Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Apakah Anda pernah ditelepon atau dikirimi pesan oleh petugas marketing yang menawarkan produk atau layanan jasa tertentu? Sebut saja telepon seluler, kamera CCTV, kartu kredit, asuransi, pinjaman uang, seminar bisnis, nomor togel, bahkan sampai ikan arwana. Pernahkah Anda bertanya-tanya, kira-kira dari mana ya para petugas pemasaran itu tahu nomor telepon saya? Anda mungkin sudah menduga data-data pribadi kini menyebar dengan amat mudah. Nyatanya, data-data konsumen atau nasabah memang dengan sengaja diperjualbelikan.
Seorang makelar data bisa meraup omzet rata-rata Rp 100 juta per bulan. Tak pelak, jual beli data pribadi jadi ladang bisnis menggiurkan. Dan para makelar sudah tentu tak beraksi sendirian. Mereka dibantu orang-orang di internal perusahaan yang membocorkan data konsumen atau nasabah. Jadi, bagaimana sesungguhnya praktik gelap ini berjalan? Mari kita mulai kisahnya dari sang makelar, Donald.
“Mau paket data nasabah yang mana, Bos? Data pejabat ada, data sesuai request area ada. Dijamin asli. Valid 100 persen. Jika data salah sambung atau double, akan kami ganti, Bosku,” ucap seorang makelar data pribadi via pesan singkat. Sebut saja namanya Donald.
Donald biasa menjual data-data pribadi secara online. Ia menggunakan sebuah website untuk memasarkan produknya secara terbuka, dan mencantumkan nomor WhatsApp-nya pada web tersebut. Layaknya bisnis premium, Donald merespons cepat calon customer yang menghubunginya. Tak kurang dari lima menit.
Ia pun tak pilih-pilih calon pembeli. Asal duit tersedia, transaksi langsung jalan. Soal latar belakang customer dan untuk keperluan apa data-data tersebut dibeli, ia tak peduli. Prinsipnya sama seperti pedagang kebanyakan: ada uang, ada barang.
Untuk meyakinkan calon pembeli soal validitas datanya, ia bersedia mengirimkan sampel data pribadi nasabah. Data-data itu meliputi nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, Nomor Induk Kependudukan (NIK), nomor telepon rumah dan ponsel, nama ibu kandung, status perkawinan, email, alamat rumah, status kepemilikan rumah, tempat bekerja, alamat kantor, lama bekerja, jabatan di kantor, hingga nomor kontak darurat. Pendeknya: persis seperti data yang kita isikan pada formulir pembukaan rekening di bank atau lembar aplikasi kartu kredit. Semua begitu rinci.
Donald memang punya database nasabah bank. Itu salah satu dari ragam jenis data yang ia tawarkan. Soal harga, ia mematok Rp 350 hingga Rp 400 per data. Namun customer biasanya membeli dengan sistem paket dan bonus. Data pun bisa dipesan sesuai keinginan pembeli. Misalnya khusus di kawasan Jabodetabek saja.
Untuk seribu hingga 10 ribu data nasabah, Donald menjual di kisaran Rp 350.000 sampai Rp 750.000. Untuk 50 ribu hingga 300 ribu data nasabah, Donald membanderol Rp 1 juta sampai Rp 2,5 juta. Sementara untuk 500 ribu hingga satu juta data nasabah, Donald memasang tarif Rp 3,5 juta sampai Rp 5 juta.
Di luar itu, ia masih menyediakan bonus spesial berupa satu juta nomor ponsel semua operator di Indonesia, satu juta nomor pengguna WhatsApp di Indonesia, 5.000 data pemilik kartu kredit, dan 5.000 data nasabah perbankan.
Ketika kumparan mencoba menghubungi 30 nomor yang tertera pada daftar tersebut secara acak, sebagian di antaranya tersambung, namun ada pula yang tidak.
Jeki (bukan samaran), seorang telemarketer berusia 31 tahun di bank swasta nasional di Jakarta, mengatakan praktik jual beli dan barter data nasabah merupakan hal yang lazim dan jamak terjadi. Ini karena perusahaan membebankan tugas kepada pegawai pemasarannya untuk menggaet nasabah dalam jumlah tertentu.
“Kan kami ini sama-sama (mau) mencapai target. Kami tanya satu sama lain, ‘Kamu sudah dapat berapa dari targetmu?’ Kalau belum tercapai, nah kami tukeran,” kata Jeki kepada kumparan di Cililitan, Jakarta Timur, Rabu (24/7).
Jeki kemudian bercerita tentang upayanya mencari data calon konsumen saat memulai karier pada 2015. Ketika itu, ia membuat kupon undian belanja palsu untuk menggaet data calon-calon konsumen, dan “mempekerjakan” ibu-ibu dari pinggiran Jakarta sebagai agen.
Kepada mereka, Jeki membagikan kupon undian palsu senilai Rp 100 ribu untuk disebar ke berbagai supermarket di Jakarta. Kupon tersebut diberikan kepada ibu-ibu yang selesai berbelanja. Namun, untuk mendapatkan kupon undian itu, para ibu di supermarket tersebut harus lebih dulu memberikan nama dan nomor telepon.
Dari situlah data-data calon konsumen dikumpulkan Jeki. Dalam sehari, ia bisa mendulang 500 data berupa nama dan nomor telepon. Dan kepada ibu-ibu yang menjadi agennya dalam menyebar kupon palsu, Jeki memberikan upah Rp 200 untuk satu data.
