Menelusuri Jejak Makam Hitam di Yogya yang Ramai di Medsos

28 Oktober 2019 17:58 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sasono Loyo Puluh Dadi yang letaknya tak jauh dari Jalan Seturan Raya, Kabupaten Sleman.  Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sasono Loyo Puluh Dadi yang letaknya tak jauh dari Jalan Seturan Raya, Kabupaten Sleman. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
ADVERTISEMENT
Jagat media sosial digegerkan oleh utas soal makam hitam. Sebuah cerita dari akun @choco0piie dengan judul ‘Horror Story mbak Yushicus di Jogja.
ADVERTISEMENT
Utas yang menceritakan kisah horor sekelompok wisatawan dari Jawa Timur selama di Yogyakarta tersebut telah di-reetweet 34 ribu kali dan disukai 76,9 ribu kali oleh pengguna twitter.
Singkat cerita, sekelompok wisatawan perempuan tersebut menginap di sebuah apartemen. Tak disangka balkon apartemen yang mereka sewa menghadap langsung ke arah makam hitam. Diceritakan pula bahwa mereka mengalami kejadian yang menyeramkan.
“EH TRS AKU KAGET DONG DI BAWAH BALKON TERNYATA KUBURAN DAN KUBURANNYA HITAM SEMUA 😭😭😭KAGET BANGET” begitu bunyi tangkapan layar yang disebarkan lewat utas tweet.
kumparan lantas mencoba menelusuri keberadaan makam hitam yang dimaksud. Makam tersebut adalah Sasono Loyo Puluh Dadi yang letaknya tak jauh dari Jalan Seturan Raya, Kabupaten Sleman.
ADVERTISEMENT
Untuk sampai ke lokasi makam setiap orang harus melalui jalan gang. Makam tersebut juga tidak jauh dari Selokan Mataram. Meski lokasinya melalui jalan sempit namun jalan di samping kuburan tersebut ramai dilalui pengendara motor terutama mereka yang dari Jalan Seturan hendak mencari jalan pintas menuju Selokan Mataram.
Sasono Loyo Puluh Dadi yang letaknya tak jauh dari Jalan Seturan Raya, Kabupaten Sleman. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Memasuki makam, tak ada yang aneh dari makam tersebut. Nisannya sama dengan kebanyakan kuburan yang ada di Yogyakarta. Di situ nisan makam juga tak hanya berwarna hitam tapi juga berwana putih, biru, dan merah. Makam seperti itu hal yang biasa di Yogyakarta.
Yani salah seorang warga yang membuka jasa laundry tak jauh dari makam mengatakan tidak ada hal yang angker dari makam tersebut. Menurutnya makam tersebut biasa-biasa saja seperti makam lain. Dia mengakui jalan di sekitar makam cenderung ramai karena merupakan jalan pintas.
ADVERTISEMENT
“Nggak ada yang angker. Justru tempat kita ramai banget soalnya itu tembus Selokan (Selokan Mataram),” kata Yani, Senin (28/10).
Suasana di Sasono Loyo Puluh Dadi yang letaknya tak jauh dari Jalan Seturan Raya, Kabupaten Sleman. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Yani juga mengatakan makam tersebut juga sering diziarahi seperti makam lain. Bahkan sebelum acara wayangan di kampung tersebut, warga juga menggelar doa bersama di makam
“Ah mboten (tidak angker) wong malah sebelum wayangan ada doa bersama, pengajian, terus malam minggunya wayangan,” kata dia.
Endo salah seorang warga yang kebetulan melintas juga mengakui bahwa jalan tersebut biasa ia lalui. Menurutnya meski jalan sempit tapi bisa memangkas waktu ketika di dari jalan Seturan menuju sekitar Selokan Mataram.
“Kebetulan kos dekat Selokan Mataram dan nggak ada yang aneh mas. Biasa saja,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Dalam utas tersebut juga diceritakan salah seorang rombongan piknik itu ke Parangtritis dengan mengenakan pakaian berwarna hijau. Diceritakan bahwa ada sejumlah hal aneh yang mereka rasakan, termasuk hasil foto yang menurut mereka menakutkan.
Sasono Loyo Puluh Dadi yang letaknya tak jauh dari Jalan Seturan Raya, Kabupaten Sleman. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
“Ini hasil fotonya, jujur aku takut liatnya kayak bukan aku,” tulisnya.
Soal mitos larangan memakai baju hijau di Parangtritis ini kumparan sempat mewawancara Staf Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) DIY, Mudjijono. Dia mengatakan budaya itu dinamis.
Prinsipnya, kebudayaan itu mempunyai sifat selalu berubah dari masa ke masa sesuai dengan masyarakat pendukungnya. Hal ini juga akan berubah sesuai dengan kebutuhan masayarakat yang mendukung kebudayaan bersangkutan.
“Sebenarnya kita bisa membandingkan tidak hanya mitos terkait larangan memakai baju hijau pada saat kita di Parangtritis atau pantai selatan. Kita harus memahami bahwa sebenarnya generasi yang telah lalu orang-orang tua kita, nenek moyang kita mempunyai banyak cara untuk sebenarnya memberi dalam tanda petik pendidikan. Pendidikan dalam laku berkehidupan yang baik,” ujar Mudji saat ditemui kumparan di kantornya, Senin (22/7).
ADVERTISEMENT
Dia menjelaskan untuk memberitahu anaknya, orang tua dahulu tidak menggunakan kalimat perintah. Namun mereka membuat nilai budaya yang ada di alam pikiran setiap orang dalam masyarakat. Nilai budaya itu menjadi patokan manusia bertindak.
“Contoh pada waktu saya kecil bahwa dulu kalau perempuan makan jangan di depan pintu karena bisa ditolak oleh perjaka. Itu sebenarnya nilai budaya bahwa kamu kalau makan dengan berdiri tidak sopan. Kalau kamu tidak sopan laki-laki akan mengerti tatanan nilaimu seperti itu, katanya.
Sasono Loyo Puluh Dadi yang letaknya tak jauh dari Jalan Seturan Raya, Kabupaten Sleman. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Mudji yang sering meneliti sejumlah daerah pantai dan terpencil mengatakan bahwa laut tidak sepenuhnya berwarna biru tapi lebih condong ke biru pekat atau hijau. Hal inilah yang menjadi penyebab kemunculan larangan baju hijau di Pantai Parangtritis.
ADVERTISEMENT
“Misalnya kita memakai baju berwarna hijau kemudian terjadi kecelakaan atau kita tersambar arus dan sebagainya sulit diketahui. Orang yang akan menolong atau tim sar akan kesulitan. Makanya kita tahu tim SAR kan pakai oranye,” ujarnya.