Kopi Darat Trump dan Jong-un: Berdamai dengan Ingatan

28 Maret 2018 18:05 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kim Jong-il dan Madeleine Albright (Foto: CHIEN-MIN CHUNG / POOL / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Kim Jong-il dan Madeleine Albright (Foto: CHIEN-MIN CHUNG / POOL / AFP)
ADVERTISEMENT
Lebih dari 45 tahun yang lalu, Nixon mengakhiri beku hubungan Amerika Serikat China yang berhenti pasca-Perang Dunia II. Misi diplomasi tersebut coba diulangi Donald Trump yang dijadwalkan bertemu Kim Jong-un akhir Mei nanti…
ADVERTISEMENT
Cerita berikut adalah yang kedua dari tiga seri tulisan Menyambut Kopi Darat Donald Trump & Kim Jong-un. Cerita pertama berjudul “Kopi Darat Trump dan Jong-un: Lawatan untuk Perdamaian” dan cerita ketiga berjudul “Kopi Darat Trump dan Jong-un: Momen Menuju Sejarah”.
***
Oktober 2000 “Unqualified Pledge”
Kalau jadi terlaksana, pertemuan Trump dan Jong-un Mei nanti bukanlah pertemuan pertama antara Dinasti Kim dan pemerintah Amerika Serikat.
Pada Oktober 2000, Menteri Luar Negeri AS Madeleine K. Albright terbang ke Pyongyang, Korea Utara, dan berhasil bertemu dengan ayah Kim Jong-un yang saat itu masih menjadi Supreme Leader di umurnya yang 59 tahun. Ini adalah pejabat senior AS pertama yang bertemu pemimpin Korut.
Saat itu, Albright punya satu misi, yaitu membujuk Jong-il agar menghentikan uji coba-uji coba rudalnya. Apabila berhasil, ini akan menjadi capaian diplomasi sukses yang bisa dibanggakan di akhir pemerintahan Bill Clinton.
ADVERTISEMENT
Pertemuan tak disangka berlangsung hangat. Jong-il menjamu Albright dan rombongannya dengan makan malam mewah, lengkap dengan anggur merah yang langsung didatangkan dari Prancis. Sementara, Albright membalas kebaikan hati tuan rumah dengan memberi bola basket yang sudah ditandatangani pebasket legendaris Michael Jordan.
Setelah itu, pembicaraan serius selama enam jam digelar. Kim Jong-il dan Albright lekat membicarakan detail teknis soal moratorium uji coba dan produksi rudal jarak jauh Korut. Pertemuan serius keduanya bahkan tak selesai sampai di situ. Konferensi susulan antara AS dan Korut dilakukan di Kuala Lumpur, Malaysia, beberapa minggu setelahnya.
Ketika pulang ke AS, saat rombongan Albright ditanya wartawan apakah mereka telah mendapatkan ‘unqualified pledge’ (jaminan mutlak) dari Jong-il bahwa mereka akan menghentikan program rudalnya, Albright menjawab gamam. Selain undangan bagi Bill Clinton untuk menyelesaikan perjanjian langsung dengan Jong-il di Pyongyang, Albright menjamin bahwa janji-janji yang diutarakan oleh Jong-il adalah ‘serius’.
ADVERTISEMENT
“Simbol Amerika adalah elang, burung yang terbang tinggi. Sedangkan kebanggaan Korea bagaikan gunung yang menjulang ke langit. Tidak ada rintangan yang tak bisa kita lalui apabila kita berhasil menghasilkan keputusan strategis ini bersama-sama,” ucap Albright, sembari bersulang anggur ke Dear Leader Kim Jong-il, seperti dilaporkan The New York Times.
Kim Jong-il (Foto: KCNA via Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Kim Jong-il (Foto: KCNA via Reuters)
Saat itu, komitmen Korut memang amat menjanjikan. Selain setuju akan menghentikan uji coba peluncuran rudal, Jong-il juga berjanji akan menghentikan pembuatan rudal balistik dengan jangkauan lebih dari 482 kilometer.