Selanjutnya, ia menghubungi nomor telepon itu satu per satu untuk memastikan nomor tersebut aktif. Setelah semua beres, data-data itu pun ia jual.
“Setelah datanya terkumpul, lalu aku jual ke bank. Ke sesama marketing bank atau perusahaan asuransi. Harganya Rp 300 sampai Rp 500 per data. Nah, nanti bank menghubungi nomor itu untuk menawarkan kartu kredit,” ujar Jeki.
Ia tak hanya menjual data-data tersebut ke bank, tapi juga ke berbagai perusahaan. Data-data itu digunakan perusahaan untuk memprospek calon konsumen potensial.
Dari bisnis itu, Jeki meraup untung Rp 10 juta per bulan hingga bisa membeli rumah. Ia telah sah menjadi makelar data seperti Donald.
Ada banyak orang-orang seperti Donald dan Jeki. Bahkan beberapa di antara mereka sengaja bekerja berpindah-pindah bank demi mengumpulkan data nasabah. Mereka ini biasanya bekerja di satu bank hanya dalam kurun waktu sebentar.
“Itu kutu loncat untuk dapetin data saja. Tiga bulan di bank ini, tiga bulan di sana. Bukan karena nggak betah, tetapi dia memang mau ngumpulin data. Jadi nggak mikir tunjangan atau intensif (perusahaan),” kata Jeki.
Tak jarang agen-agen itu bekerja door-to-door mengetuk pintu-pintu rumah warga dengan mengaku sebagai petugas pengumpul sumbangan amal atau kegiatan keagamaan. Warga yang menyumbang biasanya mencantumkan nama dan nomor telepon mereka pada lembar catatan untuk “dilaporkan sebagai pertanggungjawaban”.
Sementara untuk mendapat informasi data pribadi dari mitra perusahaan, vendor memilih perusahaan yang menggunakan sistem kartu keanggotaan. Sebab dalam kartu itu biasanya sudah tersimpan data konsumen seperti nama, alamat, dan nomor telepon.
Data bisa didapat dari ragam perusahaan, mulai penyedia televisi berbayar hingga ekspedisi pengiriman barang. “Pokoknya yang berbentuk registrasi,” kata Jeki yang sudah tujuh tahun malang melintang di bisnis itu.
Apa yang dilakukan Jeki dan para makelar data lainnya sudah pasti melanggar hukum. Aturan di Otoritas Jasa Keuangan sudah jelas: perusahaan yang bergerak di bidang jasa perbankan, gadai, asuransi, pasa modal, dan lain-lain tidak boleh memberikan data atau pun informasi kepada pihak ketiga kecuali ada kesepakatan dengan konsumen.
OJK merupakan lembaga independen yang mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan. Dan aturan mengenai kerahasiaan dan keamanan data dan informasi pribadi konsumen dimuat dalam Surat Edaran OJK Nomor 14/SEOJK.07/2014.
Juru bicara OJK Sekar Putih Djarot menekankan, pelaku usaha wajib melindungi data dan informasi konsumen. Sesuai kesepakatan, data tersebut hanya digunakan untuk kebutuhan verifikasi guna mencegah data-data palsu yang selama ini marak beredar. Bukan untuk diperjualbelikan bebas di pasaran.
“Pengaksesan data dilakukan hanya untuk kebutuhan prosedur Know Your Customer (KYC) guna keperluan pembukaan rekening, pinjaman, maupun rekening efek,” ujar Sekar kepada kumparan, Kamis (25/7).
Sayangnya, sampai sekarang belum ada sanksi tegas terhadap praktik ilegal jual beli data pribadi ini.
Pakar perbankan David Sumual menyatakan, UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, juga Peraturan Mendagri Nomor 61 Tahun 2015 tentang Persyaratan Ruang Lingkup dan Tata Cara Pemberian Hak Akses Serta Pemanfaatan NIK, Data Kependudukan, dan KTP Elektronik dinilai masih cukup lemah sebagai alat pengawasan data nasabah.
“Sanksinya harus dipertegas, karena ini kan data milik nasabah, sering disalahgunakan, bisa ke mana-mana akhirnya diperjualbelikan. Perlindungan terhadap konsumen sangat lemah. Perlu ada aturan hukum yang jelas soal penggunaan data itu,” ujar David.
Ombudsman berpendapat, jual beli data ilegal terjadi karena aturan hukum di Indonesia terkait perlindungan data pribadi masih sangat lemah, khususnya yang melibatkan pihak swasta.
Maka yang dibutuhkan saat ini, menurut anggota Ombudsman Alvin Lie, adalah pengesahan segera UU Perlindungan Data Pribadi. Melalui UU tersebut, data pribadi nasabah/konsumen harus dijaga bukan hanya oleh pemerintah, tapi juga perusahaan swasta
“Kalau yang data Dukcapil—berarti data kependudukan—masih lumayan ada Undang-Undangnya, ada PP, ada Peraturan Menteri, dan sebagainya. Tapi data yang di swasta enggak ada. Makanya bebas perusahaan asuransi atau credit card mau jual (itu data atau enggak), sebab enggak ada aturannya,” kata Alvin kepada kumparan di kantornya, Kuningan, Jakarta Selatan.
_________________
Simak Liputan Khusus kumparan: Sindikat Pencurian Data Pribadi