Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Tak kurang dari 21 judul buku dengan total 200 eksemplar lebih dirazia tentara di tiga kota di Indonesia.
Penyitaan pertama terjadi di Pare, Kediri, Jawa Timur, pada 26 Desember 2018. Di sana aparat TNI menyita sekitar 160 buku dari dua toko di Jalan Brawijaya, Desa Tulungrejo.
“Kami amankan di Markas Koramil Pare dan sebagian dibawa oleh Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas) Kabupaten Kediri untuk dikaji," kata Komandan Koramil 0809/11 Pare, Letnan Satu Sutejo, sehari setelah penyitaan.
Selang dua minggu, razia buku kembali terjadi Padang, Sumatera Barat. Tanpa pemberitahuan atau surat perintah apa pun, tentara menyita sejumlah buku yang lagi-lagi menurut mereka bermuatan komunisme.
“Buku-buku itu sudah jelas judulnya tentang Partai Komunis Indonesia. Sementara di Indonesia, PKI itu tidak diperbolehkan," kata Komandan Koramil 01 Padang Barat/Utara, Mayor Infanteri P. Simbolon, di lokasi penyitaan, Selasa (8/1).
Buku-buku yang disita itu berjudul Kronik ‘65: Catatan Hari Per Hari Peristiwa G30S Sebelum dan Sesudahnya, Jasmerah: Pidato-pidato Spektakuler Bung Karno Sepanjang Massa, dan Mengincar Bung Besar: Tujuh Upaya Pembunuhan Bung Karno. Tak ada satu pun judul buku yang memuat kata “PKI” atau “komunis” seperti yang dituduhkan.
ADVERTISEMENT
“Buku yang disita katanya berbau PKI. Setahu saya, hanya berisi semacam informasi sejarah, bukan doktrin. Mungkin karena situasi akan Pemilihan Presiden (sehingga ada penyitaan),” ujar Yanto, pemilik toko buku.
Razia tiba-tiba oleh tentara itu membuat Yanto dan istrinya, Yessy, merasa trauma. Mereka lantas mengobral semua buku dan menutup toko yang selama ini jadi sumber penghidupan.
Dua kali aksi penyitaan buku diikuti peristiwa “pengamanan” buku berjudul Aidit yang dilakukan oleh seorang satpam toko buku. Buku itu kemudian disita aparat Kodim 0907 Tarakan.
“Penemuannya pertama kali pada pukul 10.30 WITA oleh satpam toko buku tersebut. Satpam langsung menyerahkan ke kepala toko untuk diamankan,” ujar Kepala Kesbangpol Tarakan Agus Sutanto, Rabu (9/1).
Beragam protes dan tanda tanya lalu muncul, mulai dari soal kriteria buku yang dianggap berbahaya hingga perlu “diamankan”, sampai kewenangan aparat melakukan penyitaan.
ADVERTISEMENT
JJ Rizal, sejarawan yang mendirikan Komunitas Bambu (Kobam), heran mengapa buku tentang Sukarno karya Onghokham yang diterbitkan Kobam kena razia di Kediri. Buku tersebut berjudul Sukarno, Orang Kiri, Revolusi dan G30S 1965.
“Saya enggak tahu apa yang ditakutkan dalam buku itu. Dari Sukarno apa yang ditakutkan?" ujarnya kepada kumparan di Komunitas Bambu, Depok, Kamis (10/1).
Bagi JJ Rizal, kepiawaian Ong dalam menulis buku sejarah tak perlu diragukan. Apalagi Ong termasuk orang yang mengalami dan tahu apa yang terjadi pada masa itu. Ong bukan saja memotret sejarah kelam 1965, tapi juga lebih luas lagi menuturkan perjalanan politik Sukarno hingga ia dijatuhkan oleh Tragedi G30S.
“Buku ini karya yang benar-benar akademik, karya sejarawan, sarjana Indonesia terkemuka di bidang sejarah,” kata JJ Rizal.
ADVERTISEMENT
Buku kedua terbitan Kobam yang ikut dirazia tentara adalah karya Peter Kasenda yang berjudul Sukarno, Marxisme, dan Leninisme. Buku tersebut memuat perjalanan ideologi-ideologi yang berkembang dan pengaruhnya di masa kolonialisme.
“Jadi menurut saya, ketika buku itu diberedel, bahkan bersama buku Islam Sontoloyo karya Bung Karno dan beberapa buku yang lain, yang menyedihkan adalah itu (seperti) gambaran kita sedang menikam diri kita sendiri, karena Sukarno adalah pendiri bangsa ini,” ucap sejarawan berusia 42 tahun ini.
Keheranan serupa ditanyakan oleh Bonnie Triyana, Pemimpin Redaksi Historia. Buku berjudul Mengincar Bung Besar: Tujuh Upaya Pembunuhan Bung Karno yang ditulis oleh Tim Majalah Historia dan diterbitkan Kompas Gramedia ikut disita aparat di Padang.
ADVERTISEMENT
Padahal buku itu memuat kisah tujuh kali upaya pembunuhan terhadap Sukarno sang proklamator kemerdekaan. Peluncuran buku tersebut bahkan dihadiri oleh mantan presiden Megawati Sukarnoputri dan mantan wakil presiden, Jenderal TNI (Purn.) Try Sutrisno pada 30 November 2017 di Museum Nasional Jakarta.
“(Penyitaan) ini katanya untuk menjaga Pancasila. Lah yang ngeluncurin buku saya itu Ketua Dewan Pengarah BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) Megawati dan Pak Try Sutrisno, Wakil Ketua Dewan Pengarah BPIP,” ucap Bonnie kepada kumparan di kantornya, Jumat (11/1).
“Artinya, operasi yang sekarang jauh lebih serampangan lagi. Kan mestinya diteliti dulu,” imbuh Bonnie.
Dari sekitar 21 judul buku yang disita, empat judul merupakan buku karya dan tentang Sukarno, yakni Islam Sontoloyo; Sukarno, Orang Kiri, Revolusi, & G30S 1965; Mengincar Bung Besar; dan Jasmerah.
ADVERTISEMENT
“Aparat pelaku penyitaan harus menjelaskan apakah mereka masih menghormati Sukarno sebagai founding father Republik Indonesia yang pemikiran-pemikirannya justru harus disebarkan seluas-luasnya,” ujar Ronny Agustinus, pendiri penerbitan Margin Kiri.
Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam mempertanyakan hal serupa. “Buku tentang Sukarno ikut disita, dikaitkan dengan komunisme, itu kan sama saja menuduh Sukarno sang proklamator itu terkait G30S,” ujar Asvi.
Tak berhenti di situ, buku lain yang masuk daftar razia adalah buku setebal 1.000 halaman berjudul Kronik ‘65. Buku tersebut berisi kronologi rinci hari per hari sebelum dan sesudah peristiwa G30S pada 1965.
Asvi yang turut serta memberi kata pengantar pada buku tersebut mengatakan, buku itu disusun melalui metodologi sejarah dengan kritik sumber, dan karenanya jelas merupakan buku ilmiah.
ADVERTISEMENT
“Buku ini sangat berguna bagi orang untuk mempelajari, meneliti, atau mau menulis tentang peristiwa ‘65. Ini bahan sejarah dan tidak ada kaitannya dengan penyebaran ideologi komunisme. Satu bahan yang berguna bagi mahasiswa sejarah, bagi sejarawan,” ujar sejarawan yang banyak bergelut dalam pelurusan sejarah Indonesia ini.
Ia mengkritik keras aksi tentara menyita buku-buku secara sembarangan. “Penyitaan buku ini sifatnya sangat ceroboh. Yang merazia itu tidak baca dan tidak melihat sama sekali isi buku yang mereka sita. Serampangan dan ngawur,” ujarnya tegas.
Baginya, pasca penghapusan dwifungsi ABRI (sebutan untuk TNI pada masa Orde Baru), tak ada lagi hak dan kewenangan militer untuk memberangus buku. “Itu kan sebetulnya melanggar hukum. Apa hak mereka, apa kewajiban mereka untuk melakukan hal itu?”
ADVERTISEMENT
Pelarangan buku marak terjadi sejak era Orde Baru meski aturannya dikeluarkan oleh Sukarno pada 1963. Namun pelarangan buku kala itu berlaku dengan alasan berbeda.
Pada masa Orde Lama, sensor terhadap buku berlaku dengan alasan mencegah masuknya paham-paham asing yang bisa mengganggu jalannya revolusi Indonesia yang baru saja merdeka. Sementara pada zaman Orde Baru, pembredelan buku masif terjadi, khususnya buku-buku menyangkut PKI dan komunis.
“Soeharto nggak dipilih secara demokratis. Jadi dia butuh mandat secara politis dengan menjadikan komunis sebagai musuh. Karena dia dicitrakan sebagai penyelamat bangsa dari ancaman komunis,” tutur Bonnie terkait asal-usul pelarangan buku-buku yang dicap kiri.
ADVERTISEMENT
Upaya lainnya adalah dengan melahirkan gerakan-gerakan anti-Sukarno atau desukarnoisasi. “Salah satu caranya dengan menghilangkan nama Sukarno sebagai penggali konsep Pancasila, diganti menjadi Muhammad Yamin,” imbuh Bonnie.
Taufik Abdullah dan kawan-kawan dalam buku Kontroversi Sejarah Orde Baru menuliskan bahwa Orba mengendalikan sejarah melalui dua hal, yakni mereduksi peran Sukarno (desukarnoisasi) dan membesar-besarkan jasa Soeharto.
Tindakan membesarkan peran Soeharto dilakukan menggunakan buku-buku pelajaran sejarah dan media, termasuk film. Salah satunya adalah dengan memproduksi film berjudul Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI dan menjadikannya film wajib tonton setiap tahun.
Tujuannya lagi-lagi demi mengukuhkan legitimasi kekuasaan Soeharto yang tak lahir dari rahim demokrasi.
Berikutnya, 32 tahun kekuasaan Orde Baru mewariskan banyak hal, termasuk stigma negatif masif terhadap PKI dan komunis. Ketakutan masyarakat terhadap sejarah kelam bangsa yang masih mengandung banyak tanya itu terawat dan terpelihara hingga rezim-rezim berikutnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Asvi, pelarangan buku selalu terkait dua alasan, yakni politik atau agama. “Jadi itu untuk menakut-nakuti orang yang kritis terhadap pemerintah. Mereka yang melakukan kritik, nanti bisa dicap PKI.”
Padahal, baginya, ketakutan terhadap kebangkitan PKI adalah asumsi yang tidak berdasar. “Karena pada tahun 1965 mereka sudah dibunuh sebanyak 500 ribu orang. Kemudian sepanjang Orde Baru dilakukan penahanan terhadap mereka yang terlibat, bahkan keluarga mereka diberi stigma dan didiskriminasi.”
Meski tak berdasar, isu PKI terus didengungkan terutama tiap pemilu akan berlangsung. Sikap anti terhadap lambang palu arit dan simbol-simbol komunisme menjadi bukti kuatnya doktrin Orde Baru menempel di benak rakyat.
Menurut Bonnie, aksi razia buku rutin jelas membuat masyarakat mengingat lagi ketakutan yang telah ditanamkan dalam alam pikir mereka.
ADVERTISEMENT
“Indonesia diajak mengingat lagi suatu hal yang tidak mereka alami, tapi kadung sudah ditanam, kemudian itu mempengaruhi behaviour dan preference,” kata dia.
Padahal Mahkamah Konstitusi telah membatalkan aturan terkait pelarangan buku yang dianggap bisa mengganggu ketertiban umum. MK menyatakan, pelarangan buku harus melalui mekanisme pengadilan, jika tidak maka ia inkonstitusional dan melanggar UUD 1945.
Razia buku, bagi Bonnie, adalah tanda bahwa negeri ini mengidap “sindrom anti-intelektual”. Penyitaan buku merupakan bentuk penistaan terhadap akal sehat dan kecerdasan, terlebih di era demokrasi yang seharusnya mampu menjaga kebebasan berpendapat di ruang publik.
Sementara menurut JJ Rizal, razia buku oleh tentara bisa membahayakan industri ilmu pengetahuan. “Nanti setelah razia-razia ini, toko buku dan distributor buku akan melakukan selfcensor. Kalau itu terjadi, artinya mereka mengkhianati tujuan menjadi Indonesia yang ‘Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.’”
ADVERTISEMENT