Ia juga berjanji negaranya tidak akan menjual komponen rudal, teknologi, pun tidak akan pula mengirim tenaga ahli untuk pelatihan pembuatan rudal ke negara lain. Iran dan Pakistan, sebagai contoh, adalah dua negara yang sangat tergantung dengan pasokan komponen serta teknologi rudal balistik dari Korut.
ADVERTISEMENT
Sebagai gantinya, Korut ‘hanya’ meminta AS untuk menyediakan fasilitas peluncuran satelit komunikasi bagi Korut dan bantuan non-monetary sejumlah USD satu miliar per tahun. Awalnya, Korut meminta bantuan tersebut diserahkan dalam bentuk uang. Akan tetapi, mereka menurunkan permintaan dengan memperbolehkan uang tersebut diganti makanan, batu bara, dan komoditas harian asalkan nilainya sama.
Mantan Menteri Luar Negeri AS, Madeleine Albright (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Menteri Luar Negeri AS, Madeleine Albright (Foto: AFP)
Namun, progres terhenti di situ. Pertemuan di Malaysia pun tak berarti banyak, karena para diplomat Korut tak bisa memutuskan apapun --semua kendali mentok ke tangan Kim Jong-il. Sementara, proses verifikasi yang membuktikan janji-janji Korut dilaksanakan pun susah dilakukan.
Korut menganggap AS sudah punya kemampuan dan teknologi untuk memantau bahwa Korut melakukan apa yang telah dijanjikannya. Karenanya, mereka menganggap tak perlu ada staf dari AS (atau dari PBB) masuk ke negaranya untuk membuktikan bahwa mereka tak lagi memproduksi rudal apalagi menjualnya ke negara lain.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, rudal-rudal balistik yang telah dibuat Korut menjadi isu lain. Menteri Pertahanan AS di masa Clinton, William S. Cohen, ingin menyaksikan langsung prosesi Korut menghancurkan rudal-rudal mereka yang sudah dibuat. Rudal-rudal ini kebanyakan memiliki jangkauan luncur dekat, amat mengancam bagi sekutu tradisional AS di Asia Timur macam Korsel dan Jepang.
Di sisi lain, Kim Jong-il ingin agar pembicaraan soal deal-deal lain di luar yang sudah ia janjikan, dibicarakan langsung antara ia dan Presiden Clinton. Caranya mudah, Bill Clinton cukup mengiyakan undangannya dan datang langsung ke Pyongyang.
Lucunya, tuntutan berlebih AS tak dibarengi dengan keseriusan mereka menjamin pembicaraan dengan Korut berlangsung tuntas. Di dalam negeri, pemilihan presiden antara George W. Bush dan Al Gore berlangsung berlarut-larut. Hasil electoral votes di Florida masih tak jelas sampai di menit terakhir. Ini jadi alasan pemerintah Clinton tak bisa langsung ke Pyongyang.
ADVERTISEMENT
Percaya atau tidak, sebagaimana ditulis Michael R. Gordon dalam rubriknya di The New York Times, masalah politik dalam negeri inilah yang menggagalkan upaya AS menganulir kemampuan rudal balistik Korut.
Perkaranya begini: hasil electoral votes di Florida pada 12 November 2000 menampilkan Bush unggul, namun dengan selisih hasil yang terlalu kecil. Dengan hasil seperti itu, hukum negara bagian Florida mengharuskan penghitungan ulang dengan mesin.
Cerita tak berakhir di situ. Hasil penghitungan ulang oleh Pengadilan Tinggi Florida malah digagalkan oleh Mahkamah Agung dengan alasan inkonstitusional. Baru, dua jam sebelum sebelum tenggat waktu di 12 Desember 2000, Mahkamah Agung menggunakan kembali hasil penghitungan pertama sebagai hasil yang sah. Bush menang electoral vote Florida dengan selisih 0.009 persen suara.
