Lone Wolf Istilah Usang, Polisi Sebaiknya Tak Gunakan Julukan itu untuk Teroris

5 April 2021 15:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Personel kepolisian dengan rompi anti peluru dan senjata laras panjang berjaga di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (31/3).  Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Personel kepolisian dengan rompi anti peluru dan senjata laras panjang berjaga di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (31/3). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Peristiwa penyerangan Mabes Polri pada 31 Maret lalu disebut aparat keamanan dan media massa sebagai 'lone wolf'. Namun merujuk pada hasil penyidikan polisi, dakwaan jaksa, serta vonis hakim dalam kasus terorisme selama ini, kasus-kasus yang awalnya disebut sebagai 'lone wolf' ternyata tidak dilakukan sendirian.
ADVERTISEMENT
Selain itu, penggunaan istilah tersebut juga sudah mulai ditinggalkan dalam praktik kebijakan kontraterorisme karena dianggap mengglorifikasi aksi terorisme.
Direktur Eksekutif Policy and Regulatory Institute (PRI) Arisakti 'Rico' Prihatwono mengungkapkan, 'lone wolf' sebenarnya merupakan terminologi ilmu zoologi untuk menggambarkan fenomena serigala yang hidup sendirian, berbeda dari karakter umum hewan tersebut yang biasanya hidup dalam kawanan.
Personel kepolisian dengan rompi anti peluru dan senjata laras panjang berjaga di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (31/3). Foto: Willy Kurniawan/REUTERS
Istilah itu kemudian dipinjam dalam kajian keamanan untuk menggambarkan aksi terorisme yang dilakukan sendirian tanpa jaringan dan rantai komando yang jelas.
Berdasarkan definisi umum yang disepakati dunia, mereka yang disebut 'lone wolf' memiliki beberapa kriteria. Pertama, beraksi secara individu tanpa rekan. Kedua, bukan merupakan anggota atau tidak terafiliasi dengan organisasi yang terkait terorisme.
Ketiga, beroperasi tanpa rantai komando (chain of command) atau pengaruh seorang pemimpin. Keempat, merencanakan agenda dan aksi serangan teror sendirian. Kelima, mengalami proses radikalisasinya sendiri.
Kondisi Rumah ZA, penyerang Mabes Polri. Foto: Dok. Istimewa
"Merujuk pada definisi tersebut, dan dari bukti penyidikan polisi, dakwaan jaksa, serta vonis hakim dalam kasus-kasus terorisme yang terjadi sebelumnya, kasus-kasus yang awalnya disebut sebagai 'lone wolf', ternyata belakangan terbukti merupakan bagian dari sel atau jaringan teroris tertentu," ujar Rico dalam keterangan tertulis, Senin (5/4).
ADVERTISEMENT

Lone Wolf Ternyata Tak Beraksi Sendiri

Kasus terorisme yang semula dianggap akibat pelaku 'Lone Wolf' namun ternyata keliru, dapat dilihat dari kasus RM, pelaku bom bunuh diri di Mapolrestabes Medan, Sumatera Utara, pada 13 November 2019. Polisi awalnya menyebut RM sebagai pelaku tunggal dan 'lone wolf'. Ternyata ia tidak beroperasi dan merencanakan aksinya sendiri.
Berdasarkan bukti putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur di 2020 untuk beberapa terpidana terorisme yang diringkus polisi pada akhir 2019 dan awal tahun, RM terbukti tidak melakukan aksinya sendirian dan bahkan terkait dengan jaringan yang terafiliasi dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Sumatera. Ia terbukti direkrut oleh jaringan teroris dan bahan peledak yang digunakannya dipasok oleh anggota jaringan teroris lainnya.
Surat wasiat pelaku peledakan bom di Gereja Katedral Makassar (kiri) dan surat wasiat pelaku penembakan di Mabes Polri. Foto: Dok. Istimewa
Begitu juga RA, pelaku pemboman Pos Polisi Kartasura, Jawa Tengah, pada 3 Juni 2019, yang awalnya juga disebut sebagai 'lone wolf' ternyata juga tidak beraksi sendirian. Meski tidak terafiliasi dengan JAD atau kelompok besar teror lainnya, penyidikan polisi belakangan menemukan dua orang yang diduga ikut membantu proses perakitan bom yang digunakan RA. Satu orang diringkus di Lampung dan satu orang lagi ditangkap di Sukoharjo, kurang lebih sepekan setelah aksi pemboman.
ADVERTISEMENT
Menurut Rico, lewat penyidikan mendalam, kasus-kasus yang awalnya disebut sebagai 'lone wolf', ternyata belakangan ditemukan tidak sendirian atau merupakan bagian dari sel atau jaringan teroris tertentu. Karena itu, ia meminta kepolisian dan media massa untuk tidak buru-buru melabeli peristiwa penembakan di Mabes Polri sebagai 'lone wolf'.
"Pertanyaan publik mengenai kejanggalan peristiwa penembakan di Mabes Polri harus dijawab dengan penyelidikan yang mendalam dan transparan. Bukan dengan melabelinya dengan terminologi usang yang sudah ditinggalkan," jelasnya.
Disebut terminologi usang karena istilah 'lone wolf' sendiri secara international best practice sudah mulai ditinggalkan oleh pengambil kebijakan dan media massa. Penyebutan 'wolf' atau serigala dipandang sebagai sesuatu yang heroik, melegitimasi, dan mengglorifikasi aksi terorisme. Istilah yang lazim dipakai sekarang adalah 'lone actor'.
ADVERTISEMENT
"Tetapi tentu saja, sebelum melabelnya sebagai 'lone actor', harus dilakukan penyidikan yang mendalam dan transparan atas insiden tersebut," ujar Rico.