Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Menggadaikan Nyawa demi Sinabar si “Api” Merkuri
20 Maret 2017 9:58 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Rasa gerah menyelimuti tubuh Putra meski ia tak terpapar terik mentari Maluku. Tak heran, ia berada dalam lorong sedalam 15 meter. Hanya dua blower yang jadi andalan Putra untuk membuat kondisi sedikit lebih sejuk.
ADVERTISEMENT
Lubang serupa disusuri Putra setiap harinya. Lubang-lubang itu berserak di lokasi penambangan sinabar itu. Ya sinabar, batu cokelat kemerahan berisi sulfida merkuri yang menjadi bahan baku pembuatan merkuri atau air raksa --yang kemudian digunakan luas dalam tambang-tambang emas liar di seantero nusantara.
Di lubang tambang itu, tak ada alat pengaman yang bisa menjamin keselamatan para penambang. Helm pelindung bahkan tak mereka pakai. Padahal tak banyak penyangga di gorong-gorong yang sudah digali. Hanya ada beberapa kayu dipasang sebagai penopang.
ADVERTISEMENT
“Sudah biasa kami begini,” kata Putra kepada kumparan (kumparan.com) di Gunung Tembaga, Iha, Maluku, Minggu (12/3).
Setiap hari bersama tiga orang penambang lain dalam grupnya, Putra mengikis batuan dalam gunung untuk mencari sinabar. Hasil galian lantas dijual untuk menyangga hidupnya beberapa tahun belakangan.
Lelaki asli Maluku itu tak lagi khawatir dengan bahaya reruntuhan batu selama bekerja di lubang tambang. Dan bukan hanya dia yang berani menantang marabahaya.
Para penambang lain sama nekatnya. Termasuk Halim yang punya peran beda dengan Putra. Jika Putra menggali lubang hingga puluhan meter ke bawah tanah, Halim mengikis tanah yang dibawa dari dalam lubang itu untuk diambil kandungan sinabarnya.
Meski tak terancam bahaya reruntuhan batu di gorong-gorong bawah tanah, Halim yang tak menggunakan alat pengaman tak luput dari ancaman longsor.
ADVERTISEMENT
Bahaya longsor pada gunung yang terus-menerus digali tak henti, bagaimanapun akan selalu mengintai.
Halim bukannya tak takut terkena longsor. Ia selalu menghentikan aktivitas tambang jika hujan tiba. Dan sampai sekarang, kata para penambang serta aparat di sekitar Gunung Tembaga, belum pernah terjadi kecelakaan tambang.
Intaian bahaya terus diabaikan penambang ilegal. Mereka lebih takut pulang tak bawa uang ketimbang tak pulang lagi selamanya.
Aktivitas penambangan sinabar di Gunung Tembaga memang menghasilkan uang cukup besar. Setiap pekannya, satu kelompok bisa meraup uang jutaan rupiah dari hasil penjualan puluhan kilogram sinabar hasil galian mereka.
ADVERTISEMENT
Uang itu lantas dibagi rata sebagai sumber penghidupan para penambang.
Jumlah uang yang didapat tergantung pada kenekatan tiap penambang. Jika penambang di atas gunung bisa meraup jutaan rupiah setiap pekannya, penambang dengan risiko jauh lebih rendah di bibir pantai hanya mengantungi ratusan ribu rupiah tiap minggu. Itu pun tergantung pada kadar sinabar yang didapat.
“Satu kilo(gram) yang kadarnya paling bagus dari pantai ini dihargai Rp 100 ribu. Tapi biasanya satu kilo dari pantai laku Rp 75 ribu,” kata Firman, seorang penambang yang mendulang sinabar di pantai Dusun Hulung, Desa Iha.
Di pantai Dusun Hulung, Desa Iha itu, Mama Diram juga sibuk mendulang sinabar di salah satu lubang. Matanya jeli mencari pasir hitam bercampur batu kecil kemerahan yang merupakan wujud fisik sinabar si ‘api’ merkuri.
ADVERTISEMENT
Jika mulai mendulang sejak pagi hingga siang jelang sore, Mama Diram bisa membawa pulang paling sedikit 500 gram pasir sinabar.
Perempuan 56 tahun itu hanya satu dari puluhan pendulang sinabar di pantai itu. Dari pantai menuju gunung yang berjarak 15 menit berjalan kaki, akan terlihat lebih banyak lagi orang yang mencari sinabar.
Penambangan di Desa Iha sudah berlangsung sejak sinabar ditemukan di sana pada 2010. Dari satu orang penemu, berkembang ke warga sekitar, hingga kini masyarakat berbondong-bondong memadati desa itu yang kemudian berubah menjadi kawasan pertambangan.
Orang-orang itu bahkan tak peduli segaring apapun kondisi Iha, tanpa jalan beraspal terbentang sebagai sarana transportasi darat di desa yang terletak terisolasi itu.
Menuju Iha dari Ambon, ibu kota Maluku, butuh waktu tempuh paling cepat dua jam --satu jam perjalanan darat dari Ambon menuju dermaga di Hitu, lalu menyeberang dengan speedboat melintasi Laut Banda selama 50 menit, untuk kemudian melanjutkan perjalanan darat sesampai di Pulau Seram.
Tiba di Gunung Tembaga, tenda-tenda penambang tampak terpasang di sana sini. Terpal-terpal biru bahkan sudah terlihat ketika speedboat mulai mendekati Pulau Seram.
ADVERTISEMENT
Para penambang skala kecil di Gunung Tembaga tiap harinya bisa menghasilkan 40 kilogram sinabar. Meski berskala kecil, hasil pengerukan sinabar di Desa Iha oleh ribuan penambang terbilang besar.
Gunawan, seorang penambang sinabar, menyebutkan setiap pekannya dia menjual ratusan kilogram bahan tersebut.
“Satu kilo kami jual mulai Rp 100 ribu sampai Rp 135 ribu. Tergantung kadarnya,” kata Gunawan di Iha, Kabupaten Seram Bagian Barat.
Warga Iha mengukur kadar sinabar secara sederhana. Satu gelas bervolume 180 mililiter yang memiliki berat di atas 700 gram, dianggap memiliki tinggi. Jika berat kurang dari itu, berarti sinabar masih harus didulang ulang.
Pengepul sinabar, menurut warga Iha, datang setiap pekan dan membawa ratusan kilogram dari desa itu. Namun, warga desa mengatakan tak tahu akan dibawa atau dijual ke mana ratusan kg sinabar itu.
ADVERTISEMENT
Beberapa sumber kumparan menyebutkan, sinabar yang diambil dari Iha dibawa ke beberapa tempat pengolahan di Pulau Jawa. Di Sukabumi, Jawa Barat misalnya, sinabar itu lantas diolah menjadi merkuri.
“Temuan tim kami yang ke sana (Sukabumi) membenarkan, sinabar yang diolah berasal dari Pulau Seram, Maluku,” kata Koordinator Blacksmitch Institute Indonesia --organisasi nirlaba pemerhati lingkungan, Budi Susilorini.
Data United Nations Environment Program menunjukkan, jumlah emisi merkuri global terbesar bersumber dari penambangan emas skala kecil. Masih bersumber pada data PBB itu, Indonesia ternyata merupakan negara pengimpor merkuri terbesar.
ADVERTISEMENT
Padahal, PBB melalui Konvensi Minamata sudah melarang penggunaan merkuri untuk dalam pertambangan, dan Indonesia adalah salah satu negara yang menandatangani konvensi tersebut meski belum meratifikasinya.
Nama Minamata diambil dari sebuah kota di Jepang yang dilanda tragedi akibat merkuri. Pada 1958, di kota itu ratusan orang mati setelah terserang lumpuh, dan ribuan balita tumbuh cacat. Mereka ternyata keracunan merkuri dari ikan-ikan di Teluk Minamata yang mereka makan. Ikan-ikan itu terpapar cairan logam dari air teluk yang tercemar merkuri pabrik batu baterai Chisso Corporation.
Tragedi Minamata mengguncang dunia, dan menjadi pemicu terbitnya Konvensi Minamata. Sayangnya, Indonesia sampai saat ini tidak meratifikasi atau mengesahkan konvensi itu meski mendukung pada awalnya.
Sebagai negara pengimpor merkuri terbesar, Indonesia mengalami kerugian ganda. Selain pencemaran lingkungan masif, harga merkuri di Indonesia jadi anjlok.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan laporan United Nations Commodity Trade Statistics Database, harga merkuri di Indonesia pada 2004 berkisar Rp 1,2 juta hingga 1,3 juta per kilogram. Namun penurunan tajam terjadi pada 2008, ketika harga merkuri terjun ke kisaran Rp 600 ribu sampai 800 ribu per kilogram.
Pada 2010, harga merkuri bahkan kembali anjlok ke angka Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu per kilogram. Harga itulah yang dipakai di pasaran hingga kini.
“Dan karena harga merkuri murah, penambang lebih jorjoran waktu menggunakannya,” kata Jossep William, peneliti Medicuss Foundation yang pernah meneliti dampak merkuri di penambangan emas Pulau Buru.
ADVERTISEMENT
Kadar merkuri pada darah warga Iha yang menjadi sampel penelitian Medicuss Foundation misalnya, sudah melampaui ambang batas 9 mikrogram per liter.
Dari 21 warga yang diambil sampel darahnya, hanya satu orang yang kandungan merkuri dalam darahnya masih dianggap normal.
Maka merkuri bukan lagi tentang penambang yang menggadaikan nyawa, melainkan ancaman kemanusiaan bagi banyak orang. Apakah kita mau membiarkan Tragedi Minamata di Jepang juga terjadi Indonesia?