ADVERTISEMENT
Penetapan electoral vote yang berlarut-larut inilah yang jadi alasan pemerintahan Clinton tak bisa menyelesaikan pembicaraan diplomatik dengan Korut. Samuel R. Berger, penasihat keamanan nasional AS, berpikir tidaklah bijak bagi Presiden Clinton meninggalkan AS ketika ada kemungkinan terjadi krisis konstitusional.
Hal itulah yang menjadi dasar pemikiran Gordon: keributan politik dalam negeri AS yang kacau mengeliminasi kesempatan satu-satunya AS untuk melucuti rudal Korut.
Debat George Bush dan Al Gore (Foto: JEFF MITCHELL / Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Debat George Bush dan Al Gore (Foto: JEFF MITCHELL / Reuters)
Argumen tersebut beralasan. Akibat sikap Clinton yang tak kunjung mau keluar AS dan menyelesaikan pembicaraan, Korut kehabisan kesabaran. Jong-il menganggap ketidakmauan Bush ke Pyongyang untuk menyelesaikan pembicaraan kedua negara sebagai sebuah penghinaan.
Akibatnya, Pyongyang kembali mengambil posisi keras dalam pembicaraan tersebut. Pelucutan rudal jarak pendek --yang kemungkinan besar bisa dicapai kalau saja Clinton mau langsung terbang ke Pyongyang dan melakukan pembicaraan dengan Jong-il-- ditolak mentah-mentah oleh Korut.
ADVERTISEMENT
Pyongyang juga tak mau memberi garansi bahwa mereka akan melakukan hal-hal yang sebelumnya mereka janjikan. Mereka bilang, Clinton harus datang lebih dulu dan perjanjian baru akan dibuat. On the spot.
Mungkin dunia memang sedang tak beruntung saat itu. Selain permasalahan dalam negeri menghalangi Presiden Clinton untuk meninggalkan AS, saat itu Washington juga tengah terlibat dengan pembicaraan damai di Timur Tengah.
Saat itu, menjadi broker pembicaraan antarpimpinan Palestine Liberation Organization (PLO) Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel Ehud Barak lebih menjanjikan bagi Clinton ketimbang meneruskan tawar-menawar dengan Kim Jong-il. Upaya di Korut dilepas AS agar mereka bisa fokus ke Timur Tengah.
Malang tak dapat disangkal, upaya damai di Timur Tengah juga gagal. Clinton tak punya warisan capaian luar negeri apapun di akhir masa pemerintahannya.
Bill Clinton (Foto: AFP/Saul Loeb)
zoom-in-whitePerbesar
Bill Clinton (Foto: AFP/Saul Loeb)
Per Januari 2001, Clinton sudah digantikan oleh George Bush. Alih-alih meneruskan pembicaraan damai yang sudah dimulai pendahulunya, Bush dan penasihat keamanan nasionalnya, Condoleezza Rice, menginginkan penilaian ulang soal hubungan AS-Korut, termasuk membatalkan deal-deal yang sebelumnya sudah tercapai.
ADVERTISEMENT
Sembilan bulan kemudian, tragedi 9/11 benar-benar menghancurkan hubungan AS-Korut yang sempat menghangat Oktober hingga Desember 2000.
“Negara-negara macam ini (Iran, Irak, Korea Utara) dan sekutu-sekutu teroris merekalah yang menghasilkan Poros Iblis --Axis of Evil, dipersenjatai untuk mengancam perdamaian dunia,” ucap Presiden AS, George Bush, (29/1/2002). Akibat ucapan itu, peluang Korut melepaskan kemampuan rudal balistiknya bubar pasar.
