Masih Mau Bilang Demo Buruh Cuma Bikin Macet?

1 Mei 2017 11:30 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Aktivis buruh yang tergabung dalam Migrant Care. (Foto: Fanny Kusumawardhani)
zoom-in-whitePerbesar
Aktivis buruh yang tergabung dalam Migrant Care. (Foto: Fanny Kusumawardhani)
Bagai sudah jadi ritual rutin, layaknya mudik dan memadati pusat perbelanjaan seusai gajian, begitu pula tradisi demonstrasi buruh tanggal 1 Mei tiap tahunnya. Mungkin ada benarnya, tapi yang jelas, demonstrasi buruh yang meluap-luap itu tidak pernah sebanal dua contoh lainnya --mudik dan belanja di mal.
ADVERTISEMENT
Duh.
Apa benar demonstrasi buruh setiap tanggal 1 Mei sama sekali tak berguna?
Insiden Haymarket (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Insiden Haymarket (Foto: Wikimedia Commons)
Awal Mula
Hari Buruh Internasional jatuh tiap tanggal 1 Mei. Perkara kenapa ia diperingati di hari pertama bulan Mei kurang lebih terjadi karena rentetan peristiwa yang terjadi sekitar 200 tahun silam di Amerika Serikat.
Singkat cerita, pada 1 Mei 1886, puluhan ribu buruh memadati Lapangan Haymarket, Chicago. Mereka mogok kerja --yang sebetulnya sudah dimulai dari akhir bulan sebelumnya.
Mereka menuntut jam kerja dikurangi: bahwa dalam 24 jam sehari yang mereka miliki, mereka meminta untuk bekerja selama 8 hari, sementara 2 x 8 jam sisanya digunakan untuk sosialisasi dan beristirahat.
Massa demonstrasi semakin membesar. Tiga hari setelahnya, massa di Lapangan Haymarket mencapai 350.000 orang. Ribuan polisi dikerahkan untuk membendung aksi massa tersebut.
ADVERTISEMENT
Nahas, sebuah bom dilemparkan oleh seseorang tak dikenal ke arah polisi. Seorang polisi tewas, yang kemudian dibalas dengan rentetan tembakan ke arah demonstran. Empat orang demonstran ganti tewas akibat serangan balasan tersebut.
Sehari setelahnya, 5 Mei 1886, massa buruh di Milwaukee, Wisconsin, ikut beraksi. Selain meminta dikabulkannya tuntutan awal, yaitu pengurangan jam kerja, mereka juga memprotes tindakan polisi Chicago yang terlampau represif.
Namun, pertumpahan darah berulang. Perintah pembubaran diri oleh polisi tak ditaati, dan demonstran terus melaju. Rentetan pelor kembali ditembakkan, yang menyebabkan tujuh orang tewas akibat aksi tersebut, termasuk seorang anak sekolah menjadi korban amarah para orang tua.
Hari Buruh Internasional lantas menjadi simbol pengingat atas martir yang mati di aksi berujung tragedi tersebut.
Massa demo hari buruh. (Foto: Aria Pradana/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Massa demo hari buruh. (Foto: Aria Pradana/kumparan)
Diadopsi Indonesia
ADVERTISEMENT
Penetapan Hari Buruh Internasional pada tanggal 1 Mei baru dilakukan tiga tahun setelah tragedi itu terjadi. Dalam sidang International Working Men's Association di Paris tahun 1889, peristiwa dan tanggal tersebut ditetapkan sebagai Hari Buruh Sedunia.
Indonesia turut mengamini peringatan tersebut. Terlebih saat peta politik masih memungkinkan, yaitu saat Sukarno masih berkuasa.
Setidaknya sampai tahun 1966, tanggal 1 Mei selalu diperingati sebagai hari buruh internasional, dengan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) sebagai punggawa serikat penggeraknya.
