Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Cuma butuh beberapa jam buat Polri menyimpulkan Jamaat Anshorut Daulah (JAD) sebagai sosok di balik rentetan teror Surabaya . Dalam konferensi pers di malam hari kejadian, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut perintah ISIS di Suriah yang tengah terdesak menjadi salah satu motif serangan tersebut.
ADVERTISEMENT
“Kemudian peristiwa di Rutan Mako Brimob, membuat sel-sel lain yang memang sudah maunya panas [...] mengambil momentum untuk melakukan pembalasan itu,” imbuh Tito.
Ia juga menjelaskan, keluarga Dita merupakan salah satu di antara 500 orang yang pernah ke Suriah dan kini kembali ke Indonesia.
Keesokan harinya, Tito mengklarifikasi ucapannya sendiri. Ia berkata Dita dan keluarga tak pernah terbang langsung ke Suriah. Namun, menurutnya, Dita dan keluarga secara rutin mendapatkan pengajian dari Abu Bakar , sosok ‘guru’ deportan Suriah yang diduga menjadi otak dalam aksi keluarga Dita.
Mira Kusumarini, Direktur Eksekutif C-Save, mengkonfirmasi hal tersebut. Pemimpin lembaga konsorsium LSM yang selama ini menangani deportan itu menyebut, nama Abu Bakar ada dalam catatannya sebagai deportan. Ia kembali ke Indonesia pada Januari 2017.
ADVERTISEMENT
Meski dugaan ‘pelaku serangan teror’ adalah ‘deportan Suriah’ telah dianulir, pesan yang tercipta dari penjelasan Tito tetap terang-benderang: WNI yang kembali dari ‘pelesir’ ke teritori Daesh punya potensi ancaman yang tak main-main bagi keamanan Indonesia.
Banyak pertanyaan justru muncul dari pernyataan Tito itu. Mengapa, apabila benar sosok Abu Bakar adalah seorang deportan, ia tidak terdeteksi dan bisa menggerakkan Dita cs melakukan aksi teror? Bagaimana selama ini pemerintah menangani deportan-deportan terpapar terorisme tersebut?
Gelombang Deportan
Kembalinya deportan terkait ISIS ke Indonesia telah terjadi sejak 2014, seiring deklarasi kekhilafahan Islam oleh ISIS di Suriah yang menjadi magnet bagi banyak kelompok Islam radikal di penjuru dunia.
Saat itu, arus masuk deportan di Indonesia belum begitu deras. Sampai akhir 2016, berbarengan dengan perlawanan dunia internasional terhadap ISIS yang meningkat, arus deportan bersifat sporadis dan secara jumlah tidak terlalu banyak.
ADVERTISEMENT
Masalah baru dimulai di awal 2017. Saat itu, gelombang besar pertama deportan tiba di Bandara Soekarno-Hatta tanpa peringatan apa pun.
“Itu kan masalah yang besar, panik. Mau dimasukin penjara nggak bisa. Mau ditaruh di mana?” ujar Navhat Nuraniyah, peneliti Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) di Wahid Foundation, Jakarta Pusat, Selasa (15/5).
Saat itu pemerintah tidak punya instrumen yang tepat dalam menangani para deportan tersebut. Navhat mengatakan, UU Antiterorisme selama ini tidak menyebut deportan yang ingin bergabung dengan ISIS sebagai tindak pidana terorisme, dus tidak bisa ditahan.
Dari situ, ditempuhlah jalan darurat. Per Januari 2017, mereka yang terbukti terlibat jaringan teror (misal rekrutmen atau pendanaan) digiring menuju Mako Brimob. Sementara deportan yang sebatas mendukung ISIS ditempatkan di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani dan Rumah Perlindungan/Trauma Center (RPTC) di Bambu Apus. Keduanya sama-sama berada di bawah kewenangan Kementerian Sosial.
ADVERTISEMENT
Deportan-deportan tersebut kemudian mendapat program rehabilitasi satu bulanan yang melibatkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT ), TNI, Kementerian Sosial, Kementerian Agama, psikolog Universitas Indonesia, sampai mantan narapidana terorisme yang kini telah menghentikan aksinya. Materi dari keagamaan hingga kebangsaan menjadi menu harian.
Meski begitu, Navhat menilai seharusnya pemerintah sudah bisa melakukan program rehabilitasi tersebut sejak gelombang awal deportan bermunculan. “Yang dari angkatan 2015 dan 2016 sama sekali nggak ada program,” sesal Navhat.
Tak Ada Dana
Sampai saat ini, pemerintah mengaku telah menerima lebih dari 500 orang deportan terkait ISIS dari berbagai negara. Dari 500-an orang tersebut, 226 di antaranya ditangani di sepanjang 2017; 176 di PSMP Handayani dan 50 lainnya di RPTC.
ADVERTISEMENT
Meski deportan yang dipulangkan sejak Januari 2017 itu telah mendapat tempat, masalah belum selesai. Menangani deportan yang terkait terorisme tak pernah ada dalam job description pekerja sosial di PSMP Handayani maupun RPTC. Tak ada alokasi dana khusus Kemsos untuk para deportan. Padahal, jumlah dan kebutuhan para deportan jelas tak sedikit.
Akibatnya, rehabilitasi tak berjalan maksimal. Dengan kedatangan deportan yang sporadis tak berbarengan, pengawasan terhadap masa rehabilitasi tak selalu sesuai rencana. Rizka Nurul Amanah, peneliti Yayasan Prasasti Perdamaian yang berulang kali melakukan pendampingan pada para deportan, mengakui hal tersebut.
“Awal-awal sih sebulan, tapi ke sini-sini semakin pendek waktunya,” ujarnya kepada kumparan. Ia melihat sendiri bagaimana deportan gelombang awal menjalani satu bulan penuh rehabilitasi, namun tidak untuk gelombang-gelombang setelahnya.
ADVERTISEMENT
“Tapi kalau yang Februari tuh ada yang cuma kayak tiga minggu, bahkan yang Anggi itu cuma dua minggu. Akhirnya kan dia masih kuat (paham radikalnya),” ujar Rizka. Alasannya, lagi-lagi, dana.
Keterlibatan berbagai macam LSM macam Yayasan Prasasti Perdamaian pun menjadi cara negara mengakali ketidakcukupan sumber daya untuk mengurus para deportan. Mereka melakukan pendampingan sejak masa rehabilitasi sampai pasca-pemulangan. Bahkan, menurut Navhat, beberapa staf Kemsos sampai harus keluar uang sendiri untuk sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari deportan yang tak ada di anggaran.
Minim Pembinaan
Tak hanya di bagian pendanaan, rincian program rehabilitasi pun berjalan serampangan. Menurut pengamatan Rizka, asalkan deportan telah mengikuti program sesuai batas waktu, deportan bisa saja kembali ke masyarakat tak peduli bagaimana tingkat keradikalannya.
ADVERTISEMENT
“Ukuran mereka boleh pulang itu bukan mereka udah sadar atau enggak, tapi mereka menandatangani pernyataan untuk balik ke NKRI,” ujar Rizka menjelaskan. “Asalkan masa rehab habis dan mau tanda tangan, ya udah pulang.”
Akibatnya, dalam masa rehabilitasi satu bulan tersebut berpotensi mengeluarkan deportan yang masih kuat paham radikalnya. Satu contoh yang telah terbukti adalah Anggi Indah Kusuma alias Khanza Syafiyah al-Fuqron, yang disinggung Rizka di atas.
Anggi adalah seorang mantan TKI di Yuen, Hong Kong. Ia dideportasi karena video berbaiat pada ISIS-nya ia sebar di Facebook-nya.
ADVERTISEMENT
Setelah dideportasi, Anggi menjalani rehabilitasi di PSMP Handayani Bambu Apus. Setelah selesai masa rehabnya, ia dipulangkan ke Klaten. Sayang, pembinaan dan pengawasan mantan deportan tak berjalan maksimal.
Anggi kemudian menikah dengan Adilatul Rahman, laki-laki yang ia kenal dari grup Telegram ‘Redaksi Khilafah’ sewaktu masih menjadi TKI. Mereka berdua ditangkap pada Agustus 2017 karena terbukti menyimpan bahan peledak yang rencananya akan diledakkan di beberapa objek vital seperti Istana Negara.
Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, mengakui rehabilitasi deportan selama ini memiliki beberapa kekurangan. Ia juga menganggap perlu regulasi khusus untuk menangani deportan yang terpapar terorisme.
“Jadi bukan SOP dari negara yang disiapkan oleh anggaran dan personel untuk menahan dia, menampung dia satu bulan, tidak. Hanya itu kemampuan yang ada di tengah ketidakberdayaan,” kata Irfan kepada kumparan, Kamis (17/5).
Jaringan Baru di Bambu Apus
ADVERTISEMENT
Buat beberapa deportan, alih-alih menurunkan tingkat radikalisme , rehabilitasi di Bambu Apus justru menjadi kesempatan mereka membangun jaringan baru. Dalam wawancara terhadap mantan deportan yang tak mau disebutkan namanya, Rizka menemukan kecenderungan sesama mantan deportan membuat jejaring alumni.
“Aku pernah wawancara gini, ‘Suka kontak sama siapa aja?’ Ternyata sesama deportan. Jadi setelah pulang mereka dipertemukan di PSMP Handayani, kemudian setelah pulang mereka kontak-kontakan. Setelah pulang malah jaringan itu terbentuk,” ujar Rizka.
Pengamat terorisme asal Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Chaula Rininta Anindya, menganggap program rehabilitasi deportan terpapar terorisme di Indonesia jauh dari kata sempurna.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Chaula menilai banyak terjadi kekosongan koordinasi antarlembaga terkait dalam pembinaan saat deportan sudah dikembalikan ke masyarakat. Selama ini pembinaan dan pendampingan pasca-rehabilitasi lebih banyak dikerjakan oleh LSM.
“BNPT tetap harus jadi yang mengkoordinir semua karena nggak bisa bergantung di LSM. Tetep harus ada lembaga pemerintah yang menggerakkan instansi pemerintah lainnya,” ujar Chaula.
“Ini bukan cuma urusan LSM, Kemsos, dan BNPT. Seperti Kemendagri kadang juga perlu andil, karena banyak dari deportan yang udah nggak punya KTP, butuh kartu identitas,” ujar Chaula, merekomendasikan BNPT diangkat menjadi badan setingkat kementerian agar mempermudah koordinasi lembaga.
Segala cara perlu ditempuh agar teror tak berulang.
------------------------
Ikuti rangkaian ulasan mendalam soal Dalang Teror di Liputan Khusus kumparan.
ADVERTISEMENT