Mantan Presiden AS, George W Bush. (Foto: REUTERS/Brendan McDermid)
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Presiden AS, George W Bush. (Foto: REUTERS/Brendan McDermid)
Mei 2018 “Maximum Pressure and Engagement”
Sudah barang tentu dunia berharap AS belajar dari pengalamannya. Pertemuan pejabat aktif AS dan Korut yang tak dimaksimalkan, hanya akan menjadi kemenangan propaganda bagi negeri bikinan Kim Il-sung tersebut. Lihat saja bagaimana pertemuan Albright-Jong-il digunakan di Korut ketika kesepakatan akhirnya tak tercapai.
ADVERTISEMENT
Setelah bertemu selama enam jam, Kim Jong-il mengundang Albright untuk bersama-sama menyaksikan pertunjukan propaganda di stadion berisi koreografi yang memuja kediktatoran dan rudal Jong-il. Tak enak menolak ajakan tersebut, Albright duduk di samping Jong-il dan mau tidak mau bertepuk tangan pada koreo rudal Taepodong yang coba ia hancurkan.
Selain itu, Albright juga mengunjungi sebuah Taman Kanak-kanak Rangnang di Pyongyang, tempat makanan hasil donasi AS lewat program United Nations World Program dibagikan. Usai Albright pulang, hal tersebut malah ditujukan Korut ke dunia bahwa kelaparan terkontrol baik, lainnya isu belaka.
Lalu, apa yang membedakan pertemuan antara Albright-Jong-il yang terjadi akhir 2000 lalu dan pertemuan Trump-Jong-un Mei 2018 nanti?
Medeleine Albright dan Kim Jong-il (Foto: Associated Press)
zoom-in-whitePerbesar
Medeleine Albright dan Kim Jong-il (Foto: Associated Press)
Sebelum sampai di situ, pertanyaan lain lebih mengganggu: mengapa tiba-tiba Korut melunakkan sikapnya dan mencari upaya perdamaian dengan Korsel dan AS?
ADVERTISEMENT
Menurut Victor Cha, mantan direktur Dewan Keamanan Nasional AS untuk Asia yang kini menjadi profesor di Georgetown University dan penasihat senior CSIS AS, ada beberapa penyebab Jong-un tiba-tiba bersikap manis:
Pertama, keadaan dalam negeri Korut memburuk. Sanksi ekonomi PBB yang terus menguat sebagai pengejawantahan kebijakan “maximum-pressure” yang dilakukan AS, pada akhirnya sangat mempengaruhi keadaan dalam negeri Korut. Di lain waktu, China juga tak bisa bergerak banyak membantu aliansinya itu demi memperlancar usahanya menaikkan soft-power di dunia internasional.
Sanksi, termasuk penyetopan pasokan ekspor bahan bakar ke Korut, larangan impor barang-barang produksi Korut, sampai pembekuan aset dan pengusiran pekerja asal Korut kembali ke negaranya, menyebabkan terjadinya kelangkaan bahan bakar di Korut.
ADVERTISEMENT
Bahkan, kapal feri yang digunakan untuk membawa rombongan atlet ke Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang Februari kemarin tak memiliki bahan bakar. Mereka lantas meminta tuan rumah mengisinya untuk perjalanan mereka pulang.
Kedua, AS sempat mengemukakan rencana untuk melancarkan serangan militer ke Korut secara besar-besaran. Edward Luttwak, salah seorang akademisi militer dan hubungan internasional yang kerap jadi konsultan Pentagon, menulis di Foreign Policy awal Januari lalu bahwa kini adalah waktu yang tepat untuk membom Korut terlebih dahulu.
Ia beralasan, Korut saat ini belum memiliki retaliation capability (kemampuan melakukan serangan balasan) yang memadai untuk benar-benar menghancurkan daratan utama AS. Jadi, menurutnya, ini adalah waktu tepat untuk menyerang Korut sebelum pada akhirnya mereka punya kemampuan untuk menuklir AS.
ADVERTISEMENT
Ketiga, tak ada salahnya bagi Korut menunda sebentar percobaan nuklir dan rudalnya sampai Mei nanti. Toh, sampai saat ini, Jong-un tak pernah menyebut apapun soal menghentikan pembuatan/produksi apalagi menghancurkan armada yang telah mereka miliki. Dus, tenggat waktu hingga pembicaraan kedua pihak sampai Mei masih bisa mereka gunakan untuk membuat rudal balistik atau warhead yang baru.
Kim Jong-Un berhasil luncurkan rudal Hwasong-15. (Foto: KCNA/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Kim Jong-Un berhasil luncurkan rudal Hwasong-15. (Foto: KCNA/Reuters)
Menurut Chung Eui-yong, Penasihat Keamanan Nasional Korea Selatan yang secara langsung menemui Kim Jong-un, rincian yang ditawarkan sang pemimpin Korut itu dapat dibagi menjadi dua bagian.
1. Jangka Panjang - Denuklirisasi.
2. Jangka Pendek - Penangguhan uji coba rudal dan nuklir. - Mengizinkan latihan militer bersama antara Korsel dan AS. - Mengajak Donald Trump bertemu.
ADVERTISEMENT
Keputusan Jong-un bermanis-muka pada AS tentunya tak bisa dikatakan sebagai kebijakan yang impulsif. Ini, seperti halnya tarik-ulur umpatan provokasi dan ajakan perdamaian sebelum-sebelumnya, adalah upaya rezim Kim mempertahankan diri.
Bahkan, berbagai analis sudah memprediksi bahwa sejak paruh kedua 2017, Korut akan lebih terbuka untuk negosiasi dengan dunia internasional. Seperti yang disampaikan oleh The New York Times akhir Desember lalu, alasan yang kemungkinan melatarbelakangi sikap Korut ini ialah keyakinan telah menyelesaikan rudal balistik antarbenua dan senjata nuklir yang mereka umumkan November 2017.
Dengan telah menyelesaikan mitraliur nuklir mereka, Korut akan sangat mungkin memaksa untuk diakui sebagai nuclear weapon state, atau negara bersenjata nuklir (NWS). Dan dengan diakui sebagai NWS oleh komunitas internasional, Korut akan sejajar dengan negara-negara macam Rusia, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan China.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, dengan diakui sebagai NWS, Korut berharap tuntutan yang diajukan oleh dunia dalam negosiasinya akan berubah. Korut berharap tuntutan dari AS dan kawan-kawan Baratnya tak lagi memaksa dia menghapus sama sekali segala kemampuan serang nuklirnya.
Lain dari itu, Korut berharap diperlakukan sama seperti halnya AS memperlakukan, misal saja, Rusia. Memang, tujuan dunia yang terpapar dalam Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons adalah untuk kerja sama dalam penggunaan energi nuklir yang damai dan pelucutan senjata nuklir secara penuh dari muka bumi. Namun, hal ini dilakukan secara bertahap dan tak dilakukan serta-merta.
AS, contohnya, sudah mengurangi cadangan hulu ledak nuklir negaranya sebanyak 84 persen dalam 50 tahun terakhir. AS mempunyai 31.255 hulu ledak di 1967, sedangkan di April 2017 hanya memiliki 4.480. Secara umum, negara-negara yang termasuk dalam NWS telah mengurangi jumlah hulu ledak nuklirnya dari 70 ribu di pertengahan dekade 60-an menjadi 14.900 saja di 2017.
ADVERTISEMENT
Dengan mengubah tujuan diplomasi Barat dari menghapuskan seluruh senjata ke arm reduction (pengurangan secara bertahap), Korut berharap mendapat konsesi yang berbeda andaikata perundingan pengurangan hulu ledak miliknya dilakukan. Misal, Korut baru mau mengurangi jumlah hulu ledaknya secara signifikan apabila ditukar dengan peniadaan kehadiran militer AS di Semenanjung Korea.
Sementara, penghapusan senjata nuklir Korut secara lengkap dan holistik hanya akan mereka lakukan ketika AS melakukan hal yang sama. Hal tersebut tentu saja tak mungkin. Sebagai pemain tunggal di sistem dunia yang unipolar, AS juga harus memikirkan Rusia dan China.
Keadaan stalemate inilah yang membuat AS tak lagi bisa memaksa Korut menyerahkan semua persenjataan nuklirnya. “Apabila AS tak mau menghancurkan semua rudal dan senjata nuklirnya, kenapa kami harus melakukannya?” begitulah kerangka pikir mengapa Korut mau melakukan pembicaraan ini.
Kim Jong Un bertemu delegasi Korea Selatan. (Foto: The Presidential Blue House/Yonhap via Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Kim Jong Un bertemu delegasi Korea Selatan. (Foto: The Presidential Blue House/Yonhap via Reuters)
Berbeda dengan kubu Korut, kemungkinan trade-off yang ditawarkan AS agar kubu “Little Rocket Man” angkat tangan soal kepemilikan senjata nuklirnya sedikit lebih sulit. Jelas, AS tak akan semudah itu untuk jatuh ke dalam permintaan-permintaan Korut.
ADVERTISEMENT
Yang lebih mungkin, pertemuan Jong-un dan Trump hanya akan menjadi pembukaan, sementara detail perjanjian --kalau pertemuan pertama menjanjikan-- baru akan selesai berbulan-bulan kemudian.
Yang jelas, menurut Cha, ada dua opsi besar yang mungkin ditawarkan pemerintahan Trump pada Korut dalam pertemuan nanti.
Pertama, AS bisa menawarkan paket bantuan ekonomi berupa pasokan energi dan penghapusan sanksi untuk ditukar dengan penanggalan senjata nuklir dan program rudal balistik jarak jauh Korut.
Kedua, menurut Cha --mungkin akan lebih menarik buat Trump meski kemungkinannya jauh lebih kecil-- ialah paket tawaran akan memberikan lebih banyak carrot ketimbang stick. Artinya, AS menawarkan normalisasi hubungan diplomatik secara penuh (macam yang dilakukannya pada China di masa Nixon) dan perjanjian damai yang mengakhiri Perang Korea.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, yang justru lebih penting menurut Cha adalah proses mempersiapkan pertemuan itu sendiri. Pada akhirnya, pertemuan Jong-un dan Trump ini adalah keanehan dalam wujudnya yang paling nyata.
Seperti biasa terjadi dalam proses diplomasi dua negara, pertemuan dua pemimpin politik baru akan terjadi setelah pertemuan di level bawah selesai sepenuhnya. Summit, atau konferensi tingkat tinggi antarpemimpin negara, biasanya hanya bersifat simbolik dengan penandatanganan. Syaratnya, kesepakatan telah dirumuskan oleh pejabat di level yang lebih rendah.
Namun, seperti telah disebut di atas, Trump tetap sangat optimistis. Baginya, gampang saja untuk tidak mengulangi kesalahan yang sudah-sudah: sanksi tetap akan berlaku sampai Korut benar-benar melaksanakan janjinya.
Masalahnya, praktiknya mungkin tak akan semudah itu. Di dekade 1980-an, Kissinger dkk butuh waktu tujuh bulan untuk mempersiapkan kunjungan Nixon ke China. Trump? Dari sekarang, dua bulan saja menuju akhir Mei.
ADVERTISEMENT
Tampaknya, Trump tak banyak membaca soal pertemuan Kennedy dan Khrushchev di Juni 1961.
Kim Jong-un dan Donald Trump (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Kim Jong-un dan Donald Trump (Foto: Reuters)
====================
Ini adalah cerita kedua dari seri Menyambut Kopi Darat Donald Trump & Kim Jong-un. Cerita pertama berjudul “Kopi Darat Trump dan Jong-un: Lawatan untuk Perdamaian” dan cerita ketiga berjudul “Kopi Darat Trump dan Jong-un: Momen Menuju Sejarah”.