Namun hal tersebut tak berlangsung lama. Bergantinya tampuk kepemimpinan lewat kudeta merangkak yang dilakukan oleh Soeharto dari 1965-1968 menjadi awal disematkannya label gerakan kiri dan komunisme terhadap Hari Buruh Internasional.
Tak sampai di situ, pemerintah Orde Baru juga menghapus peringatan hari buruh tersebut, dengan membuat hari buruh nasional untuk Indonesia sendiri: 20 Februari.
ADVERTISEMENT
“Kita cari Hari Buruh Nasional saja, tak perlu yang internasional, nanti malah harus nyanyi lagu Internasionale segala,” ucap Menteri Tenaga Kerja pertama rezim Soeharto, Awaloedin Djamin, seperti dilansir Kompas, 7 Mei 2006.
Malahan, kata ‘buruh’ yang lekat dengan semangat perlawanan kelas juga diganti menjadi ‘pekerja’. Tak ada hari buruh internasional, yang ada hanya hari pekerja nasional. Tak ada Kementerian Perburuhan, yang ada hanya Departemen Tenaga Kerja.
Serikat pekerja pun dilebur ke dalam satu kelompok besar --yang jelas jinak terhadap apa kata rezim saat itu, yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).
Hari buruh di Tunisia. (Foto: Commons Wikimedia)
zoom-in-whitePerbesar
Hari buruh di Tunisia. (Foto: Commons Wikimedia)
Keadaan baru berubah 30 tahun setelah Soeharto tumbang. Dengan kebebasan berserikat yang kembali dijamin, kelompok buruh di luar SPSI --sekarang KSPSI-- kembali terbentuk. Aksi demonstrasi oleh buruh kembali dilakukan pada 1 Mei 2000.
ADVERTISEMENT
Tahun 2000 itu, buruh menuntut agar tanggal 1 Mei dijadikan hari libur nasional --seperti yang jamak di Eropa, dan mengembalikannya sebagai momentum peringatan hari buruh, bukan hari pekerja seperti yang digalakkan Orde Baru.
Alih-alih dikabulkan, pemerintah tetap tak merespons permintaan buruh tersebut. Dari Gus Dur, Megawati, hingga SBY menolak membuat tanggal 1 Mei sebagai hari libur nasional.
Selama masa itu, tuntutan buruh terus berkembang. Buruh tidak hanya mengurusi 1 Mei sebagai simbol semata, namun menuntut revisi UU Ketenagakerjaan dan jaminan sosial.
Baru di masa-masa akhir pemerintahan SBY, keadaan berubah. SBY, yang sebelumnya selalu menolak menjadikan momen 1 Mei sebagai hari libur nasional, mulai berubah pikiran.
SBY yang di tahun-tahun awalnya keberatan dengan mogok buruh di berbagai kesempatan, pada 2013 mengabulkan permintaan buruh untuk membuat Hari Buruh, May Day, sebagai hari libur. Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) menulis, keputusan tersebut sangatlah politis, yakni untuk mendulang suara buruh menjelang pemilihan legislatif beberapa bulan setelahnya.
Sejumlah buruh pabrik di Jalan Industri. (Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya)
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah buruh pabrik di Jalan Industri. (Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya)
Keberhasilan Aksi
ADVERTISEMENT
Reformasi menjadi tonggak penting bagi pergerakan buruh di Indonesia, meskipun menurut peneliti gerakan buruh Indonesia, Jafar Suryomenggolo, momen tersebut tak bisa dimanfaatkan secara penuh oleh buruh Indonesia secara kolektif.
Terbukti dari jumlah serikat buruh baru yang dibuat pada lima tahun pertama setelah era Reformasi. Jumlahnya mencengangkan: 80 buah.
Dalam buku Worker Activism After Reformasi (2014), Jafar menyebut ketidakmampuan gerakan buruh Indonesia mencapai satu kesatuan fron yang kuat membuat kelompok buruh Indonesia gagal memanfaatkan kekuatan mereka yang besar.
Padahal menurutnya, kekuatan tersebut sebetulnya bisa dikonsolidasikan pada ruang politis di tengah momentum demokratisasi yang sebenarnya belum punya arah jelas pada tahun-tahun pertamanya.
Meski begitu, kabar yang dibawa Reformasi tak melulu buruk. Beberapa hal vital mewujud berkat juang buruh yang tanpa henti.
ADVERTISEMENT
Salah satu dari beberapa hal itu berpangkal di 19 Oktober 2004. Hari itu adalah hari di mana Presiden Megawati menandatangani Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), sehari sebelum SBY mengambil alih kursi kepresidenan.
Intinya, Undang-Undang tersebut mewajibkan negara untuk memperbarui sistem jaminan sosial yang tersedia bagi masyarakat. UU itu menjadi terobosan yang, debatably, paling penting bagi buruh di Indonesia.
Dengan Undang-Undang tersebut, seluruh masyarakat Indonesia akan memperoleh jaminan kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Jaminan-jaminan tersebut sebelumnya hanya dimiliki oleh pegawai negeri sipil dan militer/polisi, sementara 139 juta dari 240 juta penduduk Indonesia tidak mendapatkannya.
Namun demikian, jalan tercapainya jaminan-jaminan tersebut amat terjal. Empat BUMN yang sebelumnya mengurusi masalah jaminan sosial (Jamsostek, Taspen, Asabri, dan Askes) harus berubah menjadi institusi publik nirlaba. Keempat BUMN itu --dan orang-orang di dalamnya-- jelas melihat SJSN sebagai ancaman terhadap kemapanan struktur jaminan sosial saat itu.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, SJSN sendiri hanya memuat prinsip-prinsip dasar yang harus disediakan pemerintah terkait dengan jaminan kesehatan dan sosial. Bagaimana prinsip-prinsip tersebut dijalankan, tak termuat dalam UU.
Untuk mewujudkannya, sebuah badan yang secara teknis mengurus pelaksanaannya harus dibentuk. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) harus dibuat lewat persetujuan melalui sebuah undang-undang, yang berarti menyertakan restu dari badan eksekutif pemerintah dan DPR. Di sinilah masalah terjadi.
Mantan presiden RI, SBY. (Foto: Dok. Wikimedia/Senat Rzeczypospolitej Polskiej)
zoom-in-whitePerbesar
Mantan presiden RI, SBY. (Foto: Dok. Wikimedia/Senat Rzeczypospolitej Polskiej)
Pemerintahan SBY terkesan ogah-ogahan memproses terwujudnya BPJS. Banyak alasan digunakan, seperti bahwa program tersebut akan mengganggu keseimbangan fiskal negara, kurangnya kesiapan infra dan suprastruktur negara untuk program jaminan sosial baru, dan masih banyak lagi.
Sampai 19 Oktober 2009, atau lima tahun setelah UU SJSN ditandatangani, pemerintah masih menolak menyerahkan rancangan penyelenggaraan SJSN ke DPR. Pada akhirnya, justru DPR-lah yang membuat RUU untuk dibahas pada tahun 2010.
ADVERTISEMENT
Itu pun, seperti dikutip dari tulisan Surya Tjandra di Worker Activism After Reformasi (2014), pemerintahan SBY jilid II terlihat masih menghindari pembahasan dengan DPR untuk soal implementasinya.
Di sinilah buruh Indonesia bekerja.
Puluhan serikat buruh, LSM, petani, nelayan, mahasiswa, dan para praktisi membentuk apa yang dinamakan Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS). Tugasnya jelas: menekan pemerintah untuk segera membentuk BPJS.
Pertemuan-pertemuan digelar untuk menentukan strategi mendorong pemerintah yang mangkus dan sangkil. Demonstrasi puluhan ribu massa di beberapa daerah digelar, seperti pada 5 April 2010 yang bertepatan dengan pembukaan sidang pleno DPR.
Aksi terus diulang, yang puncaknya terlaksana pada 1 Mei 2010 ketika massa sebanyak 150 ribu orang beraksi di depan Istana Presiden.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, KAJS juga melayangkan tuntutan hukum terhadap presiden, wakil presiden, juru bicara presiden, dan 8 orang menteri atas tuduhan pembiaran hak konstitusional rakyat atas jaminan sosial.
Puluhan persidangan yang berlangsung hingga Juli 2011 tersebut terus dikawal KAJS. Akhirnya, pengadilan memutuskan kemenangan bagi pihak buruh: SJSN dan BPJS harus diimplementasikan.
Sidang Paripurna DPR RI (Foto: Viry Alifiyadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sidang Paripurna DPR RI (Foto: Viry Alifiyadi/kumparan)
Namun, jalan terjal BPJS belum selesai. Pembahasan di DPR berlangsung bertele-tele. Padahal tenggat waktu terakhir untuk sesi pengesahan RUU di DPR sudah sedemikian dekat.
Rencana pertemuan antara presiden dan KAJS pada 21 Oktober 2011 --atau seminggu sebelum batas akhir pembahasan di DPR, yaitu 28 Oktober-- justru dibatalkan oleh pemerintah dengan alasan isu reshuffle.
Kaum buruh berang luar biasa. Demonstrasi terus berlanjut. Buruh-buruh menginap di sekitaran Gedung DPR. Langkah nekat juga diambil, di mana KAJS mengancam akan melangsungkan demonstrasi yang melibatkan 50.000 buruh dan ribuan kelompok lain, dari petani hingga mahasiswa, untuk mengokupasi Gedung DPR dan gedung Bursa Efek Indonesia di dekatnya.
ADVERTISEMENT
Dramatis, setelah melalui puluhan lobi dan diperkuat dengan demonstrasi besar-besaran, RUU BPJS disetujui. Undang-Undangnya sendiri, dengan Nomor 24 Tahun 2011, baru disahkan presiden pada 25 November 2011.
Konfederasi Kasbi berpawai menuju Istana (Foto: Aria Pradana/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Konfederasi Kasbi berpawai menuju Istana (Foto: Aria Pradana/kumparan)
Ini jelas lebih dari sekadar BPJS semata.
Beberapa perubahan di bidang ketenagakerjaan (baca: perburuhan) seperti batasan jam kerja, batasan umur pekerja anak, adanya upah minimum regional (UMR), upah lembur, tunjangan hari raya, cuti haid, cuti melahirkan, dana pensiun, dan jaminan sosial, menurut anda kira-kira itu semua lahir dari mana?
Ya dari demo buruh bertahun-tahun yang cuma bikin macet itu.
Aktivis buruh yang tergabung dalam Migrant Care melakukan orasi dalam Peringatan Hari Migran Internasional. Mereka menuntut pemerintah untuk memperhatikan hak-hak para buruh dan ratifikasi konvensi ILO 189 di Bundaran HI, Jakarta (18/12/2016) (Foto: Fanny Kusumawardhani)
zoom-in-whitePerbesar
Aktivis buruh yang tergabung dalam Migrant Care melakukan orasi dalam Peringatan Hari Migran Internasional. Mereka menuntut pemerintah untuk memperhatikan hak-hak para buruh dan ratifikasi konvensi ILO 189 di Bundaran HI, Jakarta (18/12/2016) (Foto: Fanny Kusumawardhani)
Apa Kabar Sekarang?
Menyedihkannya, peringatan Hari Buruh Internasional sekarang justru kerap dijadikan bahan nyinyir kelas menengah. Entah karena macet atau ricuh yang kadang tak terhindarkan.
ADVERTISEMENT
Bahkan, May Day kini diperingati tak lebih dari sebagai ajang pemberian diskon, membuat kelas menengah --yang adalah sebetul-betulnya pekerja itu-- lupa akan hari yang menjadi simbol perjuangan buruh sejak ratusan tahun lalu, dan menganggapnya sebatas hari melancong biasa.
Tak salah memang. Tapi, apa kita betul-betul rela jika May Day menjadi sebatas holiday?
Baca juga: