hukum dengan memintakan fatwa Mahkamah Agung agar KPU mematuhi putusan MA. Tapi permintaan itu tak langsung diproses hingga Riezky Aprilia, caleg nomor dua di daftar caleg PDIP Sumsel I, dilantik menjadi anggota DPR pada 1 Oktober 2019. Riezky meraup suara 44.402 di pileg, jauh di atas Harun yang 5.000 suara.
Riezky Aprilia, anggota DPR dari PDIP yang kelimpahan suara mendiang Nazarudin Kiemas berdasarkan Peraturan KPU. Foto: Facebook/Riezky Aprilia
Riezky Aprilia akhirnya ditetapkan KPU sebagai caleg PDIP dengan suara terbanyak dari dapil Sumsel I. Sebelumnya, KPU pada rapat pleno 31 Agustus 2019 menolak permintaan DPP PDIP untuk mengganti Riezky dengan Harun Masiku.
KPU beralasan, pasal yang tertuang pada Peraturan KPU tak bisa dibantah lewat putusan MA. Regulasi tersebut hanya dapat diubah melalui keputusan Mahkamah Konstitusi.
“Bagaimana cara saya mengubah perolehan suara, sementara sertifikat itu sudah ditetapkan, dan UU mengatakan perolehan suara ini (baru) bisa berubah kalau ada putusan MK,” kata Ketua KPU Arief Budiman.
Melihat batu sandungan di KPU itu, beberapa elite PDIP bermanuver. Komisioner KPU Wahyu Setiawan dianggap bisa membantu. Latar belakangnya sebagai bekas kader GMNI—yang alumninya banyak bergabung dengan PDIP—jadi pintu masuk bagi partai banteng untuk melobinya.
Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengenakan rompi tahanan usai ditetapkan KPK sebagai tersangka, Jumat (10/1). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Akhir September, Wahyu Setiawan dihubungi kader PDIP Saeful Bahri. Ia dimintai tolong untuk membuka jalan bagi Harun Masiku agar dapat melenggang ke Senayan.
“Siap, mainkan,” kata Wahyu kepada Saeful.
Saeful kemudian melanjutkan laporan kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Mereka diduga mengkomunikasikan kebutuhan uang operasional untuk Wahyu senilai Rp 900 juta.
Duit mengucur dari kantong Harun Masiku. Namun, nominal yang mengucur baru Rp 850 juta. Setelah dipotong biaya operasional, uang tersisa Rp 450 juta. Agustiani selaku perantara mendapat bagian Rp 50 juta.
Alhasil, uang operasional tersisa Rp 400 juta. Duit itu dimintakan Saeful kepada Agustiani untuk lebih dulu disimpan.
Kantor pribadi Hasto Kristiyanto di Jl. Sutan Syahrir Nomor 12A, Menteng, Jakarta Pusat. Foto: Muhammad Darisman/kumparan
Harun Masiku memberi uang kepada Saeful melalui seseorang bernama Riri di sebuah rumah di Jalan Sutan Syahrir Nomor 12A, Menteng, Jakarta Pusat. Riri ialah staf di rumah tersebut, dan rumah itu biasa menjadi kantor bagi Hasto Kristiyanto.
Menurut sumber kumparan, Saeful kembali melapor ke Hasto usai menerima duit dari Harun. Dibantu Agustiani, Saeful melobi langsung Komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Wahyu menerima uang ketika bertemu Agustiani pada 17 Desember 2019 di Pejaten Village, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Saat itu, Agustiani membawa uang sebanyak Rp 200 juta dalam Dolar Singapura.
“Wahyu menerima uang dari Agustiani sebesar Rp 200 juta di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan,” ucap Komsioner KPK Lili Pintauli.
Pada penyerahan uang tahap pertama itu, dugaan keterlibatan Hasto mencuat. Menurut sumber di lingkaran penegak hukum, Hasto memberikan uang Rp 400 juta kepada Saeful pada 16 Desember 2019.
Komunikasi antara Hasto dan Saeful itu, menurut sumber yang sama, juga melibatkan Donny—yang ikut berpesta bersama Wahyu di Golden Crown. Donny adalah caleg PDIP dari dapil Jawa Timur IV yang sehari-hari berprofesi sebagai pengacara. Ia juga disebut sebagai orang Hasto.
Sementara Saeful disebut melaporkan setiap pergerakan uang ke Agustiani kepada Hasto. Misalnya, setelah menerima uang, Agustiani dan Saeful bertemu di Plaza Indonesia untuk proses penyerahan uang tersebut.
Aliran dana dari Hasto itu diakui oleh Saeful sambil lalu ketika diwawancarai usai pemeriksaan. “Iya, iya,” ujarnya sambil berjalan ke mobil tahanan.
Saeful menaiki mobil tahanan usai diperiksa KPK, Jumat dini hari (10/1). Foto: ANTARA/Dhemas Reviyanto
Berikutnya pada 27 Desember, Agustiani hendak melunasi sisa uang yang dijanjikan kepada Wahyu Setiawan sebanyak Rp 200 juta. Keduanya kembali bertemu di Pejaten Village. Namun kali ini Wahyu menolak duit pemberian Agustiani tersebut.
Uang rupanya tak mampu meloloskan keinginan PDIP, sebab Wahyu tak cukup berpengaruh dalam Rapat Pleno KPU 7 Januari. Di situ, KPU menolak permohonan PDIP mengganti Riezky Aprilia dengan Harun Masiku.
Walau begitu, upaya Wahyu memenuhi janjinya tak surut. Ia tetap mengusahakan Harun bisa masuk pergantian antar-waktu di DPR.
“Setelah gagal di Rapat Pleno KPU, WSE (Wahyu Setiawan) kemudian menghubungi Don (Donny) untuk menyampaikan telah menerima uang dan akan mengupayakan kembali agar Har (Harun Masiku) menjadi PAW,” kata Lili.
Hasto Kristiyanto. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
Meski Hasto dan Donny pegang peran dalam aliran dana ke Wahyu, KPK tak menetapkan mereka sebagai tersangka. Dari delapan orang yang ditangkap, hanya empat yang dianggap memenuhi syarat sebagai tersangka.
Upaya menyeret Hasto terhambat. Gelar perkara KPK pada Jumat (9/1) dikabarkan tak menghasilkan suara untuk menetapkan Hasto sebagai tersangka.
Gelar perkara hanya dihadiri tiga pimpinan KPK, yakni Nawawi Pomolango, Alexander Marwata, dan Lili Pintauli. Sementara Ketua KPK Firli Bahuri ke Surabaya dan Nurul Ghufron izin sakit.
Suap Komisioner KPU. Desainer: Masayu Antarnusa/kumparan
Meski Hasto lepas, KPK berucap di mulut akan terus mengembangkan kasus suap tersebut, dan tak menutup kemungkinan menjerat nama lain.
“Soal pemanggilan pihak-pihak terkait yang disebut, misalnya Pak Hasto, ini kembali ke penyidikan,” kata Lili.
Pun begitu, upaya penyidik KPK menyegel ruangan Hasto Kristiyanto di kantor DPP PDIP gagal setelah ditolak petugas keamanan partai banteng dengan alasan tak ada surat izin.
Izin penggeledahan baru dikeluarkan Dewan Pengawas KPK pada Jumat malam (10/1). Tak mustahil bukti-bukti keburu menguap.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten