Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI ) mencatat kasus kekerasan terhadap anak di lingkungan satuan pendidikan masih banyak terjadi selama 2019. Kekerasan yang terjadi seperti verbal, fisik, psikis, hingga seksual.
ADVERTISEMENT
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti menjelaskan, berdasarkan hasil pengawasan, pihaknya menemukan fakta banyak guru dan pihak sekolah yang masih memberikan hukuman fisik bagi siswa 'nakal'.
Padahal, hukuman fisik untuk mendisiplinkan siswa dapat berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak. Serta, tak menjamin sang anak menghentikan perbuatannya.
"Faktanya, berbagai kekerasan terus terjadi di sekolah-sekolah. Bahkan pada tahun 2019 telah menimbulkan korban jiwa, yaitu dua siswa di SMA TI Kota Palembang meninggal saat kegiatan MPLS di sekolah, 1 siswa SMPS di Kota Manado juga meninggal setelah dihukum lari keliling lapangan sekolah karena terlambat, dan 1 guru SMKS di Kota Manado meninggal dunia karena ditikam siswanya sendiri," jelas Retno dalam keterangannya, Senin (30/12).
Lantas, bagaimana hasil pengawasan KPAI atas kasus kekerasan terhadap anak di lingkungan pendidikan?
ADVERTISEMENT
Retno menuturkan KPAI menerima 153 kasus pengaduan kekerasan fisik selama 2019. Sebanyak 95 kasus (atau 62%) diselesaikan melalui rapat koordinasi nasional di Jakarta.
Lalu 23 kasus diselesaikan lewat pengawasan langsung ke lokasi dan rapat ke pemerintah terkait, 19 kasus dengan mediasi, dan 16 kasus dirujuk ke pihak terkait.
"Kekerasan fisik dan bullying tersebut 39% terjadi di jenjang SD/MI, 22% terjadi di jenjang SMP/sederajat, dan 39% terjadi di jenjang SMA/SMK/MA. Adapun jumlah siswa yang menjadi korban kekerasan fisik dan bullying mencapai 171 anak, sedangkan guru korban kekerasan ada 5 orang," tutur Retno.
Kekerasaan Mayoritas oleh Guru
Siapa yang paling banyak melakukan kekerasan? KPAI mendapati sebanyak 44 persen kasus kekerasan dilakukan oleh oknum guru atau kepala sekolah. Lalu 13 persen kasus kekerasan dilakukan siswa ke guru, dan 13 persen orang tua siswa ke guru atau siswa. Sementara kekerasan antarsiswa juga cukup tinggi, yakni 30 persen.
ADVERTISEMENT
Ia juga menyinggung kasus kekerasan yang dilakukan seorang motivator, Agus Setiawan, yang menampar siswa SMK 2 Muhammadiyah Kota Malang pada Oktober 2019.
"Ada 10 anak menjadi korban penamparan dan makian 'goblok'. Sayangnya, penyelesaian kasus ini justru melalui jalur damai, tidak diproses hukum," ucap dia.
Bentuk kekerasan mana yang paling sering terjadi? KPAI mendapati kekerasan fisik oleh guru dilakukan dengan dicubit, dipukul, ditampar, dibentak, dimaki, dijemur di terik matahari, hingga dihukum lari keliling lapangan sekolah. Hukuman ini sebagai modus mendisiplinkan siswa.
Pengeroyokan mendominasi kekerasan sesama siswa, yang juga banyak dilakukan dengan dipukul, ditampar, dan ditendang. Sedangkan kekerasan siswa ke guru dilakukan dengan dipukul, dirundung (bully), divideokan lalu diunggah di media sosial, hingga ditikam dengan pisau.
ADVERTISEMENT
Menurut Retno, kasus kekerasan banyak terjadi di ruang kelas. Namun, tak sedikit juga yang dilakukan di ruang kepala sekolah, halaman atau lapangan, aula hingga kebun belakang sekolah.
Alasan apa yang paling sering diutarakan pelaku kekerasan? Oknum guru banyak melakukan kekerasan dengan dalih mendidik dan mendisiplinkan siswanya. Oknum orang tua siswa melakukan kekerasan ke guru karena ingin membela anaknya, yang dianggap telah menjadi korban kekerasan.
"Adapun alasan siswa melakukan kekerasan terhadap sesama siswa adalah untuk membalas dendam dan sengaja adu kekuatan (gladiator) karena perintah siswa senior. Sedangkan kasus siswa membully guru sebagian besar karena ingin video yang dibuatnya viral sehingga jadi terkenal," ujar Retno.
Sekolah Ramah Anak
Belajar dari masih banyaknya kasus kekerasan terhadap siswa di sekolah, KPAI memberikan sejumlah rekomendasi. Sekolah dan dinas pendidikan setempat perlu percepatan Sekolah Ramah Anak (SRA) yang baru diterapkan 15 ribuan dari 400 ribuan sekolah. Salah satunya tidak menggunakan kekerasan untuk mendisiplinkan siswa.
ADVERTISEMENT
Dari situlah, KPAI mendorong pemerintah pusat hingga daerah memberikan pelatihan dalam peningkatan kapasitas guru serta pengelolaan kelas. Serta, demi meningkatkan pemahaman dampak buruk bullying dan pencegahan kekerasan di lingkungan sekolah.
Retno juga menyoroti masih banyaknya kepala sekolah dan kepada dinas pendidikan di sejumlah daerah tak mengetahui Permendikbud Nomor 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan. Padahal, dalam peraturan tersebut, aturan untuk menangani kekerasan sudah diatur dengan baik.
"Oleh karena itu, sehubungan dengan tingginya angka kekerasan di lembaga pendidikan, baik kekerasan fisik dan kekerasan seksual, termasuk yang dilakukan guru/kepala sekolah, siswa dan orang tua siswa harus menjadi prioritas PR yang harus dikerjakan Mendikbud baru," tutup Retno.
ADVERTISEMENT